Cerpen - Batas yang Direbutkan
Seorang
bocah laki-laki ternganga mulutnya ketika melihat manusia terbang, dengan kepak
sayap berwarna putih berjumlah empat, dan kulitnya cemerlang berkilauan di atas
telaga. Ia mengamati dengan bersembunyi di balik pepohonan. Seumur hidupnya,
baru kali ini melihat manusia bisa terbang dan memiliki sayap. Parasnya seorang
laki-laki, berbaju putih, dan dadanya tidak ditutupi oleh apapun. Ketika
matahari menyinari dada itu, terlihat berkilauan. Dan keringat yang menetes
dari manusia terbang, seperti butir-butir mutiara berwarna bening,
bergemerlapan ketika matahari membias butir-butir keringat itu.
Sang bocah
demikian takjub, melupakan domba-domba yang digembalakannya. Rambut manusia
terbang berwarna keemasan, pendek, memiliki bulu mata yang lentik, mirip bulu
mata seorang perempuan, pipi yang tipis, halus, dan seperti selalu dibasuh susu
dan madu. Memiliki bentuk bibir yang mungil, tipis, mencerahkan. Hidungnya agak
panjang dibandingkan dengan manusia biasa. Aduhai mempesona kulitnya, tak
berbulu, cemerlang, dan berkilauan jika ditempa sinar matahari. Sang bocah
menepok pipinya, tak yakin apakah ia mimpi. Masih kurang puas, ia mencubit
lengannya sampai memerah. Ia berdesis meringis, kesakitan. Ia benar-benar tidak
bermimpi. Sang bocah hanya mengira, mahluk-mahluk seperti itu hanya ada dalam
dongeng semata. Ia ingin mendekat, tapi takut. Hatinya menciut, bagaimana kalau
ia diculik? Tak sampai hati meninggalkan kakeknya seorang diri. Kemudian, ia
lihat tak sampai satu kedipan mata, manusia terbang itu melesat jauh ke angkasa
dengan cepat. Menghilang. Lenyap. Seolah tidak pernah berada di atas telaga
itu. Ia keluar dari pohon tempatnya bersembunyi, melihat ke atas, menutupi
kedua matanya dengan tangan kanan. Mencari jejak kemana manusia terbang melesat
jauh. Dan tidak ditemukannya jejak manusia terbang itu di angkasa. Sampai
kemudian ia teringat akan gembalaannya. Dia keluar dari telaga yang dikelilingi
pohon besar itu. Untunglah, justru para kambing datang ke arahnya. Berkumpul
meminum air telaga. Ia kembali duduk. Meresapi segalanya. Ia kembali duduk
menekur, melihat ke arah telaga. Nyatakah apa yang baru saja dilihatnya?
***
Kakek
sang bocah mendengarkan cerita cucunya dengan saksama. Kalimat demi kalimat ia
dengarkan. Kadang sang bocah memiliki mimik muka yang lucu, memperagakan
bagaimana sang manusia terbang melesat jauh yang tak sampai satu kedipan mata.
Tangannya bergerak-gerak lincah, kakinya berjinjit-jinjit, seolah dirinya
sendiri yang akan terbang. Sang kakek hanya tersenyum. Kemudian mengelus kepala
cucunya, dan memeluknya. Butiran air mata menggumpal, kemudian menetes jatuh,
bagaikan kristal yang bening. Sang kakek merasa sedih. Sang kakek mencium
ubun-ubun cucunya, kemudian berkata kepada sang cucu.
“Jangan
ceritakan perihal ini kepada siapapun, Nak. Karena tidak akan ada orang yang
mempercayaimu di dusun ini. Kamu hanya akan dikatakan pembual belaka. Jangan,
jangan ceritakan. Cukup kakek yang menjadi pendengarmu. Jangan sampai kamu
menjadi bahan olok-olok oleh mereka, karena menganggap kisahmu sebagai khayalan
semata,” sang kakek menasehati cucunya.
“Tapi
Kek, tapi Kek, kenapa mereka tak mempercayai Kek. Aku ingin mengajak
teman-teman, Kek. Untuk melihat manusia terbang itu. Dengan sayapnya yang indah
gemerlapan. Mereka akan percaya kalau melihatnya sendiri,” sang bocah dengan
segala keluguannya, masih berhasrat menceritakan apa yang sudah dilihatnya
kepada teman-temannya.
“Jangan
Nak, karena tak semua orang mampu melihat apa yang kamu lihat,” jawab sang
kakek.
Bocah
itu kecewa. Tapi kini, ia akan menggembalakan kambing-kambing tetangganya
dengan riang gembira. Ia akan melihat manusia itu terbang sendirian.
***
Sore
hari, desau angin sore meneduhkan. Daun-daun bergoyangan pelan, biasanya sang
bocah akan tertidur di bawah pohon besar dekat telaga sambil mengawasi
domba-dombanya. Tapi sore itu, ia tidak tidur. Bersembunyi di balik rerimbunan
semak, mengamati kalau-kalau manusia terbang, akan bermunculan lagi di atas
telaga dengan kepak sayap menakjubkan. Ia tak tahan ingin menceritakan kepada
semua orang di desanya. Tapi, peringatan sang kakek diingatnya. Dia juga
berpikir seandainya manusia terbang itu tidak datang, maka dia akan dianggap
pembual oleh orang-orang yang mendengar ceritanya.
Manusia
terbang datang dengan tiba-tiba. Kali ini tak sendiri seperti hari kemarin. Sayapnya
mengepak di atas telaga. Sore itu pemandangan yang dilihatnya lebih membuat
takjub batinnya. Tiga manusia terbang. Bercakap-cakap. Mulut mereka seperti
penyanyi yang ulung. Suara yang indah, syahdu, lembut, seperti angin sore yang
lembut menerpa di sela-sela telinga. Mereka berkilauan, bagai kristal-kristal
bening yang hidup, ketika angin datang berembus, sang bocah mencium aroma yang
memabukkan. Sangat harum. Dua manusia terbang bersayap empat, dan yang seorang
lagi, seorang perempuan, bersayap dua. Betapa matanya tersihir melihat wanita
itu. Membayangkan manusia terbang yang wanita itu adalah ibunya sendiri. Betapa
menyenangkan memiliki sosok ibu seperti itu, manusia terbang. Ia membayangkan diajak
sang ibu melintasi cakrawala, bersaing ketinggian dengan elang, melihat
hamparan bumi dari atas, dan ia akan melihat sebagian kecil dari keindahan
semesta. Rambutnya tergerai panjang, berselendang, dan bergaun putih, paling
berkilau di antara ketiganya, jika tak sengaja matahari sore menerpa. Jemari
panjang, lentik, keemasan. Ingin rasanya ia meloncat ke arah ketiganya. Belum
sempat bocah itu melaksanakan niatnya, ia mendengar panah mendesing, menancap
di pohon, panah bergetar sebentar kemudian diam. Disusul suara derap kuda, dan
teriakan makian. Ia tak tahu, langkah derap kuda yang mendekat tiba-tiba
lenyap. Lima orang jatuh, dan seorang lagi tertancap di atas pohon dengan anak
panahnya sendiri. ia merasakan angin sore yang tenang, tiba-tiba berubah menjadi
angin sore yang tak bersahabat. Para manusia terbang melesat cepat di sekitar
telaga, dan tak lama tenang kembali. Kemerasak daun-daun jatuh, beberapa pohon
bergetar. Sang bocah menyadari, pertempuran yang tak kasat mata. Dan ia
mengenal baju para prajurit yang jatuh. Prajurit dari kerajaan yang menguasai
desanya.
***
Sang
kakek merasa sedih melihat cucunya yang belum genap sepuluh tahun, tapi sudah
melihat pertumpahan darah. Untunglah pertarungan itu terjadi begitu cepat. Ia
tak ingin, cucunya yang sebelia itu, melihat hal-hal yang tidak pantas. Sang
kakek mendekap cucunya.
“Tak
lama lagi, Nak. Pertarungan akan terjadi. Kita harus berkemas. Tidak usah
menggembala lagi. Nanti dalam perjalanan akan kakek ceritakan sebuah kisah”
sambil berkemas, kakek menjanjikan sesuatu kepada sang bocah.
***
Mereka
telah sampai puncak bukit yang jauh dari pemukiman manusia. Berhari-hari
perjalanan akhirnya mereka bisa berlindung dari segala kecemasan. Dari jauh,
sayup-sayup terdengar suara denting pedang, tombak, anak-anak panah melesat. Panah
api melayang-layang di udara.
“Tak
semua orang bisa melihat pertempuran itu, Nak. Tapi untuk para prajurit, mata
mereka telah dibasuh dengan air gaib. Sehingga mereka mampu melihat manusia
terbang itu. Kakek sendiri tak terlalu melihat dengan jelas. Samar-samar. Hanya
suara pertempuran itu. Kakek mampu mendengar suara pertempuran.”
“Kenapa
manusia terbang itu menyerang manusia, Kek. Apa kesalahan manusia bumi pada
manusia terbang itu?”.
“Karena
manusia bumi merampas dunia mereka, Nak. Ini, tanah ini, lihatlah begitu subur.
Tak ada cacat. Ditanami apa saja bisa. Hijau dimana-mana. Tanah ini adalah
batas antara dunia manusia bumi dan manusia terbang. Tanah milik manusia, tidak
akan bisa sedemikian subur. Mereka berhasil membangun kekuatan sepertinya. Dan
manusia bumi akan kalah.”
“Siapakah
yang kejam kalau begitu, Kek?” sang bocah terus bertanya.
“Dia
yang masih memiliki dendam dan amarah, dialah yang kejam, Nak. Tak peduli
manusia bumi ataupun manusia terbang. Lebih lagi, ia yang ingin menuntaskan
dendamnya,” jawab kakek sedih.
Mereka
bercakap. Sang bocah berdiri sedemikian antusias, melihat ribuan manusia
terbang melintas di udara. Berlesatan, berkilauan.
***
Dunia
manusia sudah rusak. Tanah dimanapun sudah tak bisa ditanami lagi. Salah
seorang penguasa mengirim telik sandi terbaiknya untuk mencari dimana lagi
tanah yang masih mungkin untuk didiami. Dimana harapan hidup masih ada. Salah
seorang dari telik sandi, seorang indigo, memberikan informasi tentang suatu
daerah yang dihuni oleh manusia-manusia bersayap. Dunia yang diselimuti hijau,
kupu-kupu berwarna-warni, begitu tenang, begitu menyilaukan. Udara yang
terhirup sangat sejuk. Matahari tak pernah terlalu terik membakar kulit. Dan
itu adalah batas dunia dan alam lain. Penguasa yang hampir putus asa itu
menyerahkan diri pada kegelapan, untuk menguasai tanah yang dihuni manusia
terbang. Dunia yang seharusnya tak bisa dilihat semua orang, membuat sang raja
berupaya, bagaimana meyakinkan rakyatnya kalau dunia semenakjubkan itu memang
benar ada. Dan dimulailah dia meminta bantuan penyihir gelap. Seorang manusia
yang dirasuki oleh kekuatan jahat. Kekuatan yang menjadi musuh abadi para
manusia terbang. Para manusia mendapatkan kekuatan itu, melihat dunia manusia
terbang. Sang penguasa berhasil mengumpulkan pasukan, dan menyerbu dunia
manusia terbang. Mereka mampu mengalahkan manusia terbang karena dibantu oleh
kekuatan jahat. Kekuatan yang mampu melihat pergerakan, dan bagaimana mempu
memotong sayap-sayap manusia terbang. Manusia begitu sadis. Membunuh, membelah
tubuh mereka, bahkan generasi mereka yang masih kecil-kecil tak diberi
kesempatan untuk hidup. Para perempuan diburu. Manusia terbang bergerak lambat,
karena pengaruh kekuasaan gelap yang membantu manusia. Para manusia terbang
yang masih tersisa melarikan diri, membawa apa yang masih mereka bawa. Dengan
kekuatan sebegitu besar, manusia terbang terusir, dan manusia berhasil
menduduki tanah harapan yang begitu subur. Manusia mendistribusikan segala
bibit, tanah yang subur ke seluruh dunia. Dan manusia yang sudah di ambang
kepunahan, kembali hidup. Mereka bisa beranak-cucu kembali.
Kodrat
alam berjalan. kekuatan jahat memudar, karena tak mampu bertahan di tanah yang
seharusnya dimiliki manusia terbang. Beratus tahun, kekuatan jahat benar hilang
sama sekali. Setelah pertempuran besar itu, tak ada manusia yang menceritakan
tentang manusia terbang. Atas perintah penguasa, sebaiknya generasi penerus
tidak dibiarkan tahu, biarkan mereka hidup dalam kebahagiaannya, dalam
harapannya. Sang penguasa tidak tahu, setiap setahun sekali, telik sandi dari
manusia terbang bermunculan di pinggir telaga, mengawasi gerak-gerik manusia
bumi. Adakah kekuatan gelap masih menguasai mereka? Jika masih, telik sandi
dari manusia terbang akan kembali. Dan tahun berikutnya, ia akan datang, dan
kembali. Sampai ia yakin, bahwa kekuatan jahat telah hilang sama sekali dalam
diri manusia.
***
Para
manusia terbang berkumpul di udara. Membentuk sebuah lingkaran besar. Mereka
memerciki seluruh mata manusia di tanah itu dengan air gaib, sehingga mereka
bisa melihat wujud manusia terbang. Mereka bisa menggunakan bahasa manusia.
Mereka memberikan pengumuman. Mereka memberi kesempatan pada manusia yang sudah
kalah untuk pergi meninggalkan tanah itu. Ada seorang prajurit yang melesatkan
panahnya, namun tak lama panah itu menghujam balik jantungnya.
Manusia
berbondong-bondong meninggalkan tanah subur itu. Tanah antara batas manusia
terbang dan manusia bumi. Sang bocah dan sang kakek hanya melihat ke atas
dengan takjub. Di saat para manusia berbondong-bondong meninggalkan tanah itu,
ia dan sang kakek ingin tetap di sini. Tinggal bersama mahluk-mahluk indah
gemerlapan.
“Kamu,
Nak, mampu melihat manusia terbang secara alami. Mungkin kamu pantas tinggal di
sini,” suara kakek parau. Dan ia melihat cucunya. Mereka tak henti-hentinya
memandang ke arah cakrawala. Berkilauan. Bercahaya. Makhluk yang bukan pembalas
dendam. Kalau mereka seorang pendendam, pastilah seluruh manusia itu
dimusnahkan. Tak terkecuali. Seperti yang pernah dilakukan manusia pada kaum
mereka. Mereka memberikan kesempatan kepada manusia bumi untuk bergegas. Sang
kakek pun tahu, suatu saat sejarah akan berulang kembali. Manusia bumi, akan
kembali menyerang. Sudah sifat dasar manusia yang serakah, dan selalu ingin
menang sendiri. Suatu saat yang entah, mungkin mereka akan lebih biadab dalam
pembantaian nanti. Kekuatan gelap akan kembali pada diri manusia. []
Biodata
Penulis
Rumadi, lahir di Pati, Jawa Tengah pada tanggal
12 September 1990. Anak pertama dari dua bersaudara. Penulis beralamat di desa
Gajahkumpul, kecamatan Batangan kabupaten Pati Rt. 07 Rw. 02, kec. Batangan,
kab. Pati. Penulis sekarang berdomisili di Ciputat, belum menemukan tempat
tinggal tetap, beberapa bulan sekali, pindah kos. Pendidikan terakhir, SMKN 1
Rembang jurusan otomotif. Menyukai sastra sejak duduk di bangku SLTP. Tokoh
sastra yang dikaguminya, Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan. Kedua tokoh
itu, yang menginspirasi penulis, di dalam menulis. Lomba cerpen yang pernah
diikuti, baru satu kali, yang diadakan oleh festival sastra UNPAM, pada bulan
Desember lalu, dengan juri Ni Komang Ariani dan Yusri Fajar. Dua cerpennya yang
diikutkan lomba, masuk 20 besar, yaitu Bara Dendam (peringkat 6) dan Keluarga Itu (peringkat 13). Penulis bisa
dihubungi lewat email sangpendekarhati@gmail.com,
fb Roemadi Sang Pendekar Hati, twitter @pendekar_heart, ig @pendekar_hati, wa
085881456370, dan nomor ponsel 087861795536.
Cerpen - Batas yang Direbutkan
Reviewed by takanta
on
Februari 25, 2018
Rating: 5
Kerennnnnn
BalasHapusMakasih Kak
BalasHapus👍👍👍
BalasHapus