Taman Hidup; Suatu Ketika di Tahun 2017
Banyak
hal di dunia ini yang seharusnya menjadi misteri saja, ada kalanya sebuah
misteri tidak perlu dipecahkan apalagi membahasnya. Awalnya hanya sebatas
cerita dari beberapa sahabatku yang kemudian menjelma menjadi rasa penasaran. Suatu
tempat dengan ketinggian 1968 mdpl bernama Taman Hidup.
Taman
Hidup adalah sebuah danau yang terletak di kawasan pegunungan Argopuro. Konon
danau tersebut merupakan tempat pemandian putri Rengganis, terkadang beberapa
pendaki mendengar suara perempuan di lokasi tersebut, dan kadang juga bau bunga
melati, anda boleh percaya atau tidak, yang pasti itu merupakan cerita dari
salah satu temanku. Tempat ini juga biasanya dijadikan camping ground terakhir bagi para pendaki yang melakukan pendakian
melalui Baderan - Bermi.
Gunung
Argopuro merupakan pendakian terpanjang se-Jawa. Untuk pendakian santai
biasanya waktu yang ditempuh empat sampai lima hari, tapi bisa juga ditempuh
tiga hari tiga malam dengan konsekuensi harus siap fisik, karena yang pasti
kita agak lari, bukan jalan lagi. Ada beberapa tempat bersejarah di antaranya
adalah, alun-alun kecil, sungai kolbu, cisentor, padang savana cikasur, puncak
Hyang, puncak Rengganis dan puncak Argopuro, termasuk juga Taman Hidup yang aku
ceritakan kali ini.
Tut,
tut...
“Halo,
ada dimana, dik?” Aku telepon Iis.
“Masih di Bondowoso, mas,
kehujanan nih, masih berteduh bentar.”
“Aku
sudah 20 menit loh menunggu kalian.”
“Sabar, ini juga sudah pasang mantel,
hujannya takut gak reda.”
“Ok,
hati-hati di jalan.”
Setelah
kurang lebih 30 menit, aku menunggu akhirnya mereka sampai juga. Berikut adalah
nama - nama tokoh dalam cerita ini yang menemani perjalananku kala itu.
Rufin adalah
si pendaki gila. Saat di gunung dia selalu bikin ulah yang aneh-aneh, kadang
juga sering jail, kalau tidur suka ngorok, suka bawa tembakau, tapi kalau
urusan bikin kopi dan dirikan tenda dia jago banget. Beberapa hari yang lalu
sempat ngopi bareng, lalu yang dibahas temanya tentang pernikahan. Sepertinya
sih dia kebelet nikah, emang calonnya udah ada Fin? Buknnya kamu masih jomblo?
Ampun deh kamu.
Iis,
si koki cantik saat di gunung. Sosok perempuan yang tangguh, simple,
solidaritasnya tinggi, tidak pernah mengeluh saat mendaki, sayangnya bawel
dikit, dan satu lagi dia paling males kalau urusan packing, hmmmm. Saat ini dia sedang menyelesaikan skripsinya,
ngomongnya kadang suka ngelantur, efek tugas yang numpuk kali ya? Belum lagi
dia diputusin sama cowoknya. Tidak kebayang deh kalau aku diposisi dia, tapi
doain ya teman-teman cepat kelar dan meraih hasil maksimal. Amin.
Selanjutnya
Faki, andalanku kalau digunung. Pemberani, tangguh sudah pasti, pas banget
kalau malam hari lagi butuh air buat masak jadi aku bisa minta bantuan dia.
Saat ini dia lagi deket sama seseorang, belum jadian kamu bro? Ketikung kelar
hidup kamu.
Lana
adalah seorang bidan, sudah mapan, setia sudah pasti, passien saja dijagain 24
jam, apalagi kamu? Eak. Kalau urusan P3K nih lengkap banget deh; mulai dari
obat pusing, obat sakit perut, obat flu, obat sakit gigi, obat masuk angin dll.
Hanya saja dia tidak pernah membawa obat anti galau, hehe. Dia adalah salah
satu temanku yang hobinya agak aneh, selain mendaki dia juga suka climbing, Anaknya rame, selalu bikin
suasana menjadi cair, sayangnya kalau dandan lama banget, maklum cewek kali ya?
Sugeng,
si pendaki galau, temenku yang satu ini kerjaannya kalau tidak bingung, ia
melamun, hidupnya gak jauh-jauh dari keduanya, hehe. Kadang idenya cukup
gemilang saat yang lainnya pada panik, boleh juga kamu bro. Saat ini dia
mengajar di salah satu SMA.
Itu
sekilas tentang mereka.
Kami
berangkat pukul 16:03 WIB dari alun - alun Besuki. Ngeng, ngeng, perjalanan kami sedikit terkendala karena ada acara
pernikahan, jadi kami muter dikit. Setelah dua jam kemudian, kami tiba di desa
Bermi yang merupakan desa terakhir, kecamatan Kerucil, Kabupaten Probolinggo.
Selanjutnya adalah ngecek semua keperluan dan logistik, setelah parkir motor,
ngurus simaksi, berdoa. Kami pun start
pendakian, selamat datang di taman hidup, di gerbang terdapat tulisan tersebut
itu artinya pendakian akan segera dimulai. Semangat! Itu adalah kata yang kami
teriakkan pertama kali setelah berdoa. Rufin bertugas sebagai leader, dan aku sebagai swipper, setelah dua jam kemudian Rufin
teriak, break!
“Ada
apa Fin?” Tanyaku.
“Lana
pusing ini, Pul.”
Aku
samperin Lana dan segera mengambil tindakan, “ia sudah kita istirahat dulu
beberapa menit ke depan,” aku segera bongkar carrier dan ambil kompor untuk
membuat teh buat Lana.
“Ini
masih jauh, mas Ipul?” Tanya Lana.
“Baru
dua jam perjalan loh, belum sepertiganya. Apa kita bangun tenda di sini saja?
Besok pagi baru kita melanjutkan perjalanan.”
“Jangan,
mas Ipul. Aku masih sanggup kok, dia meyakinkanku.”
“Ok,
kalau begitu,” sambil aku suguhkan teh anget. Tangan Lana dingin sekali,
mungkin dia masuk angin.
Setelah
15 menit, pusingnya sudah mendingan. Kami pun melanjutkan perjalanan, setapak
demi setapak telah kami lalui, suara hewan-hewan malam menemani perjalanan kami
malam itu. Malam semakin mencekam, lampu-lampu kota perlahan terlihat dari
ketinggian, dingin, capek, lelah campur aduk jadi satu. Aku lihat sinyal HP
sudah mulai hilang pertanda kami sudah jauh dari jangkaun, entah sekarang kami
sudah berada di mana.
Tiba-tiba
Lana teriak, aaaawww.
“Ada
apa, Lan?”
“Geli,
mas Ipul.”
“Apanya
geli?”
“Ini
geli banget.”
Setelah
aku cek, “Ooo, ternyata lintah doang.”
“Tapi
aku takut,” dia cemberut.
“Gitu
doang takut, wong lintahnya besaran kamu, hehe.”
“Mas
Ipul mah sering gitu, namanya juga takut.”
Akhirnya
Faki berusaha mengamankan Lana dari gigitan lintah
“Kamu
pastiin aman Ki,” kataku.
“Siap,
bang Pul,” jawabnya.
“Istirahat
bentar ya?” Kata Iis pasang muka manja.
“Aku
setuju,” Rufin teriak dari barisan depan.
Kami
pun beristirahat
Setelah
beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Lima jam sudah perjalanan kami.
Angin bertiup kencang sekali, kabut berubah menjadi gerimis, terdengar ranting
patah dari kejauhan, namun nyali kami tidak terhenti di sini, dan itu merupakan
sebuah resiko yang harus kami ambil. Banyak pelajaran yang kami dapatkan dari
perjalanan waktu itu. Belajar untuk tidak mengeluh karena jauh.
“Belajar
sabar karena sebuah tujuan,” sambung Rufin.
“Belajar
arti sebuah kebersamaan,” kata Faki.
“Belajar
bangkit dari keterpurukan,” kata Lana.
“Saat
ini bukan tentang siapa diri kita, dan apa yang kita punya, tapi sejauh mana
kita mampu bertahan dalam persahabatan ini,” Iis tak mau kalah.
“Sugeng,
aku belajar dari kalian saja deh,” dia nyengir.
“Lana
sehat?” Aku godain dia.
“Sehat,
mas Ipul.”
“Rufin,
sehat?
“Sehat,
bang Pul.”
“Makan
malam dulu yuk,” kata Sugeng di depanku.
“Ide
bagus itu,” sambung Faki.
“Mas
Ipul, ini masih jauh?” Tanya Iis.
“Entar
lagi sampai kok, dik?” Padahal aku juga tidak tahu, soalnya aku belum pernah
sampai ke Taman Hidup, batinku bicara.
“Mas
Ipul mulai tadi bentar lagi mulu, kapan sampainya? Kita sudah lebih lima jam
loh.”
“Sabar,
ayo habisin dulu makannya, habis itu kita lanjutkan perjalanan.”
Aku
bisikin Rufin bermaksud menanyakan benar atau tidaknya trek yang kita lalui
ini.
“Fin,
kamu yakin ini benar?”
“Aku
juga bingung, Pul, soalnya waktu itu aku jalannya siang hari, jadi kalau malam
aku lupa.”
“Kamu
jangan main-main, Fin, ini di gunung loh, sedangkan logistik kita hanya cukup
untuk satu hari satu malam.”
“Tenang
saja. Pul. Aku yakin kali ini kita benar.”
“Ia
semoga saja begitu.”
“Gimana
mas Ipul, kamu yakin ini benar jalannya?” Iis kembali bertanya.”
“Benar,
nanti di depan ada penunjuk arah, kita ikutin arah panah tersebut habis itu
kita sampai, aku sok tahu saja buat meyakinkan Iis.
“Perasaan
sudah yang kesekian kalinya deh arah panahnya kita ikutin, tapi gak nyampek-nyampek.”
“Jangan-jangan
kita nyasar?” Kata Lana.
“Nyasar
apaan sih, Lan, kalau nyasar kehatimu bisa jadi.”
“Mas
Ipul kebiasaan deh, bercanda mulu kerjaannya.”
“Habisnya
kalian pada tegang mukanya, kalau sudah gak sanggup kita bangun tenda di sini
saja, gimana?”
“Aku
sanggup kok, sanggup meluluhkan hatimu, maksudnya.” Iis membalas candaku tadi,
hilang sudah suasana yang tegang.
Selesai
makan, packing kami pun melanjutkan
perjalanan, tujuh jam kemudian terjawab sudah rasa penasaranku, kabut tebal
menyambut kedatangan kami, gerimis masih setia menemani kami sampai ke Taman
Hidup. Aku lihat di sekitar camping
ground sudah berdiri beberapa tenda. Aku sempat berdialog dengan mereka.
“Baru
sampai bang?” tanya mereka.
“Iya,”
jawabku singkat, sembari bongkar carrier.
“Berapa
orang ke sini bang?”
“Berenam.
Kamu sendiri kapan sampai?” Aku balas pertanyaan mereka.
“Kami
sudah dua hari yang lalu di sini, kami bertiga, bang.”
Gak
ada kerjaan apa berlama-lama di gunung, batinku bicara, hehe. “Aku lanjut
dirikan tenda dulu ya, sudah kedinginan nih.”
“Ok,
monggo lanjut!”
Selesai
mendirikan tenda, aku memasak air kemudian ngopi sejenak untuk sekedar
mengahangatkan tubuh.
“Kamu
tidak istirahat, mas Ipul?” Tanya Lana.
“Sebentar
lagi masih belum ngantuk, dik. Ini masih ngopi sama Rufin, Faki dan juga
sugeng.”
“Aku
mau juga dong,” kata Iis dari dalam tenda.
“Sini
keluar kalau mau, jangan di dalam mulu.”
“Gak
mau ah, di luar dingin. Aku maunya teh bukan kopi, kalau kebanyakan ngopi
perutku kembung. Satu lagi, tehnya jangan manis – manis. Aku kan sudah manis,
dia nyerocos.”
“Ah,
kamu... Biasanya juga paling suka ngopi, ya sudah tunggu bentar, aku bikinin.”
Selesai
ngopi, makan beberapa camilan kemudian kami beristirahat.
Aku
lihat mereka sudah tertidur pulas, sepertinya mereka lelah sekali, mataku masih
enggan terpejam. Aku lihat hapeku jam sudah menunjukkan pukul 03:31 WIB,
tiba-tiba angin berhembus kencang sekali, mengguncang tenda kami. Aku berfikir
akan terjadi badai yang sangat besar. Aku pun keluar tenda dengan maksud
melihat beberapa ranting kering, khawatirkan tumbang lalu menimpa tenda kami.
Aku senter satu persatu pepohonan yang ada di sekitar camping ternyata semuanya aman, setelah itu aku masuk dalam tenda
kemudian beristirahat.
Pagi
pun tiba, aku buka pintu tenda untuk sekedar menghirup udara pagi yang segar,
sembari menatap ke arah danau membayangkan aku sedang duduk bersamanya di bibir
danau, lalu melangkah perlahan menuju bangunan itu, meniti satu persatu tangga
untuk menikmati keindahan alam ini, kemudian mengambil sebotol air yang akan
kita pergunakan buat masak, tapi itu hanya khayalku saja.
Seketika
kenangan tentangnya mengalir deras membasahi jiwaku. Aku tahu pertemuan dengan
dia kala itu lebih dari sekedar pertemuan biasa, kerinduan yang nyaris tak
berujung.
Kabut
tebal perlahan turun menyelimuti permukaan danau, mentari pun enggan
menampakkan senyumnya, lengkap sudah menemani suasana hati yang merindukannya
kala itu.
Kamu
dimana? Sama siapa? Sudah makan belum?
Sengaja
aku sampaikan pertanyaan itu untuknya, meski aku tahu ia tak mendengarnya
“Mas
Ipul, ayo kita ke danau!” Teriak Iis sambil mempersiapkan kameranya.
“Bentar
lagi, masih kabut.”
“Mukanya
kok bingung gitu? Apa lagi ada masalah?” Dia menatapku, tatapannya hangat
sekali
“Gak
kok, hanya saja aku lagi menikmati pemandangan danau.” Aku menghinadar dari
tatapannya, sepertinya Iis tahu aku lagi memikirkan sesuatu.
“Ooo,
begitu, ayo buruan teman-teman sudah pada kesana loh!”
“Iya,
nanti aku nyusul.”
Aku
pun berjalan berdampingan dengan Iis
Setelah
selesai ambil beberapa gambar, seru-seruan bersama mereka, melupakan sejenak
rutinitas di rumah, akhirnya kami kembali ke lokasi camping yang tidak jauh dari danau. Selanjutnya adalah masak,
sarapan, dan istirahat sejenak untuk sekedar memulihkan tenaga sebelum pulang.
Yang tidak kalah penting adalah ngopi di ketinggian bersama mereka. Ah jadi
rindu suasana ketinggian nih, hehe.
Selesai
beristirahat, packing kemudian
pulang. Alhamdulillah perjalanan kami
lancar, meski jalannya licin karena memang waktu itu hujan.
Secangkir
kopi hangat menutup perjalananku kala itu. Senja perlahan masuk ke dalam
peraduannya. Sungguh perjalanan yang tidak akan pernah aku lupakan dalam
hidupku. Wajar saja jika aku candu, sudah seharusnya jika aku rindu. Waktu
bersamamu begitu berharga, kisahmu juga kisahku. Aku benar-benar memanfatkan
kesempatan itu. Dimakan lintah adalah bonus, jatuh dan bangkit adalah bonus,
kehujanan adalah bonus, menggapai tujuan bersama adalah bonus, pulang dengan
selamat adalah bonus, semua cerita tentang kalian adalah bonus. Jujur, aku
masih ingin berlama-lama dengan suasana ini. Aku tahu, mengikuti langkahmu
berarti aku harus kecewa, bukan kecewa pada kebersamaan ini, tapi kecewa karena
aku tidak akan pernah bisa mengulang momen tersebut.
Sahabatku...
Aku
rindu kalian
Aku rindu canda tawa kalian
Aku rindu celotehan kalian
Merajut hangatnya dalam tenda, kalian apa kabar? Pasti baik-baik saja kan?
Jika suatu saat nanti Tuhan mempertemukan kita dalam waktu yang berbeda, kenanglah aku sebagai sahabat baikmu.
Aku rindu canda tawa kalian
Aku rindu celotehan kalian
Merajut hangatnya dalam tenda, kalian apa kabar? Pasti baik-baik saja kan?
Jika suatu saat nanti Tuhan mempertemukan kita dalam waktu yang berbeda, kenanglah aku sebagai sahabat baikmu.
Salam
rindu dari ketinggian.
___
Ipul
Lestari, Ketua Backpacker Situbondo.
Taman Hidup; Suatu Ketika di Tahun 2017
Reviewed by takanta
on
Januari 16, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar