Oleh : Ahmad Zaidi
Pohon itu tumbuh di atas gundukan sepi. Akarnya
mencengkeram setiap kenangan yang mengalir deras di dekatnya. Rantingnya
menusuk langit, menghalau tetes-tetes air mata. Daunnya tak rimbun, tapi cukup
untuk sesekali menggugurkan kesedihan. Kulitnya keras berlapis ketegaran.
Seratnya begitu rapat memilin rindu, rindu yang teramat karena sekian lamanya
ia hidup sendiri. Dan bunganya, adalah luka bermahkota harapan.
Namanya Randu. Bentuk nyata kesepian.
***
“Kenapa aku ditanam di sini?” Tanya Randu, saat ia
masih berupa tumbuhan kecil. Pasangan suami-istri yang belum dikaruniai seorang
anak menanamnya. Ki Murtadoyo dan Nyi Murtasiah. Setiap pagi dan menjelang
malam, pasangan itu rutin menyirami Randu.
“Teruslah tumbuh, Randu! Karena di tempat inilah kau
dibutuhkan."Ki Murtadoyo dan Nyi Murtasiah senantiasa berpesan demikian.
Randu yang belum mengerti banyak hal, bertanya,
“Bagaimana kalau aku tidak kuat lagi?”
“Kau boleh tumbang, kapan saja, sesuka hatimu.”
Randu mengingat kata-kata terakhir itu, meletakkannya
di atas nampan pualam. Jika tiba saatnya kelak...
Musim demi musim telah ia lewati, banyak kejadian ia
saksikan. Hingga suatu hari kabar duka merambati sekujur batangnya. Hari itu,
pasangan suami-istri, Ki Murtadoyo dan Nyi Murtasiah yang dulu menanamnya,
merawatnya hingga besar, meninggalkannya dalam kesendirian. Pasangan itu wafat.
Ia hampir roboh, hanyut dalam perasaan yang tak mampu terkata.
Randu mulai menggugurkan bunganya, daunnya. Ia melepas
cengkeramannya ke tanah. Bersiap tumbang.
"Belum saatnya, Randu." Tiba-tiba, entah
dari mana, ia mendengar suara, yang ia kenal betul. Suara Ki
Murtadoyo."Kau masih dibutuhkan. Bersabarlah, pada saatnya nanti kau akan
mengerti maknakehidupan. Ada yang harus pergi, sebagian lagi harus tinggal.
Jangan lemah hanya karena perasaan yang tak mampu kau pahami maksudnya."
"Di manakah engkau saat ini?"
Tidak ada jawaban, kosong. Sepi. Lagi-lagi sepi.
***
Bertahun-tahun dibekap sunyi, diguyur kesedihan, Randu
berusaha bersabar. Manusia yang pernah menyayanginya sudah lama pergi. Suatu
ketika, ada juga beberapa pasangan yang rutin mengunjunginya. Randu senang tak
kepalang. Ia punya teman. Sayangnya, tak seperti Ki Murtadin dan Nyi Murtasiah
dulu. Mereka meminta hal-hal aneh pada Randu.
"Berilah kami keturunan." Suatu malam,
pasangan suami istri mendatanginya, dalam gelap yang buta, mereka membawa sesajen.
"Sudah lama kami hidup miskin. Tolonglah kami.
Tolong buat kami kaya. Setiap malam jumat kliwon kami akan memberimu anak
ayam."
"Tolonglah kami, anak ayam kami hilang."
Kian lama, kian aneh-aneh saja permintaan orang-orang
itu.
"Oh.. Randu, aku baru saja ditinggal pergi
kekasihku. Aku mohon kembalikan ia ke pelukanku. Buatlah cinta kami sepertimu.
Tak goyah diterjang badai, tak roboh dikikis waktu." Seorang pemuda,
sambil menangis bersimpuh di hadapan Randu.
Beberapa hari kemudian, pemuda tersebut kembali dengan
seorang wanita. "Terima kasih Randu. Kekasihku kembali lagi."
Setelah itu, Randu dianggap lambang kesetiaan. Lambang
kekayaan. Lambang kemakmuran. Dan masih banyak yang lain-lain. Tanpa diminta,
orang-orang menganggap Randu sebagai pohon keramat. Sakral.
Akibatnya, seorang dukun adiluhung bersama seorang
kiai sakti mandraguna mendatangi Randu.
"Hei, Pohon tak tahu adat, tak tahu aturan.
Gara-gara kau, orang-orang jatuh dalam jurang kesesatan. Kurang ajar
betul."
"Sudahlah, Kang. Mana bisa pohon ini mengerti
maksud kita. Sudah, kita tebang saja." Kiai sakti mandraguna yang rupanya
lebih realistis menyarankan demikian.
Telah lama mereka merencanakan hal ini. Jika berhasil,
kekeramatan Randu akan menjadi milik mereka. Orang-orang akan mendatangi mereka
berdua untuk meminta hal-hal aneh. Mereka bisa untung besar.
Dimulailah rencana besar itu, Dukun dan Kiai tersohor
mulai menaiki batang Randu. Memanjati ranting. Orang-orang hanya menonton.
Berseru panik, bersorak memberi semangat, sebagian tertawa terpingkal-pingkal.
Dukun dan Kiai nekat itu hanya mengenakan sarung sebagai satu-satunya penutup
tubuh bagian bawah. Sarung mereka melambai dikibarkan angin.
Tak reda tawa yang ditimbulkan sarung, penonton
semakin terpingkal-pingkal melihat Dukun dan Kiai tadi bertengkar di atas
pohon. Kapak mereka tertinggal di bawah. Mereka saling menyalahkan,melempar
benda apa sajadi hadapan mereka.Mirip monyet yang sedang berahi, atau monyet
yang memperebutkan wilayah kekuasaan.
"Ayo, serang!"
"Lempar, Ki.."
"Lempar, Kun.."
Melihat penonton yang mulai mendukung salah satudari
kedua monyet gila di atas Randu, bandar judi menggelar taruhan.
"Pasang taruhan kalian untuk siapa yang akan
menang nantinya."
"Dukun pasti menang!"
"Tidak bisa, Kiai pasti menang. Dia lebih hebat,
lebih sakti."
Yang terjadi selanjutnya adalah, Si Dukun dan Si Kiai
bertarung di atas pohon. Mereka adu kanuragan. Penonton terkesiap, dari saking
tololnya ada yang ikut-ikutan bertarung.
Keadaan semakin memanas.
Jengah dengan perilaku manusia, Randunaik pitam. Ia
memanggil angin, memanggil hujan, memanggil petir.
Angin berembus dari utara, membawa mendung, mendung
menjatuhkan butir-butir air sebesar kerikil, ribuan jumlahnya.
Di bawah hujan, pertarungan masih berlanjut. Penonton
semakin riuh, semakin heboh. Tukang judi kian semangat. Berharap jagoannya
menang. Tapi sebelum semuanya usai, kilatan halilintar menjalar dari atas
langit, turun menyambar kedua monyet sinting di atas dahan Randu. Keduanya
tewas seketika.
Penonton kalang-kabut, tukang judi kocar-kacir. Dalam
keadaan seperti ini semua orang sadar, tak peduli jagoannya kalah atau menang,
yang penting mereka selamat.
Keadaan kembali seperti sediakala.
Dari kejadian itu, orang-orang bijak menarik
beberapalarangan. Jangan berteduh di bawah pohon saat hujan. Jangan suka
mendatangi pohon untuk meminta sesuatu. Jangan tebang pohon sembarangan. Jangan
pernah bekerjasama dengan dukun. Dan yang terpenting, jangan pernah memilih
pemimpin yang tidak bisa memimpin nafsunya sendiri, egonya sendiri.
***
Waktu. Adalah helai-helai daun yang digugurkan angin.
Sekali jatuh, tak bisa diulang kembali. Randu tahu bagaimana waktu telah
membawanya sejauh ini. Dari waktu pula ia belajar banyak hal. Mengenal hal-hal
baru, seperti jaringan telepon, sinyal televisi, frekuensi radio. Ia bisa
mendengar semua panggilan, semua siaran, sampai tidurnya tak nyeyak. Kadang
terhibur, kadang pula ia harus bersedih.
Randu mendengar kabar bahwa sebentar lagi orang-orang
akan menebangnya. Pasalnya, setiap pohon besar, yang telah lama tumbuh,
dianggap sebagai simbol penguasa lalim yang telah lama mengekang demokrasi.
Mereka harus merebut kembali hak mereka.Apapun taruhannya, bagaimanapun
caranya, rakyat berhak merdeka.
Dari jauh, berbondong orang menghampiri Randu. Randu
telah menyiapkan segalanya. Ia memusatkan energi yang dimiliki pada kulit
batang.Benar saja, orang-orang itu merubunginya, tanpa ba-bi-bu,mengayunkan
kapak.
"Tebang hingga akarnya!"Lelaki yang pertama
menancapkan kapaknya pada batang Randu, berseru penuh semangat. Disusul
kawannya, dengan kapak pula. Lalu ibu-ibu tak mau ketinggalan, dengan pisau
dapur mengerat kulit Randu.
Orang-orang mulai menggila. Jika dulu banyak yang
ingin memperebutkan kekuasaan, justru sekarang banyak yang ingin menggulingkan
kekuasaan. Di antara rasa haru, prihatin dan sedih, randu terpaksa mengeluarkan
getahnya yang merah. Seperti darah.
Orang-orang mulai keheranan, jika beringin saja, yang
terkenal keramat bin angker itu bisa ditebang, kenapa pohon ini tidak.
"Mungkin ini pohon yang agung."
"Mungkin tidak seorangpun yang bisa
menebangnya."
"Mungkin ini pertanda..."
"Ah, sudahlah. Mari kita pulang saja."
Sejak saat itu, Randu lebih dikenal dengan Randu
Agung.
***
Jika berbicara mengenai penyakit, maka usia adalah
penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Seperti apapun usaha, permohonan, bahkan
doa, tidak bisa menunda batas usia. Seumpama aliran sungai, dan muara adalah
ujungnya.Maka, kematian adalah muara akhir dari setiap episode kehidupan.
Setelah itu, samudera rahasia-Nya menjadi tempat yang tak bisa dijamah ilmu
manapun.
Dalam usianya yang renta, Randu menggugurkan daunnya.
Lalu bunganya. Lalu melepas cengkeramannya pada tanah. Saat itu juga, ia
tumbang. Meninggalkan seribu pertanyaan, "Kenapa ia mesti tumbang hari
ini?" []
Situbondo, 18 Desember 2015
Mengenang tumbangnya Randu Agung
picssr.com |
Randu Agung
Reviewed by Takanta ID
on
Juni 25, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar