Cerpen - Ketika Tertidur Wajahmu Terlihat Menawan
Kulit
keriput di wajahku sudah menggelayut manja. Terlalu banyak kenangan yang
terkubur di sela-sela rambutku yang menjadi putih kelabu. Lelaki yang duduk di
sampingku lebih banyak diam, sesekali menatap aku. Far namanya, sudah hampir delapan
puluh tahun melalang buana di bumi. Pertemuan kami pun selama 60 tahun lalu. Bingkai
hati yang menutup jendela hatinya tak akan pernah terlepas. Terlalu banyak
kenangan yang tertoreh pada buku bersampul biru. Kacamataku kian menebal. Hanya
untuk membaca ribuan kali kenangan yang terekam sempurna dalam aksara.
Pertama
berjumpa di sebuah toko buku. Dia memberikan aku hadiah kumpulan puisi Chairil
Anwar. Setiap sajak yang kubaca, lekat tentangnya. Dua tahun dari pertemuan
itu, kami kembali bertemu saat menanti bus di terminal. Aku yakin tak ada yang
kebetulan, selain itu signal cinta Tuhan kepada Aku dan Far. Aku menyelipkan
secarik kertas untuknya berisi alamat rumahku tinggal. Kami berpisah pada
persimpangan jalan, bus berbeda sudah lebih cepat menculikku dalam kotak besi hangatnya.
“Bagaimana
bila suatu hari aku melupakan dirimu?” suatu sore aku mengatakan padanya.
Dia
menoleh memperhatikan buku yang kudekap, lalu melepaskan dari tanganku.
Tangannya erat menggenggamku. Hatiku tumbuh taman bunga dengan ribuan kupu-kupu
cantik di perut.
“Walau
bagaimanapun aku akan selalu menjadi pengingat terbaik untukmu.” Satu kecupan
menempel pada keningku. Bukan hal yang baru, bahkan seingatku dia sudah ratusan
kali mengecup jidat.
“Kita
sudah tua, tak pantaslah engkau tetap mengajak bercanda dengan ciumanmu. Anak
sulung kita sudah punya cucu, anak bungsu kita sudah punya sembilan anak. Kita
punya berapa?”
“Ada
enam belas sayang, lima yang paling dekat dengan aku dan kamu.”
“Lantas
sisanya ke mana? Aku ingin mereka berkumpul sekarang.”
“Sudahlah,
mereka sudah menunggu kita di gerbang surga.”
Aku
mulai merajuk padanya, aku ingin bercumbu. Seperti sepasang merpati yang tak
pernah melepaskan diri masing-masing. Terbang untuk bersatu. Pergi tuk kembali.
Memanggil dengan lagu-lagu kebesaran. Tamparan angin berkilat-kilat di pipiku--sudah
tidak tirus lagi. Mata yang dibungkus kantung, menghitam.
“Sayang,
jika aku tak benar-benar bisa mengingat namamu?” kembali aku tanyakan padanya.
“Namaku
tak perlu diingat, karena sudah terpatri pada palung hatimu. Kau tahu, aku
memang sudah tidak melihat wajahmu yang bersih, menawan. Tapi, aku tetap
mencintaimu.” Kecupan hangat kembali mendarat tanpa manuver.
Aku
membuka buku sampul biru. Sebuah foto terselip di halaman terakhir. Seorang
wanita dengan baju khas kebaya, berkacamata, bibir merona. Mirip wajahku, itu
aku. Sebelahnya, lelaki berpostur gempal dengan sepatu pantofel. Tangan kirinya
menggamit perempuan yang sangat cantik. Itu bukan aku.
Sepasang
alis yang terangkat juga bola mata yang menajam. Menatap dengan jeli. Ada
jutaan tanya yang kembali mengalun. Bagai lagu timang-timang anakku sayang. Aku
menoleh kepadanya. Tanpa bersua, aku kembali menatap foto tersebut. Dia hanya
mengangguk, tersenyum.
Kembali
dia memperbaiki kacamataku yang bergeser. Sedikit belaian tangan berselaput tua
yang selalu membuatku merasa aman. Di bawah pohon rindang bercengkrama memantik
asmara.
“Dia,
ibu dari anak-anak kita. Tanpanya keluarga kita tak ada tangisan bayi. Pun riuh
mereka, berantem berebut putu. Tak ada yang merengek kepadamu meminta gulali,”
kata demi kata dituturkan penuh perhatian.
Mata
yang sayu berubah menjadi sangat tajam menatap Far. Ada sembilu yang menancap
perlahan pada jeruan hatinya.Wanita mana yang sudi dimadu. Baginya lebih baik
pergi dan tak kembali. Tapi, senyum renyah Far mengembalikan pada buku
bersampul biru. Perlahan dibuka lembar di mana foto balita yang menghiasi saat
itu. Ada lima balita aku tidak bisa mengingat di mana sisanya. Mereka tiga
laki-laki dan dua perempuan. Tersenyum polos di foto, seolah mengatakan pada
dunia. Kami anak hebat, anak Ayah-Bunda. Memang betul di sana ada foto Aku dan
Far. Lalu, perempuan itu?
Kau
masih ingat? Dia ditumpas saat malam menjelang. Bulan sabit menjelma menjadi
celurit. Merampas nyawa-nyawa tanpa berkata. Siraman darah pada pekarangan,
tercecer di lantai, batu atau tubuh tanpa kepala. Lelaki itu kini menundukkan
mata, menyembunyikan bening yang berusaha untuk melabuhkan pada pipi.
Sepersekian
detik aku memonyongkan bibir, membelakangi tubuhnya. Kursi taman dekat gedung
putih menjadi saksi bisu. Suara lambaian angin sore menyusup di antara kami.
Aku tak sudi melihat wajahnya.
“Sayang,
Apakah kau mau mendengarkan sebuah kisah?” tanyaku kepada wanita yang rambut
penuh kilat putih kemerahan, ditempa senja.
Dia
melepaskan airmatanya. Tak menahan lagi, tak ubahnya bocah ditinggal pesawat
pergi. Pesawat yang tak pernah menyahut saat dimintai uang. Bocah yang tersesat
sendiri di tengah keramaian. Lelaki bertubuh ringkih, kini sadar ada seseorang
yang lebih terluka darinya. Ia mencari tangan wanitanya. Mengenggam, mendekap
pada depan dadanya. Terekam jelas denyut jantungnya.
Perempuan
yang mengangkat ujung bibirnya, berusaha berpikir sesuatu. Suatu kenangan yang
ternyata tak pernah hilang dalam benaknya. Mungkin hanya akan terjadi sekali
semasa hidupnya. Terlalu berkesan dan tak akan terulang lagi.
“Kau
tahu, meski aku lupa segalanya. Setidaknya masih ada kenangan yang tersimpan
indah pada memori, ingatanku.”
“Apa
itu?” lelaki yang kini menatap lekat perempuan di sisinya menjadi terpaku.
“Ternyata
aku tidak mencintaimu,” katanya dengan nada merendah.
“Lalu?”
“Aku
selalu merasa kamu menghujani meteor cinta setiap hari. Mau tak mau aku mandi
hujan cintamu!” sesaat aku terkekeh--menyeringai. Mungkin akan terlihat barisan
gigi yang sudah tandas dimakan usia.
“Apa
yang kau benci dariku?” kataku lagi sambil merebahkan kepala pada pundaknya.
Aku tahu itu berat, tapi aku tak membiarkan dia akan merasa sakit. Jadi, hanya
sekedar menempel.
Dalam
hidupku aku menemukan banyak cinta, entah cinta yang terlarang, cinta tak
direstui, cinta sesaat, cinta yang sunyi pun cinta tak abadi. Setiap kusebut
kata cinta, muncul sosok yang pernah kubayangkan hadirnya. Satu detak nadi,
seolah hadirnya turut menggelayut. Tapi, itu hanya cinta semu. Bagiku, cinta
yang sempurna hanya perempuan yang selalu menuliskan setiap kenangan pada buku
ini.
Aku
tak pernah berharap engkau membalas cintaku. Bagiku kehadiranmu hingga kini
menjadi pertanda. Kau mencintaiku. Aku sangat merindukanmu, Eliana. Tak ada
yang membuatku membencimu. Walau wajahmu tak seelok dulu.
Terima
kasih atas waktumu yang membesarkan anak kita, meski kutahu itu bukan dari
rahimmu. Bagiku, engkau tetap menjadi pelita hatiku. Memberikan sejuta pijar
kasih sayang kepada mereka.
Aku
kembali merengut senyum. Tak cukupkah pengorbanan yang selama ini aku taruhkan?
Demi sebuah kata cinta dalam rumahku istanaku. Merasa menjadi perempuan tak
sempurna. Tak mendapatkan kesempatan bisa memberikan permata hati untuk lelaki
yang kini mengalunkan sebuah lagu.
Suatu
saat, ingatanmu akan benar-benar hilang. Termasuk lupa mengingatku, lelaki yang
selalu memberikan kehangatan, berbagi selimut setiap malam. Aku tak akan
protes, karena cinta tak butuh pengakuan. Cinta yang akan menuntun masa senja
kita menanti hadirnya bola api terbit di ufuk barat.
Andai
suaraku masih seperti dulu. Aku akan menyanyikan sebuah lagu, yang tak pernah
dinyanyikan. Ini khusus istriku tersayang.
Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa
cintaku
Secepat
gerakan kepakan lebah. Engkau memelukku erat. Menyatukan kedua debaran yang
terus bedentam. Melodi dari bibirnya menelusuk gendang telinga. Perlahan, aku
mengingat. Saat Far menyerahkan mahkota dari bunga di atas kepalaku.
Menyelipkan lingkar emas pada jemari kiriku. Saat itu kecupan pertama
kurasakan.
Hanya untukmu ....
Karena telah ku habiskan sisa
cintaku, Hanya Untukmu.
Bintik
bening cepat tandas dari kelopaknya. Saat lirik terakhir didengungkan. Saat itu
wanita dengan mata sembab mengatupkan erat sepasang manik mata. Tangannya
perlahan melonggarkan ikatan jemari lelaki. Dentang jam purna sudah. Senja
menelungkup.
Detak
hati yang sudah mati, Far tak bisa merasakan napas hangat Eliana. Kedamaian
hati menyatu pada angkasa yang berduka. Pipi mereka sama-sama basah. Sekali
lagi dikecup kening yang kaku.
Wajahmu
tetap cantik disiram matahari yang sebentar lagi tumbang. Rambut panjangmu
tetap cantik, meskipun tak hitam lagi. Kau kini boleh tidur lelap dan tak
terjaga, ingat aku terus di Surga.
.
Situbondo,
24 Oktober 2017
___
Cerpen - Ketika Tertidur Wajahmu Terlihat Menawan
Reviewed by takanta
on
Januari 21, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar