Masih Pentingkah Festival Kampung Langai?
Oleh : Panakajaya Hidyatullah
Tidak terasa, Festival Kampung Langai (FKL) kini telah memasuki tahun keempatnya, sebuah capaian yang sungguh luar biasa. Saya secara pribadi sangat mengapresiasi kerja keras kawan-kawan komunitas yang tergabung dalam FKL dan tak luput pula para warga Dusun Langai Sumberkolak (khususnya) yang secara konsisten menyelenggarakan pagelaran ini. Saya menaruh harapan besar kepada kawan-kawan komunitas, dan seluruh seniman di Situbondo yang terlibat dalam acara ini. FKL sebagai satu-satunya kegiatan yang mampu menjadi tempat bertemunya komunitas-komunitas kreatif di Situbondo. Semoga terus terpelihara dan bisa menjadi pemantik kegiatan-kegiatan kreatif yang lain.
Festival Kampung Langai lahir dari sebuah gerakan kecil (remeh temeh), saya masih ingat betul bagaimana prosesnya kala itu. Digelar dengan sistem patungan, pinjam sana-pinjam sini, utang sana-utang sini, saling ngisi, saling bantu, tolong-menolong, dan bahu-membahu. Sebuah gerakan kesenian yang tak pernah saya rasakan sebelumnya di Situbondo, benar-benar mencerminkan semangat kultural kita, “semangat kampung” semangat kebersamaan.
Seiring berjalannya waktu, FKL tumbuh semakin gagah, semakin riweh, semakin semarak, semakin ‘estetis’, dan semakin ‘artistik’, jika tak percaya silahkan kunjungi laman instagram FKL di @kampunglangai. Di balik kegagahannya, di satu sisi menimbulkan kebanggaan tersendiri dan di sisi lain menyisakan serangkaian pertanyaan yang paradoksal.Semisal, “katanya festival kampung, kok kontennya gak ada yang kampung selain dangdut?”, “Ini acaranya anak-anak kampung, apa anak-anak kota yang meminjam kampung?”, “kok gak ada orang kampung yang nonton?, apa mereka cuma sibuk jaga parkir?”, “FKL apa bedanya dengan pensi-pensi SMA?”
Disadari atau tidak, pertanyaan macam ini selalu menjadi momok di kepala saya, beberapa kawan yang saya temui bahkan melontarkan pernyataan penuh rasa pesimis, “paling acaranya ya gitu-gitu aja”. Sebuah pernyataan yang mengandung makna dan ekspresi penuh kebosanan, seakan-akan tidak ada lagi kebaruan (inovasi) dari FKL. Tapi sebelum kita larut dan terlalu jauh suudzon, serta berprasangka buruk atasnya, izinkan saya menulis beberapa uneg-uneg atas pertanyaan dan pernyataan tersebut.
Tulisan ini merupakan sebuah usaha saya untuk mencari beberapa alasan yang relevan untuk menjawab pertanyaan yang disematkan dalam judul tulisan di atas, sebuah refleksi atas peristiwa dari FKL 1 sampai FKL 3, dimana di setiap peristiwanya tersirat dinamika dan dialektikanya tersendiri. Sebuah usaha untuk menyampaikan kepada para pengindra (baca: pemerhati) tentang seberapa penting kegiatan ini bagi masyarakat, dampak sosial dan budayanya. Karena saya pikir, sebuah kegiatan kesenian (kebudayaan) hanya akan menjadi sampah di masyarakat ketika tak memberikan dampak yang nyata. Lebih-lebih belakangan ini geliat dan isu festival sedang marak (mainstream) di setiap daerah. Anasir-anasir tradisi dan budaya menjadi barang populer semacam kacang goreng. Sebagaimana terma populer, ia digandrungi para remaja-remaja hits, dan sayangnya mereka hanya memanfaatkannya sebagai ajang untuk berfoto-foto ria, kemudian mengunggahnya ke instagram, memamerkan pada teman sebayanya, mendapat banyak like dan komentar, lalu selesai.
Guna memberikan lanskap tentang latar belakang kegiatan ini, bagaimana prosesnya hingga seperti apa dampaknya, ijinkan saya untuk memaparkannya satu persatu. Paling tidak ada empat hal yang membuat FKL menjadi penting untuk dilaksanakan, dirawat, diperhati-kan, diapresiasi, dikritik dan ditonton.
Pertama: Sebuah Upaya Merawat Kegelisahan
Sebagai pelaku, saya menyadari betul tentang pernyataan dan pertanyaan pesimistis seperti yang telah disebutkan di atas, memang diakui selama ini FKL (1-3) masih sebatas perayaan kesenian saja dan belum menyentuh banyak terhadap aspek (dampak) sosio kultural masyarakat Kampung Langai. Walaupun pada pendirian awalnya memiliki keinginan untuk membangun SDM di Kampung Langai, namun sampai kegiatan FKL 3, keinginan itu belum terlaksana secara matang, dan itu perlu diakui.
Perlu diketahui juga bahwa FKL lahir sebagai ruang eksperimentasi kesenian komunitas. Berawal dari kegelisahan masal para seniman dan pelaku kreatif di Situbondo, karena tidak memiliki akses untuk berkesenian di ruang-ruang publik, minimnya apresiasi dari pemerintah, kurangnya kegiatan-kegiatan seni yang diinisiasi pemerintah, serta sederetan permasalahan lainnya. Karena itulah kemudian berbagai komunitas bersatu dan bersinergi untuk mengadakan perayaan kreatifitas dalam satu ruang pagelaran. Dipilihlah Kampung Langai, karena saat itu beberapa komunitas tersebut berkumpul di Rumah Baca Damar Aksara, yang bertempat di Kampung Langai.
Berkaitan dengan seberapa penting acara FKL ini, saya akan merujuk sebuah kredo yang sering kali dilontarkan para seniman untuk melegitimasi statusnya, bahwa “sebuah kreativitas akan menjadi semakin terasah ketika ia lahir dari sebuah kegelisahan”. FKL lahir dari kegelisahan para seniman yang tak mendapat ruang untuk berkreativitas. Saat ini (semenjak berlangsung FKL 1-3) mungkin kegelisahan tersebut tidak begitu nampak lagi, namun muncul kegelisahan-kegelisahan yang baru, yakni bagaimana kreativitas itu kemudian menjadi bermanfaat untuk keberlangsungan masyarakat Kampung Langai. Lalu bagaimana eksistensi FKL ini benar-benar menjadi milik masyarakat, membangun kemandirian masyarakat, meningkatkan sumber daya masyarakat dan segala dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Kegelisahan itulah yang kemudian memacu kami untuk terus menerus menggali potensi, mencari celah dan solusi untuk mengembangkan kegiatan FKL, yang tujuan utamanya adalah supaya mampu menyentuh aspek sosio-kultural masyarakat Kampung Langai kedepannya. Intinya, selama kegelisahan itu ada, maka selama itu pulalah FKL menjadi penting untuk dilaksanakan. Jika tak ada lagi kegelisahan, maka itulah sebuah penanda bahwa sudah saatnya kami harus bergeser dan mencari Kampung lain untuk kami gelisahkan.
Kedua: Festival Kampung Langai – bukan lagi – “Ngampong” Langai
Beberapa fenomena yang lagi marak akhir-akhir ini adalah munculnya term-term populer tentang festival kampung. Tabiat orang Indonesia yang suka latah dan membebek sesuatu yang sedang populer itu, kini tak hanya merambah dunia fashion (seperti pada umumnya) namun sampai pada kegiatan-kegiatan kebudayaan. Merespon beberapa kegiatan pariwisata pemerintah daerah yang dikemas melalui festival budaya, festival kampung, dan sejenisnya, kemudian banyak diadaptasi oleh komunitas anak muda dengan menggunakan pola-pola sama memakai term festival (bisa juga peristiwanya justru sebaliknya, komunitas kemudian diadaptasi pemerintah). Sayangnya, seringkali kegiatan yang menggunakan istilah-istilah “kampung”, “budaya” dan sebagainya justru hanya berwujud properti panggung, lanskap pertunjukan, ataupun instalasi ruang pertunjukan, selebihnya cuma mitos belaka.
FKL juga tak luput dari sasaran kritikan bernada demikian, karena diakui atau tidak, sebenarnya semakin lama, konsep FKL justru semakin mendekati konsep kampung sebagai properti, atau bisa dikatakan sebagai Festival ‘Ngampong’ (meminjam tempat)Langai, puncaknya ialah di FKL 3. Saya mengatakan demikian karena beberapa alasan.Pertama,konten yang sama sekali tidak bisa dinikmati orang Kampung Langai.Kedua,acara yang didominasi oleh warga yang bukan Kampung Langai (baik panitia, performer maupun audiens). Ketiga,keengganan warga Kampung Langai untuk berbaur dengan audiens yang lain. Alasan yang terakhir benar-benar membuat saya cukup terpukul, bagaimana mungkin acara FKL kok warga kampungnya tidak mau masuk untuk melihat. Artinya sudah terjadi jurang pemisah yang terlampau jauh (ada hirarki yang dibiarkan menganga). FKL yang seharusnya menjadi media ekspresi orang Kampung Langai justru menjadi semacam teror menakutkan, bagaikan kedatangan rombongan alien dengan teknologi modernnya yang pamer kekuatan di wilayah kekuasaannya. Ya, mudah-mudahan saya salah, karena ini hanya asumsi saya, yang dibangun dari beberapa komentar. Jadi maafkanlah saya.
Sudahlah, itu hanyalah masa lalu, seperti mantan yang tak penting lagi untuk dibicarakan, yang lebih penting adalah kondisi saat ini. Seturut saya mengamati perjalanan proses FKL 4, saya menemukan kebaruan, semangat yang tak lagi ingin sok pamer, dan mendominasi wilayah, lebih-lebih mengeksploitasi ruang pertunjukan. Saat ini FKL benar-benar menyentuh aspek masyarakat. Setidaknya beberapa warga merasa memiliki kegiatan ini, terlibat langsung dalam rapat-rapat, kerja bersama, berfikir bersama serta berguyon bersama, semuanya melebur sebagaimana mestinya. Berikut beberapa dokumentasi kebersamaan tersebut.
Kerjasama Panitia dan Warga Kampung Langai |
Alasan inilah yang membuat FKL menurut saya penting untuk dilaksanakan. Guna membangun rasa kebersamaan, meningkatkan solidaritas sesama warga Kampung Langai, menjalin silaturrahmi sesama warga Situbondo, membangun potensi kreatif bersama, serta transformasi ilmu pengetahuan.
Ketiga: Sebuah “Gerakan Kesenian” Bukan Sebatas “Panggung Kesenian”
Ada perbedaan mendasar tentang konsep gerakan kesenian dan panggung kesenian. Pangung kesenian, hanya sebatas mengadakan acara kesenian di suatu tempat dengan konsep tertentu, waktu tertentu dan susunan acara tertentu, setelah acara berakhir maka berakhirlah panggung kesenian tersebut. Tetepai gerakan kesenian jauh melampaui itu semua, yakni sebuah gerakan yang membidik tujuan jangka pendek dan jangka panjang dengan srategi tertentu, guna mencapai tujuan-tujuan strategis tertentu. Dalam konteks ini, sudah jelas rasanya, bahwa FKL sejak awal dan sampai hari ini bukan hanya didesain untuk menggelar panggung kesenian belaka, namun secara konsisten dan ajeg mempunyai harapan dan keinginan untuk merawat gerakan kesenian. Memberikan pelatihan, menggali kearifan lokal dan potensi setempat untuk kemudian dapat dikembangkan menjadi produk industri kreatif. Memang perlu diakui bahwa saat ini, geliat itu masih belum jelas terlihat, namun saya yakin ke depan impian dan harapan itu akan terwujud dan menjadi nyata.
Keempat: Menggali Potensi – Merawat Tradisi
Alasan terakhir, kenapa FKL masih penting untuk dilaksanakan karena ia mengandung muatan konservasi. Tanpa bertele-tele dan menjadikan tulisan ini semakin panjang dan gak jelas, maka saya akan menampilkan foto perihal proses kreatif kawan-kawan komunitas Kampung Langai yang mencoba untuk menggali potensi setempat melalui penciptaan produk-produk lokal berupa odheng Situbondo (ikat kepala khas Situbondo).
Perlu diketahui, nantinya odheng ini akan digunakan oleh seluruh anggota komunitas Kampung Langai dalam acara FKL 4 sebagai pe-nanda identitas kultural masyarakat Kampung Langai, sekaligus menjadi branding yang ikonik ihwal FKL 4. Sebagian juga akan diper-jualbelikan sebagai cinderamata untuk pengunjung. Dalam hal ini FKL akan menjadi konkret karena gerakannya yang tidak hanya menggelar pertunjukan namun juga melakukan penggalian terhadap potensi lokal serta melestarikan tradisi setempat.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat mengantarkan pembaca dan pengindra sekalian pada sebuah rangkaian “pertunjukan budaya” FKL 4. Sebagai penutup akan saya kutip lirik lagu dangdut Madura berjudul Jogèd Madhurâ’ân yang dipopulerkan Yuli Asiska, pengantar untuk menikmati musik-musik lokal Situbondoan. Selamat Bersuka Ria di Kampung Langai.
“Duh, agoyang Kak, duh agoyang
Lagu nèko, lagu madhurâ’ân
Joged Abhâreng duh sakanca’an
Kor jhâ’ sampe’ dhika atokaran” []
____
Dimuat di buletin Festival Kampung Langai 4 edisi 1-2 September 2017
Masih Pentingkah Festival Kampung Langai?
Reviewed by Redaksi
on
September 02, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar