Cerita dari Taman Kota dan Surat Kabar Misterius
Oleh : Zyadah*
Gadis kecil berpipi gembil, bergigi hitam—rumah bagi
ulat-ulat cokelat dan permen, rambut cokelat ikal dengan kucir kuda dan poni
yang bergerak-gerak ditiup angin, dengan tangan kanan memegang erat tali balon
karbida, sementara tangan kirinya dicengkeram oleh ibu, meronta berusaha
melepas pegangan ibunya. Gadis itu ingin berlari-lari bebas di sepanjang jalan
setapak di taman kota, di bawah pepohonan tinggi nan perdu yang melindungi
pengunjung dari terik matahari langsung, siang itu.
“Ibu, lepaskan, Ibu! Nania ingin main balon...” seru
gadis kecil berwajah polos itu. Siapa pun yang melihat Nania pasti ingin
mencubit gemas pipinya yang tampak digembungkan.
“Nania, dengarkan Ibu dulu, kalau Nania jatuh, bagaimana?
Kita duduk dulu, ya,” jawab sang ibu dengan sedikit memaksa. Gadis kecil itu
mendengus sebal. Uffft!
“Baiklah,” Nania menuruti permintaan ibunya, duduk di
sebuah bangku cor di salah satu sudut di taman kota itu. Keduanya pun duduk. Si
ibu duduk gelisah dengan dada kesah, Nania duduk dengan sedikit kesal—karena
dalam pikirannya, ini itu selalu dilarang oleh ibu. Alih-alih balon berwarna
kuning di tangannya itu selalu menarik perhatiannya, sepasang kakinya yang
kecil itu berayun tak mau diam.
“Ibu, kita sedang menunggu Ayah, ya?” tanya Nania.
Kepalanya didongakkan, dan dua matanya yang bulat bening itu mengerjap, menatap
wajah ibunya yang masih belum dapat ia pahami bahwa ada gelisah yang bergelora
di sana.
“Benar, kita sedang menunggu Ayah. Nania senang, bukan?”
jawab Si Ibu, bibirnya membilah senyum yang paling diupayakan.
“Hore...! Nania rindu Ayah! Nania rindu Ayah! Nania
sayang Ayah!” Nania berseru girang. Balon karbida bertali panjang di tangannya
itu ia tarik-tarik sampai beradu dengan angin. “Oh, Ibu. Lihatlah, itu Ayah! Ayah
datang!” tangan Nania menunjuk-nunjuk pada sosok lelaki muda yang membawa
kembang gula, berjalan mendekat ke arah Nania dan ibunya. Gadis kecil itu
senang bukan main. Di kepalanya saat ini hanya ada dua hal; Ibu yang memberinya
balon yang ia suka, juga kedatangan Ayah yang sudah lama ia rindukan.
“Ayah...” Nania berlari pada ayahnya.
Sang Ayah merentangkan tangan, berlutut, menyambut pelukan putri kecilnya.
Gadis kecil itu seperti seekor burung kecil yang pulang pada sangkarnya.
Didekapnya gadis kecil itu sangat dalam, seolah tak boleh ada celah antara
mereka. “Ayah ke mana saja selama ini? Nania rindu Ayah...” Nania melepas
pelukannya. Ia tunjukkan wajahnya yang sengaja ia tekuk, sehingga bibirnya
mengerut dan pipinya bertambah gembung. Keduanya pun saling menghibur,
sama-sama bertukar rindu, sama-sama bertukar bahagia.
“Sampai kapan, Sari?” tanya Har. Tatapan sepasang suami
istri itu lekat pada Nania yang berlari-lari riang memainkan balon karbidanya.
“Sampai sakit di hatiku sembuh, Mas.” jawab Sari,
singkat.
“Ayolah, kau kan tahu sendiri dia hanya adik kelasku
dulu, dan kebetulan kami bertemu lagi, sementara dia sedang butuh bantuanku.
Saat ini urusan dia sudah selesai, dan kami sudah berhenti berkomunikasi.” Ujar
Har.
“Ya, aku tahu. Tetapi sikapmu terlalu berlebihan, Mas.”
“Sari, kumohon. Aku mencintaimu. Kecemburuanmu ini
sungguh terlampau.”
“Hhh...” Sari hanya mendesah.
“Sari, lihat Nania! Dia sangat membutuhkanku.” Har
memaksa perempuan berwajah sendu itu dengan halus. Tangan perempuan itu
diraihnya pelan.
“Beri aku waktu, sedikit lagi.”
Terik mentari papas dengan genting dan menara gereja dan
masjid yang berdampingan di seberang jalan, menimbulkan pijar sinar yang
menyilaukan. Angin berembus pelan, membawa partikel-partikel polutan pada indra
pembau. Pepohonan rindang di situ rupanya belum mampu menyaring udara kotor
perkotaan di taman kota. Siang itu, terik mentari semakin papas bukan saja pada
genting gereja dan masjid atau perdu pepohonan, melainkan juga papas pada hati
ketiga manusia itu.
*
Kling kling. Kling kling. Kling kling.
Ponsel cerdas dalam genggaman tangan
perempuan berkulit putih itu berdering, mengisyaratkan sebuah panggilan.
Panggilan dari seorang yang memang sedang ditunggunya di bangku cor taman kota
siang itu.
“Aku di bangku sudut taman, Kla.” Kata perempuan itu
segera, lalu ditekannya tombol end call
pada ponselnya. Perempuan itu menautkan kedua alisnya. Tatapan matanya nanar
pada segala sesuatu di sekelilingnya. Hatinya serasa hancur berserakan. Andai
bisa, ia pikir, akan ia ringkas waktu agar tak ada pertemuan dengan lelaki yang
sedang ia tunggu saat ini.
“Hei, Flo. Ada apa dengan dirimu? Tumben kau mengajak
kita bertemu di siang yang panas begini?” lelaki itu datang lalu duduk di sisi
perempuan bernama Flo itu, “kau merindukanku, Sayang?” lelaki berkemeja biru
dengan aksen garis-garis vertikal itu mengacak-acak rambut kekasihnya yang
berwarna cokelat sepinggang. Kla menyeringai gemas. Sepasang kekasih itu
bersitatap. Bibir Flo yang merah muda, bergetar.
“Aku hamil, Kla.”
Lelaki di hadapannya itu terdiam begitu saja. Tatapannya
tercekat. Flo lalu menundukkan kepala dalam-dalam. Angin di terik siang
berhembus menggerahkan, melintas di wajah Kla.
“Benarkah?” Kla tak percaya.
“Candaanmu malam itu ternyata tidak lucu, Kla.”
“Tapi kita sama-sama tertawa lepas, Flo.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Apa ayah dan ibumu sudah tahu?”
“Belum. Mereka baru akan pulang dari luar negeri malam
ini.”
“Besok aku akan ke rumahmu. Kita hadapi ini
bersama-sama.”
“Tidak semudah itu, Kla. Mendengar namamu kusebut saja
ayahku seperti sakit
jiwa.”
“Flo sayang, aku sudah mapan. Aku sudah
bisa menyewa rumah dengan kerja kerasku sendiri. Bayi itu yang akan membuat
ayahmu tak dapat lagi mengusirku.” Tangan Kla menggenggam erat tangan Flo yang
mendingin.
“Bukan hanya kau yang akan diusir, Kla. Aku juga.”
“Tidak. Kau semata wayang. Mereka sangat mencintaimu,”
Kla berujar meyakinkan Flo, “aku berjanji. Semua akan baik-baik saja,” Flo membenamkan
dirinya dalam dekapan Kla. Siang itu angin berhembus pelan, menggugurkan
dedaunan kering yang telah ringkih.
*
Satu persatu dedaunan rebah di paving, di jalan-jalan
setapak, juga di kerudung dan di rambut para pengunjung taman kota sore itu.
Mereka dirontokkan angin yang padahal tidak berembus kencang. Terik matahari
juga tidak begitu menyengat, hanya udara khas perkotaan yang mencuat pada saat
ini.
Lelaki tua penjual Batagor Bandung di sebelah pagar taman
kota itu sejak tiba di tempat ini sebelum siang, selalu mengadu sendok dan
mangkuk porselen dengan sangat pelan, sehingga suara yang ditimbulkan dari
keduanya juga tidak begitu nyaring. Tak banyak pembeli yang mampir ke penjual
Batagor Bandung itu. Hanya satu dua pembeli yang mampir. Padahal lelaki tua itu
mengolah batagor-nya dengan resep pilihan yang sangat rahasia. Ah, mungkin
lelaki tua itu hanya ingin memahat kenangan di taman kota, di sisa usianya!
“Kakek, aku mengantuk. Kapan kita akan pulang? Apa masih
lama?” gadis kecil yang duduk beralaskan selembar kain beludru lapuk sebelahan
dengan gerobak Batagor itu menyeru pada lelaki tua, kakeknya itu. Ia lalu
menutup buku bacaan stensilan lusuh berjudul “Surga dan Neraka” yang
dipegangnya.
“Kalau kau mengantuk, tidurlah dulu. Kalau batagornya sudah
habis, baru kita pulang.”
“Tapi batagor Kakek tidak pernah habis.” Ujar anak kecil
itu. Mata keduanya lalu bersitatap cukup lama.
“Tetapi kesabaranmu belum habis, ‘kan?” si Kakek akhirnya
mengangkat suara, memalingkan muka, lalu mulai sibuk kembali dengan sendok dan
piring porselennya.
“Apakah kalau kesabaranku habis, batagor Kakek juga akan
habis terjual?” Gadis kecil itu bertanya. Belum sempat si kakek menjawab, gadis
kecil itu telah memejamkan mata, tubuhnya rebah dengan lutut yang ditekuk.
Hari telah menua. Matahari hampir purna tenggelam. Taman
kota tampak semakin ramai dikunjungi oleh orang-orang yang menjadikannya
sebagai tempat pelarian. Pergantian waktu dari terang ke gelap memang bukan
waktu yang cukup nyaman bagi kebanyakan orang. Tetapi dalam tempo yang
bersamaan, ketidaknyamanan sering diberlangsungkan dengan kehendak yang berbeda
oleh kebanyakan orang itu. Kakek tua itu membangunkan si gadis kecil dari
tidurnya. Keduanya pun meringkaskan perkakas batagornya. Keduanya lalu pulang.
Sang kakek mendorong gerobak dengan semangat seolah isi gerobaknya telah habis,
dan gadis kecil itu berjalan setengah berlari mengimbangi langkah kaki
kakeknya. Tak sabar ia ingin segera tiba di rumah untuk mengabarkan kabar
gembira kepada neneknya, bahwa dagangannya, Kesabaran, telah laris manis habis
terjual.
*
Seorang perempuan berjilbab berseragam dinas tampak
sedang berjalan dengan tergesa-gesa, matanya yang bulat di balik kacamata tebal
mengedarkan pandangan dengan teliti ke seluruh titik di taman kota yang
berselimut panas 40 derajat selsius itu. Tangan kanannya sibuk memegang ponsel
kecil poliponik, sementara tangan kirinya mencengkram tali tas yang
dijinjingnya. Keringat di keningnya yang licin menetes ke alis. Napasnya
memburu, dan tenggorokannya kering.
Seorang lelaki penjual batagor berwajah penuh kerutan
dengan sedikit selaput putih di bagian hitam matanya, menyapa perempuan
berseragam dinas itu, “maaf, Bu. Ibu seperti sedang mencari sesuatu. Apa betul
ada barang yang hilang, Bu? Barangkali saya melihatnya.”
“Ya, Pak. Saya kehilangan ponsel. Seingat saya ponsel
saya ketinggalan di sekitar sini, setelah saya berjumpa dengan seorang teman.
Mungkin sekitar satu jam yang lalu.” jawab perempuan tanpa melihat ke arah
lelaki tua itu. Matanya tetap waspada ke segala arah, khawatir barang yang
dicarinya terlewat dari pencariannya.
“Wah, ponsel? Saya tidak melihatnya.
Dari tadi pun hanya satu dua orang yang lewat di sini. Sudah coba Ibu hubungi?
Mungkin ada yang menyimpannya dan ingin pula mengembalikan kepada Ibu?” kata
penjual batagor itu mencoba menerka.
“Ini sedang saya hubungi. Tetap tersambung, tetapi
sayang, tidak ada yang mengangkatnya.” Perempuan berparas ayu itu sibuk
menekan-nekan tombol ponsel kecil poliponiknya.
“Terus saja dihubungi, Bu. Mudah-mudahan ada yang
mengangkatnya.” penjual batagor mencoba membesarkan hati perempuan malang itu.
Wajah pegawai muda itu tiba-tiba tampak terkejut. Suara
penjual batagor yang sedang berbicara di hadapannya terdengar jelas dari ponsel
poliponik di tangannya. “Loh, ini diangkat, Pak. Suara Bapak dan saya masuk ke
ponsel ini.” Kata si perempuan, matanya lalu meneliti tubuh penjual batagor
itu. Perempuan itu memasang wajah curiga.
“Wah. Sungguh saya tidak tahu menahu ponsel itu. Sungguh
bukan saya yang mengambilnya! Sungguh!” Jawab penjual batagor dengan gugup
sambil meraba-raba sekujur tubuhnya sendiri, memastikan bahwa ponsel itu bukan
dia yang mengambilnya. Dan sungguh pun, lelaki tua berpenampilan lusuh dan
kumal ini memang betul tak tampak menyembunyikan sesuatu.
Perempuan berseragam dinas sangat rapi dan lelaki tua
penjual batagor itu sama-sama kebingungan mencari ponsel yang hilang, sekaligus
kebingungan karena suara percakapan mereka terdengar di ponsel itu. Tak ada
siapa-siapa di dekat keduanya, melainkan seorang gadis kecil berambut pirang
berbau matahari yang sedang duduk di sebelah gerobak Batagor Bandung yang
sedang menekuni sebuah buku stensil berjudul “Surga dan Neraka”.
Taman kota pada pagi menjelang siang dengan cuaca yang
amat sangat menggerahkan itu memang tak layak dikunjungi oleh siapa pun,
melihat situasi di tempat itu tak ada orang kecuali mereka bertiga. Hingga
selepas azan duhur, perempuan muda dan lelaki tua itu menyerah setelah berbagai
upaya dilakukan untuk menemukan ponsel itu, kendati mereka tak habis pikir,
mengapa suara keduanya, klakson dan deru mesin kendaraan di jalan raya yang
bersisian dengan taman kota yang terdengar bising itu, juga terdengar di ponsel
poliponiknya sampai keduanya memutuskan untuk berpisah.
Perempuan berjilbab itu pergi
meninggalkan taman kota dengan perasaan cemas di dadanya, berharap ponselnya
yang raib itu tidak jatuh ke tangan orang lain.
*
Hari itu, pagi-pagi buta, seorang lelaki paruh baya
berkepala botak dan bertubuh tambun mengenakan pakaian olahraga sedang duduk di
bangku cor taman kota. Udara pagi yang masih relatif bersih itu menimbulkan
semilir angin yang menyejukkan. Musik jazz
yang melengking dari penyalur suara di telinganya yang tersambung dari
ponselnya, membuat kedua kakinya yang
terbungkus sepatu Adidas
bergerak-gerak seru. Seorang lelaki bertubuh kurus dengan kumis tipis dan
berambut cepak, yang juga mengenakan kostum olahraga, berlari-lari kecil ke
arah lelaki itu. Lelaki yang duduk di bangku cor itu menoleh ke arah lelaki
yang mendekat ke arahnya, sembari melepas penyalur suara di telinganya, bangkit
dari duduk, ia lalu melempar senyum tipis ke arah kawannya.
“Kawan, pagi ini kau tampak semangat sekali.” Sapa lelaki
bertubuh kurus itu sembari menjabat tangan lelaki bertubuh tambun. Keduanya
tampak sangat lebih akrab setelah saling berangkulan.
“Hohoho. Pernahkah kau melihatku loyo dan lemas tak
berdaya?” Lelaki bertubuh tambun itu menjawab pernyataan kawannya dengan
pertanyaan yang menimbulkan tawa lepas keduanya.
“Hahaha. Rupanya obrolan kita semalam betul-betul belum
selesai.” Lanjut lelaki bertubuh kurus. Keduanya lalu duduk di bangku cor itu.
“Obrolan kita memang tidak akan pernah selesai.” Sambut
lelaki bertubuh tambun dengan antusias.
“Mengapa kau mengajakku bertemu di tempat ini untuk
membicarakan hal itu?” Tanya lelaki bertubuh kurus.
“Kau mau kita membicarakan hal ini di kafe? Kau
menginginkan kita bersama-sama masuk televisi, berseragam warna orange, sambil melambai-lambaikan tangan
ke kamera?” Jawab lelaki bertubuh tambun itu menimpali. Keduanya lalu melepas
tawa bahaknya.
Jarum jam menunjukkan pukul enam kurang
seperempat. Udara khas kota mulai tak nyaman. Taman kota mulai ramai dengan
lelaki perempuan dan tua muda yang hendak berolahraga dan bersenang-senang.
Lelaki bertubuh tambun dan kawannya yang bertubuh kurus itu pun mengakhiri
pertemuan mereka dengan pelukan hangat khas sahabat. Keduanya berpisah
sementara waktu, untuk selanjutnya bertemu lagi di suasana dan tempat yang
berbeda.
*
Pagi itu, suatu hari di mana jarum jam mulai aus
berputar, lumut-lumut di dinding mulai menebal, dan jamur-jamur tak tumbuh di
musim hujan karena musim sudah acakadut tak jelas, kantor-kantor birokrasi,
sekolah, pertokoan, kafe, warung makan, toilet umum, pasar tradisional,
sawah-sawah, perkebunan, rumah dari yang paling mewah sampai yang paling
bobrok, juga tempat-tempat ibadah, masyarakat seluruh penjuru kota sampai
pelosok desa, termasuk daerah-daerah di sekitarnya, dikejutkan oleh sebuah
surat kabar anyar dengan nama “Harian Taman Kota” edisi perdana yang tergeletak
di depan rumah, kantor, dan pertokoan mereka. Halaman depan surat kabar
tersebut bertajuk “Mari Selamatkan Bumi Pertiwi”.
Masyarakat berbagai lapisan, dari yang pandai membaca
sampai yang buta aksara macam manula, pada saat yang sama membaca rangkaian
berita di koran yang tebalnya mohon ampun itu; kasus pisah ranjang yang
berujung perceraian dengan gadis kecil yang kini pindah rumah dan tumbuh dewasa
di rumah sakit jiwa, sepasang remaja yang kini menua dengan anak pinak yang tak
jelas siapa ayahnya, gadis kecil yang kini tumbuh dewasa menjadi miliarder
inspiratif dan pengusaha Batagor Bandung yang jelas tak hanya populer di
Bandung, melainkan hingga ke luar negeri, juga perempuan berjilbab yang kini
menua di balik jeruji besi akibat keterlibatannya dalam mata rantai pengedaran
narkoba di negeri ini, dan tampak pula gambar lelaki bertubuh tambun sedang
merangkul lelaki bertubuh kurus dengan seragam berwarna orange di salah satu halaman di dalam koran itu, dengan jerat kasus
penggelapan uang negara.
Taman kota itu, dari mulut ke mulut dan dari generasi ke
generasi, dituturkan sebagai penyebar aib. Maka sekonyong-konyong, begitu surat
kabar misterius itu beredar tanpa kurir yang jelas, taman kota yang
berseberangan dengan rumah ibadah, yang pepohonannya menimbulkan ritmis angin
kesejukan itu kini diblokade. Sekelilingnya ditutupi dengan seng gelombang lengkap
dengan barikade dan pita kuning bertuliskan “Police Line Do Not Cross”.
*[Ditulis oleh Zyadah. Perempuan penikmat hujan, buku,
khayalan, ikan, dan Psikologi. Sedang berperang di medan jihad, melawan
kemalasan. Tinggal di Sukorejo Situbondo Jawa Timur]
____
Sumber
foto : Hazan Jr.
Cerita dari Taman Kota dan Surat Kabar Misterius
Reviewed by Takanta ID
on
Juli 11, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar