Jikalau air matamu
lebih berharga dari sebuah kehidupan, maka sungguh cinta bertakhta di atas
segala.
“Menghitung
mundur usiamu bersamaku, yang ringkas dan lekas. Sepagi ini kau pergi, sehijau
ini kau layu. Sudah tiga bulan April aku mengunjungimu, menengok ke belekang
hari-hari lalu, sepi kupetik sunyi untuk diri sendiri,” kata pemuda itu dalam
hati setelah menaburkan bunga mawar.
Dengan
langkah lemah, dengan suara bergetar pemuda yang berusia dua puluh empat bulan
Januari itu mendekati ibunya kemudian berbisik, “Ibu aku ingin sendiri di
tempat ini, aku ingin berkasih dengan kekasihku, merayakan ulang tahunnya yang
ke dua puluh tiga bulan April. Sudah lama tak bersua, sejak aku merantau sudah
tiga bulan April rindu menolak bertemu. Aku dengannya akan berkisah tentang
kasih, tentang merindu dendam yang sudah lama tertahankan dan terasinfkan,
dipisahkan oleh jarak yang merentang, juga oleh waktu yang terkutuk busuk.”
Ibunya
tak menjawab, hanya cucuran air mata yang tak dapat dijelaskan dengan
kata-kata. “Ibu tak usahlah menangis, hanya sepanjang usia matahari yang
berkembang saja. Sebelum matahari kuncup terbenam dan mewariskan kemilau
cahayanya pada rembulan, jemputlah aku di tempat ini,” ujarnya lagi.
Ibunya
hanya menganggukkan kepala. Tangannya sibuk menyeka air mata yang jatuh
melintasi pipinya. Kemudian suaminya yang berdiri di sampingnya menjemput
tangannya, membimbingnya pergi meninggalkan anaknya berkasih dengan sunyi,
menjemput mimpi-mimpinya yang tidur dalam kubur, menghidupkan kembali
pengharapan cita cintanya yang direnggut maut. Di hari esok yang liar dan yang
samar akankah segalanya lirih berperih dalam kabar.
Sepanjang
jalan pulang perempuan itu tidak berhenti menangis. Air matanya jatuh
mengiringi langkah kakinya. Bahkan, air matanya tidak pernah habis, barangkali
matanya adalah laut yang tak pernah surut. Yang lebih menyedihkan perempuan itu
menangisi anak kesayangannya itu setiap waktu. Sebab, anaknya adalah
satu-satunya pemberian dari Tuhan setelah menikah dengan suaminya. Karena
satu-satunya, perempuan itu sangat menyayanginya, bahkan cintanya melebihi
cinta kepada dirinya sendiri.
Air
mata yang menghujani hari-harinya bermula semenjak anaknya pulang dari Jakarta
dan mendapati tunangannya telah tiada. Selepas itu juga jiwanya terguncang,
persaannya tercabik-cabik, hari-harinya terkoyak-moyak, masa depannya telah
direnggut. Betapa tidak, tiga tahun anaknya membanting kartu nasibnya di Ibu
Kota guna mencari penghasilan untuk menikahi gadis pujaannya. Ternyata takdir
berkata lain, tunangannya meninggal lantaran gantung diri di kamarnya.
Sebab-musababnya
ialah orang tua si gadis yang tidak setuju anaknya menikah dengan seorang
penyair. Apa yang bisa didapatkan dalam menegakkan rumah tangga bila
bersuamikan seorang penyair yang kepandainnya hanya merangkai kata. Betapa
banyak di alam mayapada ini para penyair yang hidupnya kelaparan sebelum
akhirnya malaikat penyabut nyawa merenggut hari-harinya yang sengsara.
Begitulah kata orang tua si gadis.
Karena
satu alasan itulah orang tua si gadis hendak mengembalikan lamarannya. Namun,
sehari sebelum hal itu terjadi, si gadis memilih untuk mengakhir hidupnya
dengan cara gantung diri di dalam kamar tidurnya. Sebelum mengakhiri hidupnya,
si gadis meninggalkan puisi pendek, dalam puisi yang pendek itu tersimpan makna
cinta yang panjang dan kekal. Puisi pendek itu berbunyi: Jikalau air matamu lebih berharga dari sebuah kehidupan, maka sungguh
cinta bertakhta di atas segala.
Kematian
seorang gadis yang terkenal kecantikkannya yang gemilang itupun dengan cepat
menyebar dari satu mulut ke mulut yang lain hingga akhirnya sampai juga ke
telinga kekasihnya, pujangganya, calon suaminya yang sedang berada di Kota
Jakarta.
Awalnya,
pemuda itu tidak percaya dengan berita kematian calon istrinya. Setelah pulang
dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa calon istrinya benar-benar
telah tiada, pemuda itu langsung jatuh tersungkur tepat di depan nisannya. Hari
berganti bulan, bulan berganti tahun, si pemuda yang juga sang penyair itu jatuh
sakit. Sang penyair tergolek berbulan-bulan lamanya di atas ranjang
pengantinnya. Entah sudah yang ke berapa orang pintar didatangkan guna
menyembuhkan penyakitnya. Namun, jawabannya seragam dan sewarna.
Katanya,
“Penyakit anak muda itu tidak mudah untuk disembuhkan. Bila luka di badan mudah
untuk dicarikan obatnya, tapi bila yang terluka adalah jiwanya, maka hanya
Tuhan yang tahu obat mujarabnya.”
***
Setiap
bulan April pemuda itu mendatangi makam kekasihnya, calon istrinya, bunga
jiwanya, puisi hidupnya dengan langkah tertatih. Di bulan Aprilah kekasih
jiwanya lahir, di bulan April juga cinta mereka dipersatukan, dan di bulan
April pula keduanya berikrar akan melangsungkan hari pernikahannya. Menurutnya,
bulan April adalah bulan bunga, bulan cinta, bulan di mana dunia diharumkan
oleh wangi-wangi musim bahagia. Setidaknya hal itu berlaku bagi keduanya yang
sudah dimabukkan oleh anggur-anggur cinta.
Sekarang
tepat bulan April, seperti dua bulan April sebelumya, sang penyair muda
berziarah ke makam bunga jiwanya. Entah, apa yang dilakukan di makam itu. Tapi,
menurut beberapa orang yang kebetulan melihatnya, yang dilakukan sang penyair
adalah menulis puisi dan membacakannya tepat di nisannya, setelah itu sang
penyair menangis meraung-raung dan mencakar-cakar makamnya. Namun, ada pula
yang mengatakan, bahwa yang dilakukan sang penyair ialah berbincang dengan
dirinya sendiri, seperti sedang berkisah tentang kasih dengan seseorang
layaknya anak muda yang berpacaran di taman. Lain mata yang melihat maka lain
pula kesaksiannya, kira-kira begitu menurut saksi mata yang melihatnya.
Keberadaan
sang penyair di makam pada setiap bulan April pun menjadi legenda. Tidak
sedikit orang-orang yang mengaitkannya dengan kisah kasih Qais dan Laila. Ada
yang menaruh simpati dan kasihan, ada pula yang mulutnya dipenuhi serapah
kata-kata busuk dan purbasangka. Semua itu hanya diterima ibu sang penyair
dengan cucuran air mata. Anak semata wayangnya, pemberian Tuhan satu-satunya
telah direnggut kebahagiaannya dan dirampas senyumnya. Di hari esok yang liar
dan yang samar akankah segalanya lirih berperih dalam kabar?.
***
Lampu
di jalanan menyala sebagai tanda, seperti tak punya kata untuk mengecupkan
sampai jumpa pada senja. Seperti bulan April sebelumya, saat petang menjelang
orang tua si penyair akan datang ke makam untuk menjemput anaknya pulang, juga
untuk mengantarkan bunga mawar yang masih wangi dan segar.
“Nak,
hari sudah petang mari pulang nanti gerimis ini membuatmu sakit,” kata ibunya.
“Sebelum
sakit itu datang ke tubuhku, aku sudah terlebih dahulu merasakan sakitnya. Tak
ada yang melebihi rasa sakit dari sebuah luka bagi seorang anak muda yang
ditanggal pergi bunga jiwanya untuk selamanya, bahkan kematian itu sekalipun,”
jawabnya.
“Kau
masih muda Nak, tak adakah cinta yang lain daripada mencintai perempuan yang
sudah tak ada?”
“Sesuatu
yang terpaut dalam jiwa tak akan terkikis oleh pergantian siang dan pertukaran
malam. Cintaku padanya seperti bunga yang mencintai musim semi. Berdosalah
seseorang yang memadamkan nyala cinta yang dihidupkan Tuhan di dalam hatinya,
maka janganlah dipadamkan matahari cinta yang terbit dari hati seorang
pujangga. Aku sangat mencintai Bu.”
Lagi-lagi
ibunya hanya menangis mendengar jawaban haru-biru anaknya yang malang. Jawaban
itu sekan-akan tidak dikecupkan dari bibirnya, juga tidak diperintahkan oleh
akalnya, melainkan menuruti kehendek jiwanya yang terluka.
“Bu,”
ujarnya dengan suara bergetar. “Esok bila aku mati, kuburkanlah aku di sisi
makam bunga jiwaku. Dan setiap bulan April tiba, taburilah makamku dengan makam
bunga jiwaku dengan segenap doa dan bunga mawar merah. Sebagaimana permintaan
bunga jiwaku yang berbisik di telingaku saat rembulan memberikan mimpinya.
Kelak kisah kasihku dengannya akan menjadi cerita bagi mereka yang hatinya
dipenuhi akan cinta, yang hari-harinya diliputi bahagia. Mereka yang melintasi
makam ini akan berkata, di sinilah sepasang kekasih bersemayam, berpeluk mesra
di taman mawar.”
Anak
dan ibu itu berjalan beriringan dengan langkah pelan menuju jalan pulang
menyeberangi gerimis yang lebat dan angin yang tajam bagai mata pedang yang
berkilau silau sebelum mengiris kulit dan menusuknya hingga ke putihnya tulang.
***
Tiga
bulan April telah berlalu dengan cepat, secepat jalannya jarum jam dari menit
ke menit yang lain. Wasiat yang pernah dikecupkan sang penyair pada ibunya pun
ditunaikannya dengan ikhlas beriring segenap doa dan bunga mawar. Kepergian
sang penyair pun menjadi buah bibir. Tidak sedikit anak muda yang melintasi
makam itu akan meletakkan bunga mawar sebagai bentuk penghormatan. Kini, makam
itu dinamai taman mawar, sebab banyaknya bunga mawar yang ditanami di sekitar
makam. Bagi mereka yang datang untuk memberikan sekuntum doa atau hanya untuk
menabur bunga mawar, mereka akan mendapati sebuah tulisan atau lebih tepatnya
seuntai puisi yang menggantung di antara bunga mawar, puisi itu berbunyi: Jikalau air matamu lebih berharga dari
sebuah kehidupan, maka sungguh cinta bertakhta di atas segala. Puisi itulah
yang pernah ditulis sang penyair untuk kekasihnya sebelum pergi ke Kota Jakarta
untuk membanting kartu nasibnya demi menikahi bunga jiwanya itu.
Biodata
Penulis
Arian
Pangestu, menulis puisi, esai, dan cerpen. Puisinya tergabung dalam antologi Monolog Bisu (2016). Saat ini aktif sebagai mahasiswa sastra tingkat akhir
di Universitas Pamulang.
Cerpen - Gulistan
Reviewed by takanta
on
Februari 18, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar