Cerpen - Ada Sesuatu yang Telah Dicuri dari Tubuhku, Entah yang Mana
Jika kau merasakan apa yang telah dirasakan Sumi, maka
kuanggap kalian memang telah merasakan kehilangan suatu hal yang begitu hebat.
Begitulah pikirku. Atau mungkin juga ada dipikiran kalian. Tentang isi kepala
yang semakin penuh, tetapi tak ada yang bisa kau hasilkan.
Rasa berkabung dan kehilangan dalam tubuh Sumi telah
muncul ketika ia masih jabang bayi. Masih terbungkus selaput dan belum terpisah
dari ari-ari yang mendampinginya di kandungan. Ada yang menghilang begitu saja
dari dirinya yang malang. Secara tiba-tiba dan tak pernah diketahui asalnya.
Ibunya mati setelah melahirkan orok sebesar genggaman
tangan orang dewasa. Ari-ari yang dipercaya sebagai saudara kembarnya ditanam
di tengah halaman oleh bapaknya. Katanya agar selalu hadir menemani Sumi. Tetapi
setelah menanam ari-ari yang dibungkus kain kafan, bapaknya diangkut ke kota
dan dipenjara selama tujuh belas tahun. Tanpa diadili, tanpa proses hukum yang
jelas. Jadi tentu saja, ia akan menerima aib yang diperoleh dari tindakan itu.
***
“Apa yang sebaiknya kujaga dari tubuhku? Kukira tak ada,
sepertinya kau juga tahu tentang semuanya,” tanya Sumi suatu ketika pada kawan
masa kecilnya.
“Tidak, kau salah,”
“Lantas? Apa yang harus kulakukan untuk membersihkan
namaku?” jawab Sumi geregetan sekaligus miris dalam hatinya.
Dalam waktu dekat ini, Sumi sudah harus bekerja. Ia sudah
lulus sekolah tingkat atas dan sebagai orang yang wajar selepas lulus, haruslah
segera bekerja agar apa yang telah ia lakukan di sekolah tak sia-sia. Tapi
nyatanya, hingga kini Sumi tak segera bekerja. Masih mengangur dan memikirkan
cara terbaik untuk masuk ke kantor-kantor perusahaan swasta atau lebih lagi
mendaftar ke kantor desa atau kecamatan untuk menjadi juru ketik atau pun
menjadi tukang stampel di dalam kantor.
Di kantor-kantor pemerintah, setiap tahun selalu
membutuhkan juru ketik dan tukang stampel. Ini dikarenakan saban hari selalu
saja ada orok-orok yang lahir. Tidak hanya satu atau dua, bahkan mencapai
puluhan hingga ratusan. Sehingga untuk menanggulangi kekurangan pegawai
pencatatan kelahiran anak, pemerintah terpaksa menambah banyak pekerja. Posisi
pekerjaan di kantor-kantor desa dan kecamatan selalu menjadi rebutan. Sebab,
ketika bekerja bisa duduk di bawah kipas angin dan pantat beralaskan bantalan
kursi empuk.
Salah satu syarat bekerja di kantor-kantor itu adalah
memiliki akta catatan lahir. Lucu jika mereka bekerja sebagai pencatat
kelahiran tetapi tak memiliki akta catatan lahir dirinya sendiri. Sumi tak
memiliki akta catatan lahir. Dari awal masuk sekolah, ia hanya memakai surat
pengantar dari RT yang ditandatangani seorang tentara. Ketika bertanya pada neneknya,
selalu tak ada jawaban. Katanya yang penting bisa masuk sekolah. Jadi surat
dari pak RT yang disertai tanda tangan tentara itu dirasa sudah cukup. Tapi
sekarang, ketika akan mendaftar pekerjaan, ia harus memenuhi persyaratan yang
telah ditetapkan, dan salah satunya adalah memiliki akta catatan lahir. Bukan
lagi surat keterangan dari RT atau dari tentara mana pun.
“Bukankah saya sudah membawa surat dari RT dan bertanda-tangankan
pena seorang tentara pak? Apalagi yang kurang?” tanya Sumi pada petugas di meja
pendaftaran bagi pelamar kerja.
“Kau bisa baca? Kalau ingin bekerja di kantor harus
cerdas, harus bisa baca. Kau tahu kan syarat menjadi pegawai pemerintah?” jawab
petugas di meja pendaftaran. Ada rasa geram dan ucapan yang berkobar dari
mulutnya.
“Tapi dari kecil saya selalu menggunakan ini pak, dan tak
terjadi masalah,” Sumi memelas sambil menyodorkan selebaran yang selalu ia
gunakan dalam hal yang berkaitan dengan administrasi.
“Sekarang akan menjadi masalah besar.”
Tak ada jawaban selanjutnya. Sumi terisak. Air mata
keluar dari kedua matanya dan pinggang Sumi bergerak seperti sedang merasakan
sesak atau mungkin karena getaran di hatinya. Sumi memikirkan apa yang harus ia
lakukan. Masih ada waktu tujuh hari untuk mengurus segala keperluan. Hari ini
hari pertama, masih ada waktu untuk mengurus akta catatan lahir yang
menghambatnya untuk duduk di bantalan kursi kecamatan.
***
Tahun-tahun pembantaian itu telah berlalu belasan tahun
yang lalu. Basiyo pernah terlibat di dalamnya. Ia terseret pusaran arus yang
memanas menjelang penggulingan presiden yang dilakukan oleh orang-orang besar
di sekitarnya. Sebelum kejadian nahas itu, ia sempat menemani istrinya
melahirkan dan menguburkan ari-ari anaknya di halaman rumah.
Tetapi di dalam pikiran Basiyo tersimpan banyak kenangan.
Saat ia harus ikut menyeret orang-orang besar ke pusara yang tak pernah
dikehendaki penghuninya. Menguruk dan menutup lubang yang tak seberapa besarnya
itu dengan cangkul di tangannya. Dan akhirnya ia diseret ke barak tentara dan
menjadi bulan-bulanan di sana. Terpenjara pada ketakutan.
Di dalam penjara, selalu muncul bayangan anaknya yang
kini sudah belia. Mungkin sudah dewasa, atau mungkin sudah siap bekerja atau
pun siap untuk menikah. Seharusnya ia ada di sampingnya untuk menjadi wali yang
sah. Tetapi ia tidak bisa bersama anaknya. Ia menyesal. Tetapi tak bisa melakukan
banyak hal. Termasuk untuk keluar dari penjara, ia sama sekali tak pernah
mendapat kesempatan keluar dari dalam barak bekas penjajah itu.
“Apakah kalian bisa menunjukkan kesalahanku? Saya hanya
tukang kubur di pemakaman umum,” tanya Basiyo pada suatu ketika pada beberapa
penjaga di penjara.
“Tapi kau mengubur Jendral kami,” salah satu penjaga itu
membuka gembok sel penjara dan menyeret Basiyo keluar dari dalam sel.
“Bangsat!” ucap prajurit lain diikuti tendangan pada dada
Basiyo, juga kepala, juga bagian tubuh. Ada darah mengucur di sana, juga memar
dan lebam hampir di sekuruh tubuh. Penghuni penjara yang lain hanya bisa menyaksikan
dari dalam sel. Mereka tak ingin ikut campur dengan masalah itu. Mereka merasa
iba, tetapi lebih baik diam daripada ikut memar atau mengucurkan darah yang
anyir.
Basiyo memang hanya tukang kubur di pemakaman umum,
tetapi hampir setiap hari menguburkan mayat-mayat. Entah mayat warga kampung
atau pun dari luar. Entah itu pegawai kelurahan atau kere sekali pun. Ia hanya
memandang bahwa semua mayat adalah sama. Tak ada bedanya ketika di kubur.
Tetapi nahas ketika ia diperintahkan orang tak dikenal
untuk menguburkan orang antah-berantah dan dibayar lebih, ia menyetujui dan
segera menimbun tanpa ada rasa curiga sedikit pun. Dua hari berselang, ia
didatangi tentara dan diseret dan dijebloskan ke penjara. Sial benar.
***
Sumi telah mencari cara agar bisa menjadi pegawai di
pemerintahan. Ia berusaha mencari akta catatan lahir yang hanya bisa dibuat di
kantor kabupaten. Tapi baru sampai di kelurahan ketika mencari surat pengantar,
sudah tersendat. Ia ditanya siapa bapaknya. Tentu saja Sumi tak tahu bapaknya.
Ia hanya tahu nama bapaknya yakni Basiyo, tetapi tak pernah menemuinya secara
langsung. Mungkin saja sudah mati. Atau mungkin tak akan kembali.
Tak pernah ada yang menceritakan kejadian nahas itu
padanya. Sampai akhirnya salah satu pegawai kelurahan mengatakan hal yang tak
dimengerti oleh Sumi yakni sebelum seseorang menjadi pegawai pemerintahan
haruslah benar-benar bersih. Sumi tak mengerti apa yang dimaksud oleh apa yang
dikatakan pegawai itu.
Hingga sekarang, mungkin saja, masih ada sesuatu yang
masih dicuri dari tubuh Sumi, entah yang mana.
Profil
Penulis
Eko
Setyawan, lahir dan menetap di Karanganyar, Jawa Tengah. Menempuh kuliah di
Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret. Karya-karyanya tersebar di Koran Tempo, Radar Surabaya,
Radar Banyuwangi, Malang Post, Radar Bromo, Nusantaranews.co, dll.
Buku kumpulan
puisinya berjudul Merindukan
Kepulangan (Bebuku, 2017). Bernaung di Komunitas Sastra Senjanara dan Komunitas
Kamar Kata Karanganyar. Dapat dihubungi
melalui surel esetyawan450@gmail.com serta telepon 089673384146.
Cerpen - Ada Sesuatu yang Telah Dicuri dari Tubuhku, Entah yang Mana
Reviewed by takanta
on
Februari 11, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar