Clarissa...
Kedatangan surat ini takkan mampu mengambil paksa waktu dan membawa kembali pada kenangan yang sedang kita coba lupakan. Tidak, Clarissa. Hal itu tidak akan pernah terjadi. Sebagaimana kau dan aku tahu, kita tidak mungkin memutar balik keadaan apalagi terbang melintasi lorong waktu seperti dalam cuplikan film-film yang sering kita tonton. Sama sekali mustahil. Kalau pun nanti hal itu benar-benar terjadi, maka anggaplah sebagai kebetulan.
Oleh : Ahmad Zaidi
Kita tidak pernah tahu apa yang esok kenyataan tawarkan. Akankah kisah pedih, luka sembilu, pahit-manis atau taburan bunga-bunga seperti di taman kota. Kita tidak akan pernah tahu, karena hal demikian akan selamanya menjadi misteri. Satu-satunya cara menghadapinya adalah dengan harapan. Berharap semuanya akan baik-baik saja, seperti yang direncanakan.
Aku harap kau baik-baik saja saat ini.
“Kita tidak boleh kalah dengan keadaan, apalagi sampai menyerah!” itu yang seringkali kau katakan. Saat aku mulai goyah menghadapi kejamnya kenyataan.
Tapi kenapa kau menghilang?
Sadarlah. Sudah waktunya akhiri mimpi, harapan konyol, dan rencana kita untuk pergi ke negeri dongeng dimana semuanya bisa saja terjadi. Jangan bilang kau pergi ke sana, mencuri ramuan rahasia penyihir, berkunjung ke kastil-kastil megah, bertemu peri, kurcaci dan seabrek makhluk ciptaan Walt Disney lainnya. Sadarlah, tidak ada ramuan rahasia itu. Setiap hubungan akan mengalami perpisahan. Tidak ada yang abadi, termasuk hubungan yang selama ini kita jalani bersama.
“Dimana kau saat ini?”
Tidak tahukah kau bagaimana orang-orang sekampung menyeretku, membawaku ke kantor polisi. Menuding ayah-ibuku sebagai orang tua yang tidak becus mengurus anaknya. Tidak tahukah kau, Clarissa? Hampir saja tubuhku memar, wajahku lebam terkena tinju orang-orang kampung yang suka main hakim sendiri. Belum lagi pentungan bapak-bapak berseragam itu nyengir, bersiap mencium bagian wajahku yang kau sukai. Jangan salahkan mereka. Jangan sekalipun. Mereka hanya tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menyatakan keadilan.
Jangan khawatir! Pada akhirnya mereka mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. Meminta maaf telah menuduhku melarikanmu. Mereka ingin seperti kita, mengukir kisah-kisah yang sama sekali tidak wajar, meniti pelangi, melukis senja.Mereka menyesal, Clarissa. Sungguh!
Aku masih ingat. Setiap kali bertengkar, kau akan menjelma hujan, aku menjadi topan, lantas mengukir pelangi setelah badai perselisihan kita reda. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun telah kita lalui. Berbagai rintangan, musim, mampu kita lewati bersama. Hingga kita berpikir melampaui kenyataan. Kita mulai bermimpi mengalahkan keadaan. Tak perlu lagi ramuan rahasia penyihir itu. Tanpa sadar, sebenarnya kita tengah menabur duri di jalan yang masih panjang. Akhirnya kita sama-sama kecewa.
Seberapa besar kekecewaanku? Jangan tanya.
Dulu, kau selalu bilang: kegagalan selalu mengantarkan kita pada pemahaman baru. Kenapa kegagalan ini menjadikanmu semakin tidak masuk akal, berpikir irasional. Masihkah kau berpikir pohon-pohon itu bisa bicara, batu-batu sejatinya adalah hati yang membeku. Kau gila kalau masih berpikir Stephenie Meyer mengacu pada logika. Ia mengada-ada, vampir itu tidak nyata! Ketika hidup menawarkan mimpi yang jauh melebihi harapanmu, tidak masuk akal untuk menyesalinya bila impian itu berakhir. Bukankah itu kalimat yang seringkali curi? Sekarang pun aku mencurinya. Agar kau tidak menyesal, karena impian kita telah berakhir.
Apakah kau masih menyimpan pertanyaan itu, Clarissa. Pertanyaan yang menjalari akar kerinduan. Kapan kita akan menemukan ujung dari ketidakwajaran hubungan kita? Inilah jawabannya, kita sudah sampai di ujung jalan. Bukan persimpangan dengan lampu merah tapi tidak pernah ditaati oleh pengguna jalan seperti di kota kita. Bukan. Sama sekali bukan. Jika saja hubungan kita sebuah bus, berarti bus yang selama ini kita tumpangi tiba di sebuah pelabuhan. Kita harus turun, menaiki kapal pesiar, berlayar menghadapi kenyataan.
Aku tidak pernah bermaksud mengingatkanmu pada kenangan-kenangan yang terlampau usang itu. Sama sekali tidak bermaksud memaksamu kembali. Apapun perasaanmu saat ini terhadapku, lupakan. Aku merelakanmu bersama lelaki pilihan orangtuamu. Maka, kutulis surat ini sebagai sahabatmu. Mengingatkan betapa bodohnya kau saat ini. Menghilang tanpa jejak macam jelangkung yang kau benci. Kau ingat bagaimana kita dulu membuat boneka dari batok kelapa itu? Ah, sudahlah. Mengingatnya hanya menambah ingatan-ingatan itu menumpuk di kepalaku. Hadapi apa yang ada di hadapan kita.
Pikirkan ibu, ayah, kerabat serta calon suamimu. Mereka semua mencarimu. Terimalah kenyataan ini. Jangan lagi pikirkan bagaimana cinta kita, luka yang kuderita atau luka yang tengah kaucoba sembuhkan. Jangan lagi.
Cintailah lelaki yang sebentar lagi resmi menjadi suamimu. Lekaslah pulang, Clarissa.[]
Cerpen; Clarissa
Reviewed by Redaksi
on
November 26, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar