Cerpen : Seorang Perempuan dan Tengkorak di Pelukannya
Sebaiknya,
berapa lama sebuah pelukan harus bertahan?
Bertanyalah
kepada perempuan di rumah tua itu. Di ujung jalan menuju kota kami.
Oleh
: Ahmad Zaidi
Perempuan
yang konon menghabiskan sisa hidupnya dalam pelukan seorang lelaki, kekasih
yang ia temui di sebuah pesta kembang api. Tahun-tahun ia lalui dengan ciuman,
selama bermusim-musim mereka bersama. Tak peduli di luar
sana siang sedang terik, senja yang temaram, ataupun malam yang remang.
Baginya, seperti juga kesedihan, cinta hanya bisa dibunuh dengan sebuah
pelukan. Hingga purnama tumbang di matanya yang sendu.
Perempuan
itu akan terus berpelukan, dengan cinta yang bisu, dengan gairah yang tak
kunjung lelah. Tak ada percakapan, tak ada ungkapan sepasang kekasih, tak ada
getir kegelisahan disebabkan pertengkaran. Dia, dan juga kekasihnya, barangkali
telah sama-sama menemukan kebahagiaan di tiap detak jantung yang beradu. Mereka
pun saling memutuskan untuk terus berpelukan.
Sayangnya,
si lelaki lebih dulu mati, beberapa tahun kemudian. Jasadnya sudah berupa
tulang, beberapa bagian raib entah kemana. Dengan posisi masih memeluk
kekasihnya yang tinggal tengkorak itu, aneh, perempuan itu tak tampak menua
sedikitpun. Justru kecantikannya semakin menjadi. Seakan waktu hanya mengitari
setiap lekuk tubuhnya, tak bisa berbuat banyak. Seperti tak rela bila keindahan
tersebut habis ditelannya. Seperti tak sanggup bila harus menyaksikan kulit
yang serupa buih kapas itu mengerut seinci pun.
***
Cerita
ini sudah lama beredar di kota kami. Siapapun hapal tanpa perlu mengingat-ingat
lagi, begitu jelasnya seolah orang yang menceritakan pernah bertemu langsung,
melihat dengan mata kepala sendiri, bercakap-cakap sebentar maupun lama dengan
perempuan itu. Nyatanya, mereka semua hanya melanjutkan cerita yang pernah
disampaikan seseorang. Entah siapa yang memulai pertama kali. Yang jelas,
setiap kali melintasi rumah itu, orang-orang akan mengintip melalui lubang
kecil pada dinding tembok. Dari sanalah, tampak seorang perempuan dan sebuah
tengkorak yang dipeluknya.
"Bagaimana
sebuah pelukan bisa menjelaskan apa yang belum diucapkan, sayang?" Tanya
seorang perempuan kepada pasangannya, suatu senja di taman kesedihan.
"Entahlah."
"Apa
kau dengar apa yang orang-orang katakan?"
"Apa?"
"Di
rumah tua itu, kabarnya ada seorang perempuan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan
berpelukan."
“Bukankah
kita juga sering berpelukan?”
"Ini
beda. Perempuan itu memeluk tengkorak. Tengkorak kekasihnya."
"Ah.
Romantis sekali. Apakah kau akan melakukan hal yang sama ketika aku mati
nanti?"
"Jangan
bodoh!”
***
Pada
siang hari, rumah itu sebenarnya tampak biasa saja. Dari kejauhan samar-samar
terlihat, letak perabotan di rumah itu masih tertata rapi, di ruang tamu, di
dapur, di ruang makan hingga teras depan. Halamannya yang luas ditanami
beberapa jenis tanaman hias. Hanya saja, lumut berwarna hijau kehitaman
menjelma lukisan di dindingnya dan tanaman hias lebih pantas disebut tanaman
liar. Namun kesan mistis akan terlihat pada malam hari, gerbangnya seringkali
berderit berat bila digerakkan angin. Debu menebal pada setiap benda di rumah
itu. Tak ada yang peduli. Serupa kenangan yang coba disembunyikan.
"Aku
melihatnya kemarin. Astaga! Dia masih sama dengan beberapa tahun lalu. Waktu
masih remaja."
"Benarkah
perempuan itu manusia? Jangan-jangan arwah gentayangan."
"Ah,
peduli setan! Manusia apa bukan, aku mau bila harus menggantikan tengkorak
tengik di pelukannya."
"Andai
saja dia mau jadi istri keduaku."
Begitulah,
banyak lelaki hidung belang ingin mendatangi perempuan itu. Tak tahu karena
rasa penasaran, sedang berahi, atau sekadar ikut-ikutan. Malam-malam, serempak
mereka menyusup masuk ke dalam rumah tua di ujung jalan. Lalu keesokan harinya,
saat pagi berselaput embun, gerombolan bedebah tidak pernah ditemukan. Ada yang
beranggapan tubuh mereka diserap kekuatan mistis. Ada pula yang menganggap
perempuan itu gila, sehingga memutilasi lelaki yang ingin memperkosanya. Tidak
jelas bagaimana cerita sebenarnya.
Misteri,
hal-hal yang belum pasti, terkadang menumbuhkan rasa penasaran manusia untuk
mengungkapkan yang sebenarnya. Meski tak jarang bahaya menunggu di depan sana.
Rasa penasaran selalu menuntut ditunaikan. Sampai habis.
Hal
itulah yang kurasakan.
Tanpa
persiapan matang, tanpa mendatangi dukun adiluhung sekali pun, aku mendatangi
perempuan itu. Lihatlah, kini aku berada di depan gerbang rumah yang karat itu.
Mengendap-endap di semak ilalang. Untung saja tidak hujan, karena suara gemuruh
disertai keretap hujan akan menambah kesan mistik. Bayangkan, malam-malam
begini kau sendirian mendatangi gudang kematian.
Ketakutanku
membantu ingatanku tentang cerita-cerita hantu, tentang film horror murahan
belakangan ini. Seolah akulah pemeran utamanya. Seolah alunan musik tengah
diputar, suara genderang sesekali ditabuh. Aku gemetar, nyaliku kian ciut.
Setiap langkah yang kuambil adalah hitungan mundur ketakutan. Separuh dari
diriku menyuruh untuk segera menjauh, separuhnya lagi menyuruh untuk terus.
Beberapa
saat, kucari lubang yang biasa digunakan untuk mengintip. Tak kutemukan. Barangkali
lapisan lumut menutupinya. Setelah agak lama mengitari rumah tua itu, aku
memutuskan masuk. Mencari tempat perempuan itu memeluk kekasihnya.
Bulan
seperti tenggelam dalam lautan kesedihan dengan sinarnya yang biru pucat.
Siluet dari sebuah ranting pohon menusuk bulan itu tepat di tengah, di ulu
kesendiriannya. Sementara gugus gemintang mengitari seperti kebahagiaan yang
dipamer-pamerkan. Sinar bulan melewati kisi-kisi jendela, menjalari tubuh
perempuan itu. Dari tempatku berdiri, dia tampak seperti Nude in Black
Armchair masterpiece Pablo Picasso.
Aku
akan menghampiri perempuan itu, akan kutanyakan bagaimana ia bisa mencintai
seseorang hanya dengan sebuah pelukan. Apakah ia penyihir? Atau seseorang yang
terkena kutukan?
Aku
tidak peduli.
Namun,
apabila cerita ini berakhir di sini, jangan sekali-kali menemui perempuan itu.
Cerpen : Seorang Perempuan dan Tengkorak di Pelukannya
Reviewed by takanta
on
Januari 07, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar