Oleh
: Baiq Cynthia
Ketika gelap menyapa sosok
yang bercelana jin, angin malam berantuk kulit berbalut jaket. Aku mengayuh sepeda di tengah temaram. Bekas
rinai hujan, terus bertasbih. Pepohonan masih basah. Aroma tanah menguat diguyur
langit.
Tak ada rumah penduduk. Jejeran
lahan sawah, sebuah toko bangunan telah tutup. Dingin menyergap kompleks
pemakaman. Diiringi melodi sayap jangkrik. Satu-dua motor melintas seolah
dikejar sang waktu. Aku mempercepat mengayuh sepeda. Napas sedikit tersengal.
Menumbuhkan bulir-bulir di kening.
Padahal udara masih dingin.
Sisa tenaga telah menyusut, digunakan seharian di kampus. Berurusan dengan mata
kuliah Logaritma. Huh! Dosen Killer. Membayangkan saja membuat perutku
berbunyi.
Baru seperempat jalan yang
kutempuh. Jalan beraspal penuh lubang. Sering kali membuat sebuah guncangan
mini. Getaran kecil pada keranjang. Aku senang jalan sepi. Tidak harus menyempil
di antara mobil dan motor berlomba mencapai finish.
Jalan alternatif kota Malang
ke Batu berukuran 5 meter. Pinggir aspal berbatu. Menyulitkan aku bersepeda,
jika ada mobil yang ingin menyalip. Terkadang mereka yang mapan, suka kurang
empati kepada pengendara sepeda. Padahal, mereka memiliki jalur sendiri.
Entahlah, penerangan cukup.
Meski beberapa lampu di jalan tidak ada. Cukup terbantu dengan lampu di
beberapa kios yang sudah merapatkan gerendel.
Energi habis-habisan dikuras
di pagi hari. Jalan menanjak 60°. Kemudian sedikit menurun. Kali ini aku
senang, jalan sedikit menanjak, lebih banyak menurun. Menjadi jalur favorit, bisa
menghemat 30 menit. Meski ya, sepi.
Tadi, saat di pengkolan
kuburan, aku melihat sepasang lelaki setengah baya. Tanpa helm. Posisi mereka menyerong,
seakan menghambat jalanku. Aku mengebel dengan petikan bel sepeda.
Kring ... kring ... kring.
Begitu bunyinya. Aku hanya sedikit tertawa, tanpa berkomentar. Dalam benakku,
dia seperti menunggu seseorang. Tapi, mengapa harus di depan kuburan, yang
gelap pula. Menutup prasangka. Meski bayangan buruk tentang hantu mengusai.
Kedua kaki mengayuh lebih
cepat, aku merasa diikuti dengan mereka. Tetapi, kembali lagi berusaha berpikir
positif. Perasaan mulai tak nyaman. Apalagi tak ada aktivitas di jalan yang
kulewati. Mulai berputar di kepala. Kasus asusila.
Semoga terhindarkan. Memang
aku menutup aurat. Tetapi, pakaian masih seperti laki-laki. Menggunakan jin,
sepatu kets dan jaket dengan ujung kerudung masuk ke dalam jaket. Itu
semata-mata untuk mudah mengayuh. dari
kain rok yang terselip di antara gigi rantai sepeda.
Aku berdoa kepada Allah,
meminta perlindungan dari kejahatan. Wajahku tegang, setan-setan seolah
tertawa. Aku bersyukur masuk kawasan pertigaan perumahan. Lumayan ramai,
apalagi dekat minimarket. Tapi, jika
dilihat lagi lima puluh meter di depan lengang. Berupa turunan sekaligus
tanjakan. Ada rasa was-was, ditambah lampu sepeda tak ada. Benar-benar gelap.
Menyesal pulang malam.
Wajah mereka menakutkan,
menggunakan jaket hitam. Lelaki yang menyetir hanya menyeringai kecil.
Rekannya yang dibonceng seolah mengawasi, dengan puntung rokok yang tandas.
Tapi, aku tak bisa terus-terusan berhenti di sini. Berdiri di pertigaan. Sedikit
ramai, banyak pengendara. Hanya saja, bak robot yang pandai bicara bahasa
manusia. Tidak akan menoleh jika tidak ada perintah memanggil.
Aku kembali berserah kepada
Allah, komat-kamit kulafalkan Asma-Nya. Aku tak siap jika kedua lelaki itu bertindak
amoral. Dengan menguatkan keberanian, memperbaiki posisi ransel dalam keranjang
sepeda. Perlahan kembali mengayuh. Beberapa tetes peluh sudah menitik di
kening. Pikiran mulai kosong.
Saat menapaki polisi tidur,
aku sedikit terkaget. Sebuah tangan sudah lebih sigap menarik tasku. Lidahku
keluh. Aku berteriak dibalik masker yang kupakai. Tapi, tak seorang pun
menoleh. Ada senyum keji di bibir lelaki yang mengambil tasku. Sekuat tenaga,
mengayuh sepeda keranjang pinjaman seseorang dermawan.
Semakin berusaha menanjak,
semakin lemah rasanya. Otot yang semula tegang menjadi tak berdaya. Aku sudah
tak bisa melanjutkan perjalanan.
Aku berhenti di pojok perempatan.
Bernapas dalam-dalam. Bersyukur tidak
kurang satu pun. Aku selamat pula dari peristiwa penculikan atau penganiayaan.
Selang dua detik aku ingat.
Isi tasnya begitu berharga. Ada buku perpustakaan yang dipinjam, dokumen
penting, termasuk identitas diri. Bulir hangat tak terasa membasahi pipi.
Kutatap langit yang penuh bintang. Mengapa mereka begitu kejam. Membuat
kerumitan untukku. Padahal aku tak menggunakan perhiasan, juga tak terlihat
anak orang kaya. Tega, bisa-bisanya mengambil barang mahasiswa.
Kakiku kaku, sedikit trauma.
Tak mampu, untuk melanjutkan jalan pulang. Aku pun tak tahu di mana pos polisi.
Hanya tahu rute sepanjang jalan yang kutemui, berupa deretan toko-toko kecil.
Selagi beristigfar, aku
mencari rumah penduduk. Tepatnya ke arah mereka melarikan diri. Wajah pias,
keringat bercucuran. Telepon genggam juga ikut raib. Tak ada yang bisa
dihubungi. Kuharap orang rumah tak cemas.
Ada lelaki yang sibuk menelepon
seseorang, seketika berhenti melihatku. Aku mendekatinya, “Permisi Mas, kantor
polisi di sekitar sini di mana?” tanyaku terbata-bata.
“Wah! Jauh, Mbak! Sekitar
arah dari Dinoyo. Masih terus. Memangnya ada apa mbak?”
“Saya kecopetan, Mas! Ada
dokumen penting, juga handphone,” tangisku kembali pecah.
Aku menceritakan secara
runtut, perihal tersebut. Kukatakan, bahwa aku tak berani naik ontel untuk
pulang. Dia langsung masuk berbicara dengan keluarganya. Orang tuanya
ikut-ikutan berkomentar, “Memang di jalan Saxofon rawan. Banyak kejahatan, ada
yang sampai terluka.” Aku jeri, mendengarnya. Sekalipun tak mengalami hal
buruk. Itu menyakitkan. Aku yang hanya kehilangan barang berharga, sudah
benar-benar luka namun tak berdarah.
“Allah,” rintihku pelan.
Laki-laki yang tak diketahui
namanya, sigap memasukkan sepedaku. Lantas mengeluarkan sepeda bebek tahun
2008. Sedikit sungkan, apalagi belum kenal. Tetapi, lagi-lagi aku bersyukur.
Masih ada orang baik yang mau menolongku. Melewati jalan tikus, yang selama ini
tak diketahui. Hingga muncul ke jalan besar. Menjadi benar-benar macet di area
ini. Dia mengantarku begitu lincah menerobos celah kendaraan.
Sayup-sayup mendengar azan
Isya. Hatiku seolah tertindih beban, ada getaran kuat. Mata sudah panas,
terlalu sering menangis. Aku malu, sekaligus menyesal.
Kami tiba di kantor polisi,
pertama kali berurusan dengan mereka. Sebelumnya pernah ke kantor polisi untuk
mengurus surat catatan kelakuan baik, saat di kampung.
Petugas yang berjaga, hanya
memberikan pertanyaan singkat. Tentang lokasi pencopetan, kejadiannya, juga
waktunya.
“Maaf, mbak. Untuk kasus ini
tidak bisa kami proses, mengenai barang yang hilang tidak bisa dicari. Barang
tidak bernilai jutaan. Juga, kejadian pencopetan terlalu sering terjadi. Kami
kewalahan. Tetapi, kami akan membantu mengurus membuat dokumen salinan, sebagai
bukti kehilangan. Jika ingin segera diproses, harap segera kembali dengan
fotokopi KTP. Kami tunggu,” jawab sosok polisi dengan rambut tipis, dahi penuh
lipatan. Usianya sekitar 50 tahun. Dia mencoba menghiburku dengan lelucon, “Kok
masih nangis, sudah gede!”
Lelaki yang menemaniku,
dengan sabar mengantar pulang. Aku hanya menunjukkan rutenya. Menuju perumahan
Permata Jingga. Dalam hati hanya berpikir, bagaimana si pencopet bisa begitu
berani mengambil barang-barang orang lain. Barang yang paling berharga, bagiku.
Berisi catatan kuliah, tulisan penting. Dokumen yang wajib dimiliki. Tak ada
uang di sana. Paling-paling hanya seribu.
Bagai putaran film yang
dipercepat dalam tempurung kepala. Aku teringat, masa bagaimana tingkahku
semasa di kampus. Maskulin, lebih suka menggunakan pakaian ketat. Pulang malam,
Shalat sering di ujung waktu. Terlalu banyak berbohong mengenai jam kuliah.
Waktu luang digunakan untuk hang out, bahkan pernah tak pulang ke rumah.
Bermalam di kos teman. Alasan tugas. Padahal aku mencari pelampiasan kekesalan,
disakiti oleh lelaki.
Lelaki yang kupercaya,
ternyata berkhianat. Aku tak suka memperlihatkan kesedihanku. Sebagai rasa
kesal, aku mojok di kafe sekedar minum kopi. Bercanda-canda dengan
senior yang biasa nongkrong. Entah, bahasan apa saja selalu aku tanggapi. Meski
rata-rata tempat penuh laki-laki, tak ada risi. Sering diantar jemput teman
laki-laki untuk sekedar nonton teater.
Kebiasaanku yang ngomong
kasar kepada teman lelaki. Misuh-misuh ala Malang pun menjadi biasa. Aku lebih
keras kepala. Lebih suka nongkrong di tempat yang asyik. Salah satu anggota klub basket. Setiap malam
Minggu latihan, biasanya sampai pukul sepuluh. Lagi-lagi aku menikmati masa
kebebasanku.
Jika di kampung berasa di
penjara. Ayahku melarang keras keluar rumah. Kali ini hidupku merasa bebas
saja.
Benar-benar membuatku lupa
berdoa, Shalat sunah pun tak pernah dilaksanakan. Kitab Al-Quran sudah penuh
debu. Jarang dibuka. Lebih sering main gadget, chatting hingga lupa
makan, lupa tugas dan macam-macam. Tapi, pekerjaanku selalu selesai, karena aku
tinggal di rumah orang tua asuh. Mereka hanya tahu, aku sibuk dengan
organisasi, sibuk tugas dan main basket juga. Padahal di sela-sela itu aku
sering bermain, menikmati masa muda.
“Ini belok kiri?” tiba-tiba
seorang yang sedari tadi seperti ojek. Mengagetkanku.
“Lurus, Mas! Nanti berhenti
di pos depan untuk ambil free pass,” jawabku sedikit menyeka airmata
yang keluar.
“Sudahlah, Adik jangan
menangis terus. Allah hanya memberikan ujian kepada hamba yang disayangi-Nya.
Sabar dan banyak berdoa. Semoga diganti yang lebih baik. Ikhlaskan saja
barangnya. Terpenting, Adik tak papa,” jawabnya menenangkan hatiku.
Ada udara dingin yang lewat
di antara kami. Sekaligus, aku merasa canggung. Baru pertama kali bertemu
dengan lelaki yang perhatian. Selama ini teman nongkrong hanya suka meledek. Bahkan
mantan pacarku tak peduli, lebih suka mencari keuntungan sendiri.
Kami sudah tiba di sebuah
rumah minimalis, desain interior modern. Taman dan lampu temaram di sana. Aku
turun perlahan. Masuk juga mengajak dia untuk mampir. Sebagai tanda, aku pulang
bersama orang. Sepedaku juga ada di rumah dia. Jadi, masalah sepeda biar clear.
Sedikit ragu mengetuk pintu.
Tapi, aku beranikan saja. Dia yang menggosok kedua tangannya, hanya berdiri di
pintu pagar. Sesekali tanpa sengaja mataku beradu pandang dengannya. Aku
melengos. Tak akan membiarkan jantung berdegup lebih kencang. Selang beberapa
menit, terdengar gerakan kunci berputar.
Aku menyalami tangan tante,
kebetulan dia yang membuka. Aku bercerita singkat tentang diantar dengan lelaki
yang menolongku.
“Kamu ndak papa
tapi?” getar suara Nenek yang tampak khawatir. Dia sudah tiga jam menunggu
kedatanganku. Aku menyalaminya.
“Aku enggak papa, Nek. Hanya
saja barang-barang sudah raib. Tadi sempat ke kantor polisi, jadi harus segera
mengurus surat tanda kehilangan untuk buat KTP, KTM dan ATM.”
Lelaki yang mengantarku akan
membawakan sepedaku juga. Alhamdulillah, dia memang baik. Tampaknya dia
tergesa-gesa. Katanya mau ke masjid.
Masjid? Aku sudah lupa bagaimana
aroma mukena di masjid.
Malam yang dingin,
membekukan hatiku. Tante Poppy yang masih terlihat sepuluh tahun lebih muda.
Mengeluarkan mobil dari garasi. Mau tidak mau aku diantar menggunakan mobil
Nenek. Karena sepeda motornya digunakan suaminya membeli makanan.
Untuk pertama kali, aku bisa
duduk di dekat pengemudi. Ada debar-debar haru. Meskipun mereka keluarga
angkatku. Tetapi, kasih sayangnya melebihi ibuku. Seketika aku merindukan Ayah
di kampung. Ayah yang meski terlihat keemosian juga sering mengekangku. Tetapi,
aku merasa terlindungi. Tak mungkin akan kena jambret.
“Hei, Salwa! Mengapa ngelamun?”
Aku hanya termangu menatap
jalan-jalan dengan mata kosong. Tapi aku masih mendengar apa yang dibicarakan
oleh Tante.
“Jangan dipikirkan lagi.
Anggap saja, mereka itu butuh. Untuk memenuhi kebutuhan Anak-Istrinya. Kepepet.
Jadi, terpaksa mengambil barangmu. Bisa jadi juga, ini teguran Allah, kamu
kurang sedekah.”
Aku tertegun, menatap
perempuan dengan syal di lehernya. Dia terus berbicara tentang sedekah. Memang
jika jarang bersedekah. Akan sering mendapatkan musibah, misalnya yang aku
alami.
Aku kembali memutar pikiran,
kapan terakhir kali bersedekah. Iuran untuk korban banjir saja. Itu pun
terpaksa, karena malu kalau tidak ikut menyumbang. Astagfirullah.
Bulir bening itu kembali
hangat di pipi. Terlalu banyak dosa-dosa yang kulakukan. Nikmat yang tak
kusyukuri. Harusnya aku beruntung punya orangtua angkat yang dermawan. Aku bisa
tinggal di rumah elite, kuliah jurusan favorit. Lalu, hanya kusia-siakan.
Mataku selama ini tertutup
oleh gelimantang kebahagiaan fana. Sudah lupa dengan penciptaku. Terlalu pongah
berjalan di atas bumi ini. Tanpa peduli siapa pun. Hatiku sembilu. Merintih
menyesal pada yang kulakukan. Aku malu. Selama ini menghabiskan waktu dan
nikmat kesehatan tanpa guna.
Padahal di rumah sakit
begitu banyak yang bertahan melewati rasa sakit. Waktu bagi mereka seolah
lambat.
“Eh, kamu! Masih tetap
menangis? Kayak anak kecil saja,” lamunanku dijeda oleh suara polisi yang sama.
Aku hanya bersemu kecil, sembari mengusap ingus.
Terima kasih ya Allah, atas
kesempatanmu. Menyelamatkanku saat kondisi sempit. Membahagiakan saat berduka.
Memberikan apa pun yang kuimpikan selama ini. Bahkan dengan rahmat-Mu, Aku
diingatkan untuk kembali dengan hilangnya barang berharga. Termasuk hilangnya
masa lalu yang kelam.
Kumohon, terimalah
kembalinya jiwa yang haus akan kasih sayang-Mu. Bimbinglah jalanku. Jalan yang
gelap tanpa cahaya. Hati yang kosong, terkikis lamanya tak membaca kalam-Mu.
Lisan yang penuh noda berucap yang tak pantas. Pun auratku yang masih belum
sempurna. Sikap yang jahil. Tuntunlah pada semburat hidayah-Mu. Aku siap
berhijrah!
~*~
“Kamu tahu? Sejak acara di Batu kemarin.
Ada yang buntutin ke Malang. Dia mencari wanita yang bernama Salwa,” suara
tante Poppy membuatku tertegun.
“Maksud Tante?”
“Maksud Tantemu, dia mau melamar kamu,
Nduk. Kami setuju, banget. Sudah sugih, mapan, akhlaknya baik. Ya semoga kamu
suka dan jadi jodoh dunia akhirat.”
“Aamiin,” setengah teriak, pipiku
menjadi merah jambu.
~***~
Allah maha pemberi Hidayah. Setiap
kejadian yang menimpa kita, menjadi sebuah rahmat. Mengingatkan kita untuk
kembali di jalan-Nya. Kehilangan adalah cara untuk menemukan. Tanpa merasa kurang
kita tak akan pernah bersyukur.
Dunia hanya sementara, Akhirat yang
kekal. Dengan berpegang teguh pada agama secara kaffah, cahaya cinta-Nya
akan terus menyinari hati kita. Tetap istiqomah di jalan yang benar.[]
____
Penulis
asal kota Santri. Masih suka galau kalau lagi lapar. Suka makan bawang goreng.
Biasanya menyebut dirinya ambivert. Akun
sosmed : FB = Baiq Cynthia, Twitter = @baiqverma, Instagram = baiqcynthia.
Sumber Gambar : bhmpics.com
Kau dan Kehilangan
Reviewed by Takanta ID
on
Agustus 04, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar