Filsafat Politik Plato dan Aristoteles
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Cetakan
Tebal
ISBN
|
: Filsafat Politik
: Agus Hiplunudin
: Cognitora
: I, 2018
: III + 112 Halaman
: 978-602-73095-6-2
|
Menurut Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk
(binatang) politik (zoon poticon). Dalam hal ini, filsafat politik
Aristoteles mengacu pada masyarakat itu sendiri, karenanya Aristoteles
menekankan filsafat politiknya pada hubugan sosial dalam masyarakat atau negara
sehingga masyarakat mengenal budi, dan menjalankan fungsinya baik secara
individu maupun sosial.
Oleh : Agus Hiplunudin
Karena manusia makhluk sosial mereka membina hubungan
relasional antar manusia atau melakukan interaksi sosial yang selanjutnya akan
mengilhami interaksi kekuasaan yang terlembagakan dalam suatu organisasi yang
disebut negara. Dalam pandangan ini, cita-cita manusia dalam pengetahuannya
ialah mencapai kebenaran, tak seorangpun cinta kepada kekeliruan. Bahwa obyek
sebenarnya dari tahu ialah kebenaran. Jika orang tahu, bahwa pengetahuannya itu
tidak benar, maka diusahakannya, supaya manusia dapat mencapai kebenaran.
Pengetahuan manusia membuat manusia menjadi kreatif, maksudnya manusia berusaha
tidak hanya mencapai kebenaran saja, melainkan mungkin mencoba hendak
mengetahui seluruh obyeknya dengan segala aspeknya. Hal yang demikian itu
tidaklah dilakukan oleh binatang. Mungkin terhadap bebarapa jenis binatang
boleh dikatakan, bahwa mereka juga mempunyai pengetahuan, akan tetapi
pengetahuan itu reseptif saja, mereka menerima, dan tanpa tahu meletakkan
hubungan sesuatu terhadap sesuatu itu. Manusia pada masa ia belum dapat
mempergunakan budinya, masa pra-logis dan dari pada itu pra-verbal, juga hanya
mempunyai pengetahuan reseptif saja, belumlah ia tahu yang sebenarnya. Tahu
yang sebenarnya itulah keistimewaan manusia, itulah yang membedakan dia dari
binatang. Mempunyai budi ialah sifat khas manuisa (Poedjawiyatna, 1990).
Lebih lanjut, begitu sulit untuk dibantah bahwa manusia
terus-menerus mengejar hal yang baik. Dan apabila membedakan sesuatu hidup yang
baik dari sesuatu hidup yang buruk, sesuatu yang sepantasnya dikerjakan dari
apa yang sepantasnya tidak dikerjakan, sebenarnya manusia berbuat demikian
karena tahu yang baik, yang benar, dan sepantasnya menuju kearah tujuan yang
semestinya. Itulah orang seharusnya hidup, karena hanya hidup yang baik yang
akan membawanya ke arah pemenuhan hal yang baik yang tertinggi yang mungkin ia
capai, ke arah pemenuhan tujuan untuk apa ia berada, untuk apa ia bereksistensi
(Poespoprodjo, 1998). Karenanya filsafat politik merupakan sebuah konsep negara
dan kekuasaan secara ideal, di dalamnya berbicara mengenai kebaikan bersama,
dan kebaikan bersama tersebut dapat terwujud melalui pengetahuan yang baik
tentang politik tersebut. Paling tidak menurut pandangan Aristoteles, filsafat
politik bagaikan obat untuk penyembuhan penyakit yang disebut konflik. Kendati
konflik dalam masyarakat sukar untuk didamaikan.
Begitu pula yang dikemukakan Plato; baginya, tujuan hidup
manusia ialah kahidupan yang senang dan bahagia. Manusia harus mengupayakan
kesenangan dan kebahagiaan hidup itu. Tetapi
apakah kesenangan dan kebahagiaan hidup itu? Menurut Plato; kesenangan
dan kebahagiaan hidup bukanlah pemuasan hawa nafsu selama hidup di dunia
inderawi. Plato konsekuen dengan ajarannya tentang dua dunia (ia ilustrasikan
dalam mitos gua). Karena itu, kesenangan dan kebahagiaan hidup haruslah dilihat
dalam hubungan kedua dunia itu. Sebagaimana pemikiran Plato tentang dunia ide,
dunia yang sesungguhnya bagi Plato ialah dunia ide. Semua ide dengan ide yang
baik atau ide kebaikan dan ide kebajikan sebagai ide yang tertinggi yang ada di
dunia ide adalah realitas yang sebenarnya. Sedangkan segala sesuatu yang ada di
dunia inderawi hanyalah merupakan realitas bayangan (Rapar, 1988).
Dalam hal ini, filsafat politik mengupayakan kebahagiaan
atau kesenangan sejati, dan kesenangan sejati dapat terwujud manakala manusia
dalam konteks politik tidak mengedepankan kesenangan indrawi, kebahagiaan
politik akan terjadi manakala manusia mengedepankan kesenangan dunia ide, dunia
yang ideal yang ada dalam dunia ideal pula. Oleh karenanya Plato meyakini suatu
negara akan tercipta idealitasnya—di mana semua warganya bahagia manakala
negara tesrsebut memiliki seorang pemimpin, yakni; filsuf raja. Dalam
terminologi filsafat Plato; filsuf raja yakni orang yang telah mencapai tingkat
kebijaksanaan tertinggi.
Plato berkeyakinan yang mana manusia terdiri dari tiga
bagian, yakni; kepala, dada, dan perut. Kepala menyimpan kebijaksanaan, dada
menyimpan kesemangatan, dan perut berisi nafsu. Dalam konteks ini pemimpin
ideal terletak pada orang yang bijak dimana kepala (akal) sebagai panglimanya,
sedangkan orang yang mengandalkan semangat ia cocok menjadi prajurit atau
tentara, dan orang yang mengutamakan perut ia cocok menjadi pedagang. Teori
filsafat Plato bertumpukan pada fungsi-fungsi peran dalam masyarakat, dan
pimpinan politik dalam suatu negara harus seorang filsuf raja yang mana akal
(ide) sebagai panglima dan dalam ide itulah kebijakan bersemayam. Keadilan
dapat terwujud manakala dalam suatu negara ketiga fungsi atau bagian tubuh itu
berjalan selaras, artinya seorang prajurit jadilah prajurit (sifat dada),
seorang pedagang jadilah pedagang (sifat perut), dan seorang pemimpin jadilah
pemimpin (sifat kepala) ketiga fungsi itu tidak boleh saling intervensi atau
mencampuri, dengan demikian negara tersebut akan menjadi negara yang adil.
Senada dengan apa yang telah dikemukakan Aristoteles, dari pemikiran Plato pun;
bahwa filsafat politik berkeinginan meminimalisir konflik, agar kebahagiaan
dalam masyarakat dapat terwujud.
___
Rujukan
Poedjawiyatna. 1990. Etika Filsafat Tingkah Laku.
Jakarta: Rineka Cipta
Poespoprodjo. 1998. Filsafat Moral Kesusilaan Dalam
Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya
Rapar, Jan Hendrik. 1988. Filsafat Politik
Plato. Jakarta: Rajawali
Filsafat Politik Plato dan Aristoteles
Reviewed by takanta
on
Januari 19, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar