Oleh : Ahmad Zaidi
Tubuh dekil itu terburu-buru menyusuri
trotoar. Songkok nasional di kepalanya terbang dihempas angin. Tangannya
menggapai-gapai, mencoba meraih, agar penutup kepalanya tak jatuh ke aspal kemudian dilindas ban
kendaraan yang lalu-lalang. Tubuh kumal itu kembali
berjalan, kali ini lebih cepat, lalu hilang ditelan gedung besar di tengah
kota. Siapa pun bisa membaca tulisan besar di halamannya yang luas. Balai Kota.
“Ada perlu apa, Pak?” Seorang Pegawai
dengan baju rapi—lengkap dengan dasi— macam resepsionis, bertanya. Mungkin pertanyaan ini sudah ia hafal dan tak
terhitung berapa kali telah diucapkan sehingga tak ada ekspresi yang tergambar
jelas di raut mukanya. Tak ada kesungguhan bertanya dalam intonasi suaranya.
“Saya ingin bertemu Bupati.” Laki-laki
tadi menjawab, pandangannya mengelilingi seisi ruangan. Nyaman betul kerja di
sini, pikirnya.
Dahi pegawai itu mengernyit,“Tidak salah,
Pak?” Matanya mengamati sekujur tubuh Pria Tua di hadapannya.
“Eh. Apa?”
“Saya tanya, anda tidak salah alamat?”
Pegawai Baik Hati mulai ketus.
“Tidak, tidak salah kok, Mas.”
“Baiklah! Mohon tunggu sebentar.” tangan
Pegawai tersebut cekatan sekali memencet tombol lalu mengangkat gagang telepon
berdering.
“Halo, ada yang bisa saya bantu? Baik,
Ibu. Kenapa? Ya.. Baik, akan saya usahakan.” Telepon dimatikan.
“Kenapa masih berdiri?” si Pegawai kembali
bertanya, melihat Pria Tua tadi tak beranjak dari tempat semula.
“Anu.. Kan belum dipersilakan duduk, Mas.”
Sang Pegawai ber-puh pelan.
“Silakan duduk, Pak!”
***
Sirun, begitulah para tetangga
memangggilnya. Bapak yang menyanyangi anaknya, menyekolahkan, memberi kehidupan
sederhana bagi keluarga. Semenjak sang istri meninggal, tinggallah ia bersama
anak sematawayangnya di desa Sukaheboh, pesisir utara Kabupaten Sonar. Di sana
mereka mengadu nasib, mengais peruntungan pada laut. Ketika sulit mendapat
tangkapan ikan, berhari-hari Sirun harus bekerja di luar kota sebagai kuli
bangunan. Demi menyambung biaya sekolah Maman, anaknya. Kalau sudah begitu,
Maman harus rela menunggui Sirun tanpa sesuap nasi. Satu-dua hari sudah biasa
baginya.
Terkadang, mereka memunguti sampah di tepian pantai
Sukaheboh. Mengumpulkannya, setelah cukup banyak barulah di jual.
Sirun mendidik Maman untuk mencintai alam,
khususnya pantai. Terkadang ia menceritakan bagaimana dulunya, hasil laut
melimpah, nelayan Sukaheboh tercukupi kehidupannya. Berbeda dengan sekarang,
para nelayan tak tentu nasibnya. Di mana-mana telah terjadi pengrusakan. Nasib
nelayan diabaikan.
***
“KHHIIKK!”
Sirun mengerem. Seseorang telah
menunggunya di seberang jalan.
“Jadi, mana orang yang katamu bisa
membantuku, semalam?” Sirun menghampiri orang itu, Pak
Darmaji.
“Tenanglah sebentar, Run. Jangan terburu-buru.
Mungkin segelas kopi bisa mencairkan kegelisahan kamu itu. Dan kabar baiknya,
kopi di sana enak tanpa tandingan.” Pak Darmaji menunjuk kedai kopi di seberang
jalan, “Bagaimana, kamu mau?”
Sirun mendengus sebentar,“Baiklah!”
Pak Darmaji adalah warga desa Sukaheboh,
teman sepermainan Sirun semasa kecil, sama-sama dijerat kemiskinan,
ditinggalkan istri pula. Hanya saja, Pak Darmaji dikirimi surat cerai oleh sang
istri lantaran tidak mampu memberi nafkah. Bayangkan saja, istri mana yang
tahan melihat suami sering pulang malam, kerjaannya berjudi, kalah taruhan,
barang-barang berharga di rumah dijual satu-persatu. Siapa yang tahan, tidak
diberi nafkah seminggu, ditinggal pergi, anak-anak tidak diurus nasibnya.
“Sudahlah, Ji. Aku pulang saja!” Setelah
beberapa jam menunggu, menghabiskan dua gelas kopi, beberapa gorengan, yang
ditunggu belum tampak ujung rambutnya, Sirun memutuskan pulang. Alangkah lebih
baik ngarek daripada menghabiskan waktu di warung kopi macam
sekarang; menyisakan waktu bermain buat Maman.
“Bilang sama pejabat kamu itu, lain kali
‘jangan berjanji’ kalau tidak bisa menepati!” Sirun sudah berada di atas sepedanya, melaju
pelan.
“Lho, Run! Siapa yang bayar kopi sama
gorengannya?” Pak Darmaji berseru kesal. “Ruuun, Sirun. Hei!”
Sirun hanya melambaikan tangan, tidak
menoleh. “ Masukan saja dalam daftar tagihan pejabat kamu itu! Pasti dia
maklum.”
Sekonyong-konyong, Ibu pemilik warung
berdiri di hadapan Pak Darmaji.
“Jangan lari sampeyan!”
Pak Darmaji mengangkat kedua tangannya,
“Maaf lho, Bu! Saya tidak bermaksud ngutang. Tapi mau gimana lagi,
sepeserpun saya tidak punya uang.” Pak Darmaji menjelaskan perihal kopi dan
gorengannya tadi kepada pemilik warung.
“Ya sudah, mana KTP sampeyan?”
Patah-patah, Pak Darmaji menjulurkan
tangan, menyerahkan satu-satunya penghuni dompet lusuh di saku kiri. “Ini, Bu.”
Sebelum bergegas pergi, Pak Darmaji
menyempatkan bertanya. “ Ngomong-ngomong, KTP saya itu buat apa, Bu?”
“Buat jaga-jaga, Pak. Sekarang ini banyak
kasus penipuan, saya lihat di tipi semalam. Kalau dalam
sebulan, bapak tidak juga bayar, ya terpaksa, saya laporkan ke pihak berwajib!”
Seketika tubuh Pak Darmaji lemas. Apa kata
Ibu pemilik warung tadi? Pihak berwajib? Ah, dia tidak mau lagi digebuk macam
kasur dijemur.
***
Malamnya, Sirun memutar otak, berpikir
keras. Bagaimana caranya menyampaikan masalahnya kepada orang nomor satu di
kabupaten. Ia teringat dengan usahanya untuk bertemu, berjam-jam menunggu di
kantor pemerintah, hanya tamu berpakaian rapi yang dipersilakan masuk,
mengenakan jas rapi, hingga ia pulang. Begitupun usahanya tadi siang,
berjam-jam menunggu pejabat kenalan Pak Darmaji, nihil. Lagi-lagi ia harus
pulang dengan tangan kosong.
“Pak! Tadi, di sekolah, Maman diajari
menulis surat. Maman bingung harus nulis buat siapa. Ibu Guru menyuruh menulis
buat Bapak. Hasilnya, surat itu dapat nilai sembilan puluh. Pintar kan Maman,
Pak?” Maman bercerita. Sudah kebiasaan anak seusianya, menceritakan peristiwa
yang dialami kepada orang tua.
Apa katanya tadi, Surat? Ah, ya. Surat!
Alih-alih menjawab, Sirun beranjak dari
duduknya, mengambil secarik kertas dan pulpen. Maman yang kebingungan
menatapnya penuh heran.
“Sebentar, Nak! Bapak mau menulis surat.”
Maman semakin bingung.
Di hadapan kertas itu, pikiran sirun
seakan tumpah ruah. Sekarang ia tahu bagaimana cara menghubungi dengan Bupati,
tanpa harus mengenakan pakaian yang mungkin saja harganya cukup untuk makan
sebulan, dua bulan barangkali.
Ia ingin meminta beberapa tempat sampah,
mengingat pantai Sukaheboh sering didatangi turis lokal. Ia ingin meminta
beberapa bibit bakau untuk ditanam, karena akhir-akhir ini permukaan air laut
semakin naik. Ia takut terjadi abrasi sehingga harus dicegah dengan
menanam pohon tadi. Dan terakhir, ia ingin masyarakat di Sukaheboh diberi
penjelasan pentingnya menjaga laut dan melestarikannya.
Di bawah temaram templok, Sirun mulai
menulis suratnya.
Kepada Yth. Bapak Bupati []
___
-
Pernah dimuat di Radar Banyuwangi (2015)
-
Sumber foto : Hazan
Kepada Yth. Bapak Bupati
Reviewed by Takanta ID
on
Juli 23, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar