Cerpen : Dua Anak Kecil yang Menyeberang
ytimg.com |
Oleh: Alif Febriyantoro
Tujuh hari sebelum banjir melanda kota ini, saya bermimpi menemukan dua anak kecil sedang menyeberang ke arah utara, lalu menghilang.
Tujuh hari sebelum banjir melanda kota ini, saya bermimpi menemukan dua anak kecil sedang menyeberang ke arah utara, lalu menghilang.
***
Tiga
hari ini saya belum juga mengerti dengan cuaca yang begitu
membingungkan. Langit masih mendung dengan air hujan yang terus
berjatuhan setiap saat. Banjir sudah melanda kota Situbondo sejak sehari
yang lalu. Air banjir setinggi satu meter itu telah membuat jalan
Pantura menjadi macet total. Truk, bus, kontainer, mobil pribadi maupun
motor tak mampu menembus banjir yang tak kunjung surut. Seluruh kawasan
telah dilumat air banjir: rumah, pertokoan, sawah yang hampir panen,
kolam ikan, warung-warung kopi, dari Panji, Patokan, Wringin, sampai
Panarukan. Dan di hari ke tiga ini, air banjir sudah mencapai satu
setengah meter. Dan hujan tak kunjung reda. Resah dan gelisah.
Beruntung
rumah saya bertingkat, sehingga dapat menampung beberapa tetangga untuk
sementara mengungsi. Ayah dan Ibu sedang menemani beberapa warga yang
mengungsi. Terlihat beberapa warga sangat berterima kasih kepada
keluarga kami. Terlihat sebagian warga yang hanya diam karena rumahnya
telah tenggelam akibat bencana ini. Dan siang pun berlalu.
Di
dalam kamar ini saya hanya diam di dekat jendela kamar. Melihat keluar.
Malam ini sangat kacau. Langit terus saja menangis. Petir menderu-deru.
Angin semakin kencang. Oh, apakah ini adalah kiamat?
Dua
adik saya bersembunyi di balik selimut. Mereka mungkin ketakutan. Atau
barangkali mereka sudah tidur. Saya biarkan mereka. Saya keluar kamar
dan melihat beberapa warga sedang tidur berhimpit-himpitan. Ada 4 kamar
di lantai dua ini. Tapi dalam keadaan seperti ini, mungkin bagi mereka,
tidur tak lagi butuh kasur. Hanya perlu kantuk yang serius, untuk
sekadar melelapkan diri. Tapi saya resah tak bisa tidur. Saya lihat Ayah
dan Ibu sedang ngobrol di sudut ruangan. Mungkin mereka sedang
membicarakan tentang bencana ini. Ah saya juga butuh teman bicara. Tapi
siapa? Tak mungkin orangtua. Sebab saya melihat mereka seperti serius
membicarakan sesuatu. Entahlah.
“Bu... Arin lapar.” Terdengar suara di belakang saya.
“Sabar ya, Nak.”
Saya
ingin membantu. Tapi apa yang dapat saya lakukan? Makanan sudah habis
sejak pagi tadi. Saya pun belum mengisi perut. Bantuan dari luar juga
tak kunjung datang. Memang seharusnya saya sendiri harus berbuat
sesuatu. Bukan hanya diam dan terus melamun. Karena saya sempat tahu,
bahwa segala sesuatu harus dimulai. Sejenak saya berpikir untuk pergi
keluar untuk mencari sesuatu. Barangkali saya menemukan makanan-makanan
sisa yang masih layak untuk dimakan. Tapi saya berpikir kembali, jika
saya meminta izin kepada orangtua, tentu tidak akan diperbolehkan.
Akhirnya saya mempunyai siasat. Saya merencanakan untuk pergi ketika
semuanya sudah tertidur.
“Kamu lapar, Ton?” sapa Ibu, membuat saya kaget.
“Sabar ya, Nak. Kita semua di sini mengalami nasib yang sama.”
“Apakah Ayah tidak ingin mengajak warga untuk berbuat sesuatu, Bu?”
“Insyaallah besok bantuan akan segera datang. Mending kamu tidur sekarang.”
Saya
hanya mengangguk dan mulai berjalan masuk ke kamar. Bantuan? Ah, sudah
berapa kali pihak yang bersangkutan itu berjanji. Tapi ya tetap sama
saja, tak kunjung-kunjung datang. Saya harus berpura-pura untuk
melelapkan diri sampai semuanya sudah tertidur, dan saya baru bisa
pergi.
Saya
kaget bukan kapalang. Ketika saya masuk kamar, kedua adik saya tidak
ada. Ke mana mereka? Saya cari di kolong ranjang. Tidak ada. Karena
hanya ada satu lilin yang menerangi, saya kesusahan untuk melihat
sekitar. Kemudian saya keluar dan memanggil Ibu.
“Ada apa, Ton? Kenapa belum tidur?”
“Nella
dan Hiro ke mana, Bu? Mereka tidak ada di kamar. Padahal tadi saya
melihat mereka masih berbaring di kasur. Dan mulai tadi saya ada di
depan kamar. Tapi saya tidak melihat mereka keluar.”
“Sudah, mending kamu cepat tidur. Nella dan Hiro sedang bersama Ayah.”
Ibu
meninggalkan saya begitu saja. Aneh. Tidak seperti biasanya kedua adik
saya itu begitu dekat dengan Ayah. Saya pun tidak begitu dekat
dengannya. Hanya sekadar ngobrol ketika ada persoalan penting saja.
Karena memang karakter Ayah yang begitu kaku. Tapi kenapa Nella dengan
Hiro bisa bersama Ayah di saat keadaan seperti ini? Ah saya mencoba
berpikir lurus saja. Barangkali mereka ketakutan, sehingga mereka butuh
ketiak Ayah untuk berlindung. Ya. Untuk berlindung.
Mata
saya sangat berat. Ini sudah tengah malam. Tapi kenapa sebuah keadaan
telah membuat saya melupa beberapa menit tentang sebuah rencana yang
saya pikirkan tadi, bahwa saya harus pergi untuk berbuat sesuatu.
Saya
terbangun. Sialan. Saya tertidur. Petir makin bergemuruh. Dan saya
berjalan ke arah jendela, mencoba melihat keluar. Lagi-lagi saya kaget
bukan kepalang. Saya melihat dari pancaran cahaya petir. Dengan sebuah
rakit pisang, Ayah membawa kedua adik saya. Buru-buru saya keluar kamar.
Dan lagi-lagi saya kaget bukan kepalang. Ke mana semua orang yang
mengungsi?
Saya
mengaduk seluruh ruangan yang berada di lantai dua ini. Kamar-kamar.
Setiap pojok. Gudang. Sampai ke atap rumah. Tapi tidak ada satu pun
orang telintas. Bahkan Ibu juga tidak ada. Tak terasa saya melelehkan
air mata. Isakan saya bercampur dengan suara hujan yang begitu lebat. Masyaallah ... ke mana semua orang?
Bingung.
Resah. Cemas. Dan tentu saja saya begitu sedih. Ada apa sebenarnya?
Kenapa saya tertinggal hanya sendirian di sini? Ah rasanya kaki ini
lemas seketika. Saya terduduk lesu di tepi tangga. Memandang air yang
terus meninggi. Tak tahu saya harus berbuat apa. Tapi saya mengingat
sesuatu, sebelum banjir ini melanda, Ayah pernah berucap.
“Rakit pisang ini akan sangat berguna ketika banjir melanda kota ini.”
Entahlah.
Kenapa prediksi Ayah begitu tepat. Tapi Ayah hanya membikin satu rakit
saja. Dan saya mulai berpikir kembali. Lalu, orang-orang yang mengungsi
menggunakan apa untuk pergi dari rumah ini? Dan Ibu? Sungguh ini tidak
masuk akal. Mengapa saya hanya melihat Ayah dan adik-adik saya saja yang
menggunakan rakit itu?
Dan
pada akhirnya saya berpikir lagi. Mungkin Ayah bolak-balik untuk
menjemput orang-orang dan juga Ibu. Ya. Mungkin seperti itu. Dan saya,
entah kenapa, sejenak bisa menjadi tenang ketika muncul pemikiran ini.
Bahwa Ayah akan kembali untuk menjemput saya, dengan rakit itu.
“Loh, Toni ... kenapa kamu keluar kamar lagi?”
Sungguh saya begitu kaget ketika saya menoleh dan melihat Ibu sudah berdiri dengan membawa sebuah payung hitam.
“Semua orang ke mana, Bu?”
Lengang. Ibu tidak menjawab apa-apa. Beliau hanya memalingkan pandangan.
“Kamu tunggu di sini. Nanti Ayah pasti menjemputmu.”
“Lalu Ibu mau pergi ke mana?”
“Ibu harus menjemput kedua adik-adikmu.”
Beberapa detik saya bengong.
“Tadi saya sempat melihat dari jendela. Bukannya Nella dan Hiro dibawa Ayah menggunakan rakit itu, Bu?
“Yang kamu lihat itu bukan Ayah.”
Sebentar.
Kenapa saya jadi kebingungan seperti ini? Apa yang saya lihat tidak
sama dengan perkataan Ibu. Apakah Ibu berbohong? Dan Kenapa Ibu
tiba-tiba muncul dengan membawa payung?
Apakah saya bermimpi?
Tiba-tiba
saja saya melihat kedua anak kecil yang sempat saya mimpikan
sebelumnya. Mereka berjalan ke arah kami. Dan Ibu hanya diam, tidak
berkata-kata lagi. Saya hanya melihat dan juga terdiam. Ya. Saya tahu,
ini mimpi.
Air
menyentuh kaki saya. Dan saya terbangun. Benar saja saya telah
bermimpi. Dalam mimpi pun saya sempat berpikir bahwa saya bermimpi. Tapi
itu semua tak mengubah keadaan. Bahwa saya masih sendirian. Tapi saya
tetap berharap supaya Ayah segera menjemput. Saya lihat jam pada lengan
kiri saya. Jarum panjang terpojok di angka 5. Sudah pagi. Dan air terus
saja meninggi. Hujan lebat di luar masih belum berhenti. Petir juga
masih sibuk menyetubuhi langit. Ah bagaimana keadaan di luar sana?
Apakah Ayah dan kedua adik saya tidak apa-apa? Dan Ibu? Dan semua orang?
Apakah mereka selamat? Semoga saja keadaan di luar sana berbanding
lurus dengan apa yang saat ini sedang saya pikirkan. Hanya Tuhan yang
maha tahu segalanya.
Saya
berdiri dan berniat untuk melaksanakan salat subuh. Langkah kaki saya
tiba-tiba terhenti. Suara gadis kecil di belakang saya membuat
saya–untuk kesekian kalinya–kaget.
“Cepat Kakak ikut kami. Semua orang sudah menunggu Kakak, di utara sana.”
Saya
menoleh. Dua anak kecil yang hadir dalam mimpi saya ini tiba-tiba
memegang kedua tangan saya. Mereka menarik saya menuruni dua anak tangga
yang masih terlihat. Saya tidak bisa melawan. Saya mengikuti mereka
yang tiba-tiba berjalan di atas permukaan air. Dan saya kaget karena
saya juga berjalan di atas air.
“Kalian siapa?” tanya saya kepada mereka.
“Kami adalah korban bencana banjir pada tahun 2008.” (*)
Jember, 19 Mei 2017
Alif Febriyantoro, kelahiran 23 Februari 1996. Asal Situbondo.
Cerpen : Dua Anak Kecil yang Menyeberang
Reviewed by Redaksi
on
Oktober 29, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar