Oleh : Achmad Zaidi
Aku melihat seorang anak kecil berdiri di Pantai Tangsi
ketika cahaya kemerahan merias langit bagian barat. Bocahitu membiarkan tungkai
kakinya tenggelam separuh dimainkan permukaan air laut. Sebentar-sebentar
menyentuh bagian lutut, sebentar-sebentar hanya menyentuh bagian betisnya.
Bocah kecil itu tak bergeming. Apa yang dilakukan bocah itu sendirian di tempat
macam ini? Kulit bocah itu legam semisal siluet. Rambutnya kemerahan seperti
sedang menyerap sisa cahaya matahari. Mungkinkah bocah ini terlahir dari rahim
senja? Aku rasa mustahil.
“Pantainya bagus, ya?” Aku menghampirinya. Ikut
menceburkan kaki dan memandang ke arah yang sama.
Bocah itu menoleh ke arahku. Memandang tajam dengan
tatapan dingin. Kemudian mengalihkan pandangannya ke tempat semula.
“Kamu sering datang kemari?”
Ia diam. Pandangannya masih tertuju pada garis horizontal
antara batas langit dengan laut.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Bocah itu masih diam. Sebuah perahu nelayan melintas di
kejauhan.
“Kamu menunggu perahu-perahu itu?”
Ia menggeleng, “Aku menunggu Ayah.” Suaranya tertahan,
seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya.
Kemudian malam. Gelap yang sempurna menyelimuti semesta
warna. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Suara azan menggema melalui corongan
sepiker di musala dan masjid. Bocah itu berjalan meninggalkan posisinya semula,
“Kamu mau kemana?” tanyaku.
Ia tidak menjawab dan terus menjauh hingga tubuhnya
lenyap di antara rumah-rumah yang berdesakan.
***
“Bocah itu bernama Laut.” Kata Lek Sirun, tokoh kampung
yang menampungku selama sebulan penuh masa penelitian. Aku sedang meneliti
kehidupan masyarakat pesisir sebagai mahasiswa semester akhir. Aku banyak
bertemu orang. Nelayan. Pembuat perahu. Pencari kerang. Petani tambak. Aku
mengenal cerita menarik, pengalaman yang berkesan, kosakata baru dalam istilah
lokal. Tapi aku tidak menyangka akan ada seorang bocah yang bernama Laut. Bocah
kecil itu, seperti luput dari perhatian orang-orang sekitar. Bocah kecil yang
setiap sore hari menunggui Ayahnya pulang. Bocah kecil yang ditinggalkan.
Lantas dilupakan. Kukira keadaan di sini baik-baik saja. Ternyata dugaanku
salah.
“Apa yang terjadi padanya, Lek?”
“Aku tidak bisa menceritakannya,” Lek Sirun menangkupkan
wajah dengan kedua tangannya, “maaf, aku tidak bisa.”
Suasana menjadi ganjil. Hening. Lek Sirun meninggalkanku
ke arah dapur setelah dari sana suara istrinya memanggil. Beberapa jenak ia
kembali ke beranda dengan menenteng cerek berisi kopi dan piring yang penuh
dengan pisang goreng. Aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Lek Sirun juga
begitu. Pria di hadapanku itu hanya diam, pandangannya diarahkan pada pantai di
samping rumahnya. Di kejauhan, laut serupa dimensi lain yang belum ternamai.
Gelap yang mencekam. Sementara di langit, bintang berhamburan berupa
bintik-bintik kecil yang bertumpuk. Dalam keriuhan yang sesekali dikirimkan
angin, suara debur ombak memecahkan malam.
"Baiklah." Lek Haji Sirun mulai berbicara. Ia
menatapku dengan nanar seolah aku telah menyiksanya dengan memaksa ia
bercerita."Karena kamu telah kuanggap sebagai anakku sendiri, tidak ada
salahnya bila engkau tahu apa yang sebenarnya terjadi di kampung ini."Lek
Sirun menarik napas dalam-dalam. Ia menunggu beberapa detik hingga bisa
mengeluarkan suara.
"Ayahnya adalah temanku semasa kecil. Kami sudah
seperti saudara kandung. Dulu kami belajar berenang bersama. Memancing ikan
bersama. Bahkan yang membekas dalam ingatanku adalah saat melarikan perahu
milik tetangga hingga ke Madura demi menuruti kasmarannya pada gadis yang ia
temui sewaktu nompo ke sana. Gadis itulah yang kemudian ia nikahi dan
memberinya seorang bayi laki-laki. Bayi itu adalah Laut. Kamu tahu? Aku yang
mengusulkan untuk memberi nama samudera pada bayi yang waktu itu digendongnya.
Aku datang saat bocah itu lahir. Tetapi ayahnya, karibku itu, memberinya nama
Laut. Menurutnya, lebih singkat dan terkesan padat."
"Belum genap sebulan setelah kelahirannya, ibunya
jatuh sakit dan meninggal. Orang-orang berdesas-desus perihal bayi bernama laut
itu yang menyebabkan semua ini. Nama yang terlalu berat. Nama yang tidak
diambil dari dalam kitab. Nama yang ngawur. Aku tidak mengerti apakah benar
sebuah nama memiliki pengaruh besarter hadap kehidupan seseorang. Sampai
sekarang kadang akupercaya kadang pula aku ragu. Bukankah ikan akan tetap
menjadi ikan andai kata ia diberi nama kucing. Aku heran dengan orang yang
terlalu memusingkan urusan kulit luar tanpa mau menyentuh bagian isi.
Orang-orang yang ditipu kemasan."
Lek Sirun terus berbicara tanpa berhenti. Ia berhenti
hanya sewaktu mengambil napas kemudian melanjutkan kembali. Lek Sirun
mengingatkanku pada pembacaan macapat yang tempo hari kusaksikan saat malam
hari sebelum perayaan mantenan dirayakan.
"Hingga suatu hari, kampung ini dihebohkan dengan
sekawanan paus yang terdampar di pantai ini. Berhari-hari kawanan itu mendiami
pantai kami. Perahu kami kesulitan untuk berlayar. Meskipun kami adalah
nelayan. Kami tidak tahu caranya mengusir kawanan ikan itu dari pantai. Kami
telah lama melupakan ajaran luhur moyang kami. Kami telah lupa caranya berkawan
dengan makhluk laut. Kami sudah tidak ingat lagi pada cerita Yunus yang
diselamatkan ikan. Kami tidak lagi peduli dengan semua itu. Dan entah mengapa
pikiran itu tiba-tiba muncul dari kepala kami. Pikiran untuk memberikan tumbal:
bayi bernama laut itu."
"Orang-orang semakin yakin akan terjadi malapetaka yang lebih besar.
Entah siapa yang memulainya, mereka percaya bahwa paus itu adalah pertanda.
Laut marah. Tuhan marah."
"Dan sebelum kekacauan itu reda, temanku itu memberi
penawaran kepada orang-orang kalau ia berhasil membuat kawanan paus pergi dari
pantai maka tidak ada yang boleh terjadi pada anaknya. Orang-orang setuju.
Temanku mendekati kawanan paus. Dan keajaiban itu pun tergelar di depan mata kami,
paus-paus itu seperti menemukan pawang. Mereka mengikuti kemana arah tangan
temanku menunjuk. Temanku mengantar paus itu hingga perairan dalam. Paus-paus
itu pergi dari pantai kami. Tapi temanku tak pernah kembali."
"Sejak saat itu, Laut mendatangi pantai setiap
senja. Berharap ayahnya pulang di antara nelayan yang habis nyambang.Aku
menyalahkan diriku yang tak sanggup berbuat suatu hal. Aku kehilangan temanku.
Aku ingin menebus kesalahanku. Namun bocah itu memendam luka pada orang-orang
kampung ini, termasuk aku. Dendam yang aku sendiri tidak tahu bagaimana akan
terbayar."
"Semoga Tuhan mengampuni dosa orang-orang kampung
ini." Lek Sirun diam dengan ucapanku itu.
Besoknya aku menemui bocah itu ketika ia masih berdiri di
tempat biasanya. Aku menghampirinya.
“Jadi, namamu Laut, ya?”
Bocah itu menoleh ke arahku dengan tatapan yang masih
sama. Tatapan penuh kemarahan yang dipendam. Tatapan penuh kebencian. Aku ingat
ucapannya saat pertama kali ia membuka suara, “Aku menunggu Ayah!”[]
Cerita buat Gusti Trisno.
Tanjung Pecinan, 8 Desember 2016
___
Sumber foto : Firman Abadi
Bocah itu Bernama Laut
Reviewed by Redaksi
on
Juli 09, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar