Cerpen - Tajhin Palappa dan Segenap Dendam Amerta
Telah kubuang sisa dendam
amerta, namun anggapan dosa di masa lalu selalu mengintai di akhir senja?
Oleh: Gusti Trisno
Sadiyani telah pergi dari
desa Kilensari dengan dua koper besar. Tekadnya sudah bulat. Ia sudah tidak
kuat hidup bersama masyarakat yang memendam rasa atas kesalahan orang tuanya di
masa lalu.
Tak ada salam perpisahan.
Tak ada tangis dari haru atau tangis bombay dari orang-orang di desanya.
Semuanya senang dengan kepergian perempuan yang memiliki orang tua yang
melakukan pesugihan itu.
Walaupun begitu, Sadiyani
berusaha menatap arah matahari terbit. Sambil membayangkan kelak hidupnya berada
di sana. Dan, tak perlu lagi ada kata goyah yang menyurutkan langkah. Toh,
hidup itu ia yang berjuang sedang orang lain hanya sibuk berkomentar.
“Sadiyani...” panggil
Rahman.
Suara lelaki berahang gagah
itu didengar Sadiyani. Sangat jelas. Tapi, perempuan itu tak menolehkan wajah
barang sebentar.
“Mungkin kau tak mengerti
apa yang ada dalam rinduku. Tapi, sungguh aku mencintaimu. Lengkap dengan
sejarah hidupmu!” ucap Rahman dengan bergetar.
Sadiyani tak menoleh. Bara
dalam hatinya masih menyala. Rasanya, memang dulu peribahasa Madura mengatakan,
lalakek padhena emas pak lekoran. Tapi, peribahasa itu masih bisa
diubah. Masa depan Sadiyani masih terang bukan cuma Rahman yang hanya bisa
berlindung dari ketiak Ustaz Herman.
“Kenangan masa kecil dulu,
tak mudah untuk dilupakan. Sama seperti cinta ini. Kumohon jika kamu angkat
kaki dari desa ini. Bawalah aku dan segenap cinta yang bersarang di hati ini.
Demi cinta kita!”
Sadiyani masih terdiam.
Giginya gemelatuk. Matanya mengeluarkan tomat.
“Apakah kamu bersedia
membuat tajhin palappa di setiap hari yang kupunya?”
Akhirnya, demi mendengar
perkataan lelaki yang berahang gagah itu Sadiyani menoleh. Lalu, menggeleng
dengan keras. Menolak permintaan Rahman.
***
“Bing, kamu kapan
datang? Kamu apa kabar?” tanya seorang lelaki berusia paruh bayah bertanya
bertubi-tubi, ketika melihat Sadiyani membawa dua koper besar.
Sadiyani telah tiba di rumah
adik ibunya. Perjalanan antara Panarukan-Asembagus hanya berkisar empat puluh
menit. Tapi, perjalanan yang sederhana itu. Tidak membuat pikiran Sadiyani
sederhana.
“Wah, Bing. Tambe raddin
bekna.” Puji adik ibunya yang tak lain istri dari lelaki yang menyambut
kedatangannya.
“Mak Bunisa dan Bapak, maaf
aku baru bisa ke sini.” Ucap Sadiyani dengan menundukkan wajah.
“Sudahlah, tak baik
memikirkan yang sudah terjadi. Ayo masuk rumah, Bing. Bertemu denganmu lagi,
seperti bertemu anak yang hilang dan lahir kembali. Dan, untuk itu kita rayakan
dengan makan tajhin palappa.”
Deg! Mengingat nama makanan itu, Sadiyani kembali mengingat Rahman.
Lelaki di masa lalu yang ia coba hapus dari bayang-bayang pikirannya.
***
“Tajhin palappa
buatan Emmak kemarin. Enaaak sekali!” Sadiyani memberi komentar ditambah dua
jempol.
“Jadi, bisa bantu Emmak
jualan tajhin palappa kan?”
Sadiyani mengangguk. Tak ada
lagi beban yang bersemayang dalam pikirannya. Suasana Subuh yang sarat akan
ketenangan itu membuatnya seperti lahir kembali. Bukan dari perut Emmak,
melainkan dari hati Emmak yang sarat akan keluhuran budi.
Tangan Emmak yang kasar
membuatnya semakin bersemangat untuk membantu. Tentu tak membutuhkan waktu lama
untuk sekadar belajar. Apalagi, sejak kecil dulu bunga desa Kilensari itu sudah
sering membuat bubur yang menggunakan santan dan bumbu serupa bumbu pecel yang
jauh lebih encer daripada pecel itu sendiri.
“Kalau di sini dijualnya
berapa, Mak?” tanya Sadiyani sambil mengerlap keringat di dahi.
“Emmak tidak memasang harga.
Ada yang beli dua ribu sampai empat ribu. Semakin banyak uang yang mereka
berikan, berarti tajjin yang kita berikan semakin banyak.” Jawab Emmak
dengan suara penuh optimis. “Ayo, kita gelar dagangan kita!” ajak Emmak
kemudian.
Sadiyani segera mengekor. Di
tangannya telah membawa bubur yang panas, sedang Emmak membawa sayuran toge dan
kangkung serta gorengan yang dikenal ote-ote atau hongkong yang
dipotong dengan kecil-kecil.
Para ibu-ibu dan anak-anak
yang sedang akan berangkat sekolah telah menunggu mereka. Wajah Sadiyani yang
tampak asing, segera dijelaskan oleh Emmak. Mendengar penjelasan tersebut sebagian
warga langsung menyodorkan anaknya yang telah dewasa kepada Emmak supaya bisa
menjadi pendamping hidup Sadiyani.
Sadiyani hanya mesem-mesem
penuh arti.
“Bing, jangan
bengong. Ayo, layani calon ibu menantumu ini.” Gurau seorang Ibu disambut tawa
ibu-ibu lainnya.
Sadiyani segera melayani
perempuan itu. Ia memasukkan bubur ke dalam mangkok, kemudian sayuran, lalu
ditiriskan bumbu palappa, dan ditambahkan hiasan ote-ote yang
dipotong kecil-kecil. Dan, setelah selesai melayani semua pembeli. Satu persatu
pergi dari warung Emmak yang begitu sederhana.
Penghasilan warung dari kaum
ibu dan anak-anak yang hendak sekolah itu sudah cukup lumayan untuk membuat
dapur Emmak terus mengepul. Selain hal tersebut, kepopuleran Sadiyani juga
membuat rasa penasaran tersendiri bagi kalangan kumbang rupawan Asembagus.
Mereka berlomba-lomba menjadi pembeli di-shaff pertama warung Emmak. Tak
sampai di situ, mereka juga betah berlama-lama untuk sekadar berceloteh manja
dengan Sadiyani.
Tentu, hal tersebut berimbas
pada pemasukan Emmak. Tak sampai jam sepuluh pagi, tajjin palappa yang
mereka buat habis!
“Cek, sennengga engkok,
Bing.” Ucap Emmak senang setelah memandangi piring kotor yang berserak.
***
Nun jauh dari arah matahari
terbit di Situbondo. Rahman tertimpa rasa sakit yang tidak jelas. Putra Ustaz
kondang di wilayah Kilensari itu seperti orang gila. Hal itu terjadi sejak
empat puluh satu hari ditinggal oleh Sadiyani. Kejadian itu menambah rasa
dendam dan marah warga pada gadis yang ditinggal mati kedua orang tuanya sejak SMP
itu.
“Seharusnya Sadiyani itu
kita bunuh saja! Sama seperti orang tuanya yang melakukan pesugihan.” Komentar
kaum bapak.
“Dia seperti memiliki mantra
pemikat. Sampai membuat si Rahman tergila-gila. Seperti tidak ada anak gadis
yang cantik selain dia!” komentar kaum ibu.
Ustaz Herman tak langsung
menanggapi spekulasi warga itu. Ia hanya memeras rasa sabar sambil terus
beristighfar. Dan, tentu tak henti menyalahkan diri sendiri. Seandainya!
Seandainya ia tidak melarang hubungan Rahman dengan gadis itu. Semua tidak akan
menjadi seperti ini.
“Aku rindu tajhin
palappa, Abi!” Rahman merengek-rengek.
Ustaz Herman langsung
mengambil tindakan. Ia segera membelikan anak semata wayangnya tajjin
palappa di RT sebelah. Dan, sesampainya di rumah. Rahman malah membanting
makanan itu. Seketika suara pecahan piring terdengar begitu menyentakkan dada.
Ustaz Herman memberas dada. Tak ada suara. Hanya tatapan tajam penuh amarah
yang dilakukan Rahman.
“Kamu mau apa, Nak? Abi
sudah belikan tajhin. Tapi, kenapa dibuang?”
“Tajhin-nya nggak
enak. Nggak seperti bikinan Sadiyani.”
Mendengar nama perempuan itu
disebut. Mata Ustaz Herman berair. Istrinya hanya melingkarkan pelukan berusaha
menguatkan lelaki yang telah lama menjadi nakhoda keluarga.
Sementara itu, Rahman
meraung-raung tidak jelas dan mengeluarkan sumpah serapah. Kemudian, terdiam
sejenak. Dan, dengan tenang kembali memasuki kamar.
Ustaz Herman terdiam cukup
lama. Ia bingung harus berkata apa. Bukan tidak peduli dengan kondisi anaknya.
Ia sangat peduli. Tapi, apa daya kini lelaki itu tidak tahu di mana jejak
langkah Sadiyani. Melihat hal tersebut, sang istri segera kembali ke dapur.
“Makanlah nasi karak
ini, Bi. Jangan sampai Abi ikut-ikut sakit karena kondisi Rahman.” Tawar istri
Ustaz Herman setelah kembali dari dapur.
Lelaki pengajar di mushollah
itu hanya memandang nasi yang disajikan dengan taburan parutan kelapa,
ikan tongkol, tahu, dan bumbu merah. Tapi, ia tak menyentuh barang
sedikit. Selera makannya mendadak hilang.
***
“Kamu harus menikah!” putus
Bapak.
Sadiyani mendadak seperti
ditikam pisau. Ia tak menyangka bapak menyuruh untuk segera melepas masa
lajang. Jauh dalam hatinya, pengabdian pada orang tua itu belum seberapa.
“Betul kata Bapakmu, Bing.
Tetangga kita sekarang menjadi was-was. Kehadiranmu tiba-tiba menjadi bahan
omongan. Apalagi, kaum ibu-ibu takut suaminya kecantol kamu. Makanya, kamu
harus menikah!”
“Dengan siapa?” Sadiyani terpaksa melontarkan
perkataan itu.
Situasi mendadak kikuk. Tak
ada pembicaraan yang mengalir lagi. Emmak punya kriteria menantu idaman seperti
memiliki perangai yang baik. Soal harta urusan nomor dua puluh lima. Sedang,
Bapak memiliki kriteria yang bersebrangan, kekuasan yang pertama. Sedangkan
perangai bisa diubah dengan berjalannya waktu.
Sadiyani menggeleng kuat
ketika mendengar nama-nama yang disodorkan Bapak dan Emmak. Nama-nama itu
mendadak membuatnya muntah. Memang Mistari baik, tapi ia pemuda penggangguran.
Sedang, Dullah hanya bisa mengandalkan kehebatan bapaknya yang telah menjabat
menjadi kepala desa selama dua periode. Sementara lelaki itu sering menebar
panah cinta Arjuna ke setiap perempuan-perempuan ayu di desa.
“Kalau aku punya calon
sendiri. Bagaimana? Dia....” Sadiyani berhenti sejenak, “Rahman, teman masa
kecil di Kilensari.”
***
Mengetahui nama Rahman
disebut di majelis keluarga itu. Membuat Sadiyani, Bapak, dan Emmak langsung
kembali ke Panarukan. Ustaz Herman yang mendengar kabar tersebut. Langsung
bertamu ke rumah Sadiyani sehabis Maghrib. Bapak satu anak itu bersujud, tak
menghirauhkan kedudukannya yang sedemikian terhomat, dan memohon maaf atas
tingkah pongah dan tanaman dendam yang disematkan pada Rahman.
Sementara itu, Sadiyani
hanya menyunggingkan senyum. Sudah lama perempuan itu memaafkan kesalahan Ustaz
yang mengajarinya alif-ba-ta-tsa itu. Ia bertekad ingin memulai hidup
yang baru. Akhirnya, perempuan itu mengikuti jejak langkah kaki Ustaz Herman
bersama orang tua angkatnya. Sesampainya di sana, Sadiyani langsung disambut
suara lengkingan Rahman yang begitu nyelekit dan menyeramkan.
Bulan yang tak datang seolah
menikam terang itu menambah ketakutan tersendiri.
“Sadiyani, maukah kamu
membuat tajhin palappa di setiap waktu yang kupunya?”
Pertanyaan itu kembali
diucap Rahman. Mata Sadiyani kembali mengeluarkan tomat. Bukan karena
ucapan Rahman yang sedemikian romantis itu. Tapi, tubuh Rahman yang kerempeng,
rambutnya yang panjang tak terurus, serta pakaian compang-camping yang
membuatnya sedih. Setelah, berhasil menata emosi. Sadiyani menuju dapur bersama
sang calon ibu mertua. Mereka bahu-membahu membuat tajhin palappa.
Tak sampai lima belas menit. Tajhin palappa itu disajikan di depan
Rahman. Lelaki yang masih memiliki rahang gagah itu begitu bernafsu untuk
menghabiskan makanan buatan sang kekasih.
“Enak sangat enak!” puji
Rahman.
Kemudian, Rahman mendelik
kepada orang-orang yang dihadapannya. Tubuhnya bergetar hebat. Dan, setelah itu
tangis meraung-raung tak jelas.
“Kamu telah membunuh
anakku!” usir Ustaz Herman pada Sadiyani.
Sadiyani memperbaiki
jantungnya yang berdetak hebat. Sementara, orang-orang di luar sana seperti
menunggunya dengan segenap dendam abadi. Potret kedua orang tuanya yang dibakar
hidup-hidup lantaran melakukan pesugihan kembali terekam jelas dalam
pikirannya.
___
Gusti Trisno. Penulis
merupakan Guru Bahasa Indonesia Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Nurul Islam
Antirogo Jember. Lelaki yang selalu merayakan ulang tahun di setiap tanggal 26
Desember ini berusaha mencintai Situbondo lewat tulisannya. Bukunya yang telah
terbit Kumpulan Puisi Ajari Aku, Bu (FPPS, 2015) dan Kumpulan Cerpen Museum Ibu
(Ae Publishing, 2007).
Cerpen - Tajhin Palappa dan Segenap Dendam Amerta
Reviewed by takanta
on
Desember 24, 2017
Rating: 5
Tidak ada komentar