Kritik Terhadap Demokrasi
Bila
kita mengingat riwayat bagaimana Julius Caesar jatuh ditikam mati Brutus,
Saddam Hussein jatuh karna serbuan meliter AS, Shah Iran jatuh oleh
revolusi kaum Mullah,
hingga Soeharto jatuh akibat reformasi, maka kita tersadar akan satu makna:
kekuasaan yang membengkak cenderung lupa kepada dirinya sendiri.
Kekuasaan
yang berkembangbiak, yang tumbuh menjadi gurita, menjadi kekuatan yang sangat
dominan, pada saat bersamaan sebenarnya juga sebuah kekuasaan lupa. Ia tidak
hanya sebuah
kekuasaan yang memaksa pihak lain atau publik lupa pada kerakusan kuasa yang
dimilikinya. Tetapi, lebih utama ia lupa pada hal-hal ideal yang dahulu
berhasil mendapuknya ke singgasana; ia lupa untuk apa dan demi siapa sebenarnya
ia berkuasa; dan lebih utama, ia lupa apa kekuasaan itu pada akhirnya.
Gejala
psikologis kekuasaan atau semacam sindrom ini sesungguhnya bisa kita temui di
banyak tempat, di banyak waktu dalam sejarah peradaban manusia. Begitupun kita
dapat menemukan di negeri sendiri. Bahkan, pada beberapa dekade kiwari ini. Di
berbagai rezim pemerintahan yang saling berganti, pasca kemerdekaan
diproklamasikan.
Bagaimana
para pejabat publik yang pernah atau sedang memegang kekuasaan di republik ini, lupa
pada makna kekuasaan yang dipegangnya, bahwa kekuasaan itu tak lain adalah
sebuah amanah, sebuah titipan yang dipercayakan kepadanya untuk masa yang
temporer. Apapun tanggung jawab atau hak yang ada pada titipan itu hanya belaku
sepanjang ia masih memegang amanah itu. Maka untuk itu, sebenarnya mereka
pemegang amanah kekuasaan itu telah di sumpah.
Akan
tetapi, kita bersama menjadi saksi, bagaimana sumpah itu dikhianati, begitupun
kekuasaan berubah menjadi kekuatan untuk lupa. Entah dalam kondisi apa pun,
dengan cara apa pun, mereka berusaha menggenggam erat kekuasaan itu,
mempertahankannya betapa pun amanah itu sudah tidak didapatnya
lagi, titipan sudah ditagih oleh moralitas pemilik aslinya. Penguasa telah
melihat kekuasaan bukan lagi sebagai sebuah kepercayaan, melainkan sebagai
kekayaan, sebagai harta, (miliknya) yang harus dibela mati-matian.
Pada
saat itu, sebenarnya adab dari kekuasaan, budaya dalam politik, telah pingsan,
bahkan binasa. Ketika seseorang lupa bahwa ia telah kehilangan hak dan
kepercayaannya pada kekuasaan, tetapi ia bergeming tanpa sungkan, rasa malu,
atau kepatutan, orang itu sudah tak lagi memiliki atau mewakili etos dan etik
yang menjadi dasar dari sebuah budaya atau adab politik. Ia juga melanggar,
nilai utama yang menggerakkan tetuah bangsa (founding fathers) untuk menegakkan
dan memperjuangkan negeri ini.
Pada
episode kiwari kekuasaan di negeri ini, saat kasus korupsi menjerat banyak
petinggi, pejabat, atau abdi negara di berbagai institusi terhormat (KPK,
Kepolisian, dan Kejaksaan), kita tidak hanya merasa prihatin pada segala lupa
yang mereka pertontonkan. Kita pun sedih ketika sebagai pemilik kepentingan
sesungguhnya, kita di abaikan dengan berbagai retorika dengan bermacam
permainan yang melukai kemuliaan hukum, etika, dan etos yang seharusnya menjaga
martabat dan harga diri kita sebagai sebuah bangsa.
Mungkin
etos dan etika politik hukum itu masih terbaca dalam sebuah rekomendasi yang ditelurkan
oleh tim 8 yang dibentuk presiden sebagai penguasa tertinggi. Namun, retorika
pra-apologetis atau kilah awal yang diwacanakan presiden, lewat kalimat
"jangan paksa saya," seperti memberi indikasi akan sebuah kebijakan
lanjutan yang alpa atau tidak mengikuti rekomendasi yang dimintanya sendiri
itu.
Kiranya
perlu dipertimbangkan bahwa amanah yang telah diberikan untuk sebuah perangkat
hukum, berupa undang-undang dalam berbagai tingkatannya, apalagi sekadar upaya
politik yang tampaknya normal untuk mempertahankan kekuasaan itu. Bila tentu
saja, upaya politik itu justru mencederai moralitas utama, nilai kultural yang
seharusnya ada dan dibangun oleh sebuah sistem hukum.
Lebih
dari itu, apalah arti kekuasaan, pemerintahan sebesar apapun, jika ia hanya
menjadi sirkulasi kepentingan dari para elite-nya, ketimbang kepentingan dan
nurani publik yang terus terluka dan dikhianati. Pemerintahan seperti itu, sekalipun
ia memaksa mendesakkan seluruh sel kekuasaannya dengan cara apa pun ke berbagai
lembaga inti yang mewakili publik, entah itu badan perwakilan, institusi
negara, hingga berbagai lembaga swasta/bisnis atau swadaya masyarakat. Sehingga
suara publik terbungkam, ia sebenarnya tengah menumbuhkan bom waktu dengan daya
ledak yang kian tinggi.
Dari
segala informasi, baik yang telah terbuka atau masih tersimpan rahasia, di
seputar perselingkuhan para petinggi beberapa lembaga penegak hukum plus para
bulus yang mampu mengendalikan kasus, kita tahu bahwa persoalan kini tidak lagi
berada pada kasus korupsi yang diinisiasi oleh Anggoro Widjojo dan T. Masarro.
Persoalan telah tenggelam lebih dalam pada rusak dan tidak berjalannya
mekanisme hukum formal, pada sistem pemaknaan dari beberapa simbol (budaya)
hukum di negeri kita.
Persoalan
di dasar genangan air keruh ditata kenegaraan ini, apakah tidak menjadi
refleksi dari sektor-sektor kenegaraan lain, seperti ekonomi, politik, militer,
dan sebagainya? Tidakkah ia menjadi keprihatinan yang menggiriskan para
pemangku kepentingan utama kekuasaan, pemerintah, sebagai obligator utama
konstitusi? Bila hal ini tidak terjadi, ini tidak menjadi inspirasi dan isi
dari semua kebijakan pemerintah berikutnya. Kita haruslah mafhum, negara ini
sesungguhnya tidak tengah bergerak kedepan. Ia tengah berinvolusi sambil
berlari mundur, menemui sumbu bom waktunya sendiri.
Pemerintah
yang lupa, akan melihat betapa sumbu itu tengah menyalah dan merambat, tanpa
ada yang mampu mencegahnya. Kecuali, pemerintahan itu memotong dengan
tegas jalur sumbu itu, memotong arus
perusakan kultur dari kekuasaan itu sendiri.
Mereka
yang tidak sadar bahwasanya kekuasaan bukan untuk kepentingan dirinya-sendiri,
melaikan untuk kepetingan orang banyak.
Biodata
Penulis
Indra
Nasution aktivis Gerakan Situbondo Membaca dan Gerakan Pemuda Sosial.
Kritik Terhadap Demokrasi
Reviewed by Redaksi
on
Februari 19, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar