MAHA DEWI I
Pagi buta, paduka Raja Santanu diiringi beberapa pengawal
pribadinya memacu kuda, dari Hastinapura menuju Sungai Gangga, sungai yang elok
dan cantik rupa, sungai tempat para resi melakukan olah tapabarata demi
mensucikan diri dan mendekatkan rohani pada Sang Dewata pencipta jagat semesta,
mayapada.
Ketika matahari telah naik dua tombak ke langit timur,
Raja Santanu dan para pengawalnya, sampailah ke tempat yang dituju. Suasana
tampak lengang, kabut tipis masih mengepul dari permukaan Gangga, dan hari itu
tak terlihat seorang resi pun yang duduk bertapa di sekitar sungai suci itu.
Raja Santanu memejamkan matanya, gemericik lembut suara gelontoran Sungai
Gangga mengiang merdu dalam kendang telinganya, kenyamanan menelisik masuk
kedalam rohaninya. Raja Santanu mendapatkan kesejukkan hati yang tak
terperikan, setelah sekian lama bergulat dengan persoalan-persoalan kenegaraan,
dari mulai memecahkan masalah moral dan kesejahteraan rakyatnya, hingga masalah
perang dan pemberontakkan yang merong-rong kekuasaannya, semua itu; kerap
membuat dirinya limbung diterpa nestapa dan gundah-gulana tiada taranya. Namun,
keheningan Sungai Gangga membuat dirinya terhanyut dalam kearifan,
kebijaksanaan, dan ketenangan jiwa penuh kehakikian.
Setelah sekian lama memejamkan mata, perlahan kelopak
mata Raja Santanu terbuka, dan raut wajahnya sumringah seakan seleksa
kebahagiaan telah dianugrahkankan Dewata pada dirinya.
“Aku akan menyegarkan diri, membasuh sekujur tubuh dengan
air suci Sungai Gangga,” kata Raja Santanu dan turun dari kuda putihnya.
Serentak para pengawal itu turun pula dari kuda pacunya,
dan membukakan pakaian paduka Maha Raja. Dan kini Raja Santanu bertelanjang
dada, memperlihatkan kejantanan tubuhnya dimana otot-ototnya berserat karena
olah dan disiplin kanuragan.
Tampak sang raja mencelupkan ibujarinya kedalam jernihnya
air Sungai Gangga, dengan penuh ketenangan dan perasaan, perlahan namun pasti,
seluruh tubuh sang raja tercelup ke sungai itu. Untuk beberapa saat, Raja
Santanu membenamkan seluruh tubuhnya kedalam air.
Setelah setengah tubuhnya kembali muncul ke permukaan
air, tampak Raja Santanu menarik napas panjang, lalu membuang napasnya kembali
secara perlahan, berbarengan dengan gerakan kedua tangannya dari samping ke
atas dan ketika tepat di atas ubun-ubunnya, telapak tangannya menyatu, dengan
seluruh jari-jemari mengarah ke langit, demikian cara Raja Santanu olah yoga,
berusaha menyatukan dirinya dengan semesta alam mayapada, ciptaan Dewata.
Mulanya Raja Santanu tak bergeming dari yoganya. Namun,
keharuman tiada tara semakin lama semakin nyata menerpa indra penciumannya. Ia
pun mengakhiri ritualnya.
“Para pengawal, apakah kalian mencium wangi sumerbak yang
muncul dari sekitar tempat ini?” tanya Raja Santanu dan kepalanya celingukan
mencari-cari.
“Ia Padukuka Raja. Kami pun menciumnya,” jawab para
pengawal serempak.
Raja Santanu pun mengakhiri meditasinya, para pengawal
menyambut dan memakaikan kembali baju berteretes berlian itu pada paduka
rajanya. “Ikuti aku,” titah sang raja, sambil meloncat ke atas punggung kudanya
dengan kecepatan kilat, lalu menarik tali kendali, hingga kuda itu berjingkat
dan meringkih, selanjunya lari dengan gesitnya, diikuti para pengawal kerajaan.
Perjalanan dari ujung barat Sungai Gangga, sampailah ke
ujung timurnya. Dan Raja Santanu menghentikan laju kudanya seketika, membuat
para pengawal kebingungan, hingga kuda pengawal yang berlari di belakang nyaris
saja menubruk kuda yang berlari di depannya, karena lajunya dihentikan tanpa
jeda, secara tiba-tiba.
Bukan main terpesonanya sang raja, melihat seorang
perempuan amat cantiknya sedang mandi di sana, rambutnya tergerai panjang hitam
pekat, kulitnya putih bersinar, dan tubuhnya tinggi semampai meliuk bagai
kelokan Sungai Gangga yang meruncing, sungguh kecantikannya melampaui
kecantikan manusia biasa, dan Raja Santanu tak pernah melihat perempuan
secantik itu sebelumnya—perempuan yang dimaksud yakni, perempuan yang sedang
memanjakan kemolekan tubuhnya dengan gelontoran jernihnya air Gangga tersebut.
“Wahai putri jelita siapakah engkau?” tanya Raja Santanu
dalam pukau.
“Panggilah aku, Dewi Gangga,” jawabnya sambil
mengkerlingkan matanya pada pria terhormat yang berdiri mematung di
belakanggnya. Sungguh, lirikan mata Dewi Gangga membuat jantung dan hati Raja
Santanu runtuh seketika.
“Wahai, Dewi Gangga, bersediakah engkau menjadi
permaesuriku?” kara Raja Santanu dengan nada suara berketar karena terkesima.
“Mau,” jawab Dewi Gangga, sebuah jawaban yang amat
diharapkan dan menggembirakan hati. Tentunya.
“Namun, ada saratnya,” kata Dewi Gangga lagi.
“Apa saratnya wahai Dewi?” Raja Santanu memburu tak
sabar.
“Sanggupkah engkau bersumpah janji padaku? Bilamana kita
telah menikah; pantang bagi engkau mempertanyakan asal-usulku, pantang bagi
engkau membantah perkataanku, pantang bagi engkau mempertanyakan
perilakuku—baik perilaku yang terpuji maupun perilaku yang jahat, dan pantang bagi engkau menyakiti perasaanku.
Itulah persaratannya, bila engkau sanggup, pinanglah aku, jadikanlah aku
permaesurimu,” ujar Dewi Gangga dan sorot matanya yang indah terpancar pada
pasang mata Raja Santanu yang terpukau.
Karena tergila-gila, dan hatinya terlanjur jatuh cinta
amat dalamnya, Raja Santanu pun menyanggupi persaratan itu. Dan hari itu juga,
Raja Santanu memboyong Dewi Gangga ke istana Hastinapura, langung
menyelenggarakan pernikahan yang mewah dan megah, dihadiri oleh kepala negara
dari separuh dunia, baik kepala negara sahabat, maupun kepala negara negeri
taklukan.
***
Sungguh Raja Santanu menunaikan segala janjinya, ia tak
pernah melukai hati permaesurinya, ia tak pernah mempertanyakan asal-usul
keluarganya, ia tak pernah membantah segala ucapan dan tindakannya—baik yang
terpuji maupun yang jahat. Namun, Raja Santanu yang lembut hatinya, merasa
heran dan marah, sebab istrinya, Dewi Gangga selalu membunuh putra-putranya
yang terlahir dari rahimnya sendiri dengan cara mencekik dan menghanyutkan
mereka ke Sungai Gangga. Betapa sadisnya tindakan itu, dan diluar batas
manusiawi.
Pada akhirnya, rasa heran dan amarah Raja Santanu memuncak
juga, ketika anak ke-delapannya terlahir, Raja Santanu tak lagi mampu menahan
diri.
“Wahai, permaesuriku, Dewi Gangga. Siapakah engkau
sebenarnya? Dan, kenapa engkau membunuh anak-anakmu sendiri? Padahal mereka tak
lain adalah darah dagingmu sendiri.”
“Wahai suamaiku, Paduka Raja Yang Mulya. Engkau telah
melanggar sumpah. Dan itu tandanya kebersamaan kita berakhir sampai di sini.
Namun, baiklah anak kedelapan kita ini, tak akan kubunuh, dan pada waktunya
nanti, anak ini akan aku kembalikan padamu.”
Setelah berkata demikian, sosok Dewi Gangga dan anak
kedelapannya menghilang dari hadapan Raja Santanu. Raja Santanu pun
terperangah, ia menggosok-gosok matanya sendiri dengan punggung telunjuknya,
sebab serasa tak percaya dengan segala yang disaksikannya barusan. Namun,
semuanya nyata adanya.
***
Semenjak permaesurinya dan putra kedelapannya menghilang
secara ajaib, Raja Santanu memerintah kerajaannya dengan semangat asketisme—ia
menghindari segala macam kemegahan duniawi, dan atas kebijaksanaannya itu,
seluruh rakyat Hastinapura hidup dalam keadaan makmur dan sejahtera cukup sandang, pangan, dan
papan, hingga tak ada lagi cerita; rakyat Hastinapura mati kelaparan, atau
rakyat Hastinapura maling lantaran tak makan dan tak cukup pakaian.
Untuk mengenang dan mengurangi rasa rindunya pada
kedelapan putranya dan permaesurinya, Raja Santanu kerap mengunjungi Sungai
Gangga, baik bersama para pengawal maupun sendiri. Pula senja itu. Dan kali
ini, Raja Santanu mengunjungi Sungai Gangga seorang diri.
Saat Raja Santanu melajukan kudanya secara perlahan,
menyisir bibir Sungai Gangga yang elok eksotik. Tampak olehnya seorang anak
laki-laki bertubuh penuh limpahan cahaya sedang bermain panah, ia
berulang-ulang kali melepaskan anak panahnya ke seberang sungai, padahal di
sebrang, tak ada obyek yang dibidiknya. Raja Santanu menghentikan langkah
kudanya, dan matanya terpancang takjub pada anak kecil yang sedang memegang
gendewa panah dengan gagahnya.
Raja Santanu pun turun dari punggung kudanya. Belum pula
ketakjubannya sirna, tiba-tiba Dewi Gangga menjelma tepat di hadapannya, dan ia
berkata bahwa anak lelaki yang sedang memainkan panah itu, tak lain merupakan
anak Raja Santanu dengan dirinya—yakni anak kedelapan yang dijanjikan Dewi
Gangga pada suatu hari nanti akan dikembalikan lagi ke pangkuan Raja Santanu.
“Ambilah anak itu, ia putramu, kuberi nama; Dewabrata[1],”
kata Dewi Gangga, setelah itu ia kembali menghilang.
###
MAHA DEWI II
Awan tipis berarak di langit Hastinapura, cuaca begitu
cerahnya, angin sepoi berembus menerpa dedaunan menimbulkan suara lirih
gemerisik, tampak para warga Hastinapura tenang menjalani kesehariannya—yakni
berladang, berdagang, dan para pedati sambil menembang, riang gembira menarik
kereta kuda dan kereta sapinya membawa barang-barang komoditi tuk dijual di
pusat kota, tiada tersirat dari raut wajah mereka gundah-gulana, pula tiada
terucap dari celotehan mereka berupa keluh-kesah, semua rakyat hidup dalam
kebahagiaan.
Begitu pula dengan Santanu, Raja Hastinapura,
kegembiraannya meluap-luap setelah memboyong Dewabrata putranya terkasih dari
Sungai Gangga ke istana. Namun, Raja Santanu kembali tercenung, dirinya
teringat kembali pada permaesurinya, Dewi Gangga[2]
yang tak lain merupakan jelmaan dari Batari Gangga, seorang Batari yang dipuja
oleh para dewa, dewi, dan manusia, dan ia kini telah kembali ke khayangan. Raja
Santanu pun menghela napas panjang, dan matanya kembali diarahkan pada
Dewabrata yang sedang asyik berlatih memainkan pedang di pelataran istana.
***
Pada suatu sore yang jelita. Raja Santanu keluar istana,
kali ini dirinya tak memacu kuda sendiri. Namun, menaiki sebuah kereta kencana
yang ditarik dua ekor kuda putih yang dikendalikan seorang sais. Adapun yang dituju;
yakni Sungai Yamuna, sebuah sungai yang terkenal karena ikannya yang
melimpah-ruah, tempat para nelayan tradisional Yamuna mengais rezeki.
Senja menjelang malam. Kereta kuda Raja Santanu sampai
ketempat yang dituju. Suasana kian hening, sunyi, dan sepi, sebab para
penangkap ikan Yamuna telah kembali kegubuknya masing-masing.
Raja Santanu pun memerintahkan pada saisnya, tuk
berkeliling sejenak di bibir Sungai Yamuna, kerata kencana pun perlahan
bergerak menyisir area bibir sungai yang elok dan asri itu. Namun, indra
penciuman Raja Santanu menangkap harum sumerbak, begitu pula dengan saisnya, ia
pun mencium harum yang sama. Dicarilah sumber berasalnya harum sumerbak
tersebut.
Bukan main terpukaunya Raja Santanu, tampak olehnya
seorang gadis sedang mengambil air di tepi Yamuna—adapun kecantikan gadis itu
setara dengan para dewi, dan harum yang sumerbak tersebut terpancar dari tubuh
jelita sang gadis.
“Wahai gadis Yamuna, siapakah nama engkau?” tanya Raja
Santanu, dan turun dari kereta kudanya.
“Hamba, Setyawati, Tuanku,” jawab gadis Yamuna itu,
suaranya seelok tubuhnya, dan desah napasnya sehalus dan selembut kulitnya.
Ketika Raja Santanu melihat kecantikan gadis itu,
kerongkongannya tiba-tiba terasa kerontang, dan ia menelan liurnya sendiri
hingga berulangkali, dan tampaklah jakun Raja Santanu naik turun. Semenjak
kepergian permaesurinya, Dewi Gangga, sesungguhnya Raja Santanu menjauhi
kehidupan duniawi, termasuk menolak hasrat dan nafsu terhadap perempuan. Namun,
setelah melihat kemolekan Setyawati hasratnya terhadap perempuan meluap-luap
kembali, bagai sebuah tanggul yang bobol, Raja Santanu pun tak dapat menahan
deras berahinya.
“Setyawati, maukah engkau menjadi permaesuriku?” tanya
Raja Santanu dalam pukau.
Mendengar tanya Raja Santanu yang rupawan dan amat
terkenal karena kegagahan, keperkasaan, serta keberaniannya, Setyawati
merundukkan wajahnya, dalam remang senja, kentaralah dua bilah pipinya memerah,
dan justru karena itu, kecantikannya malah bertambah. Dan katanya; “paduka
Raja, ketahuliah, bahwa hamba hanya seorang anak kepala penagkap ikan di sini,
hamba bersedia menjadi permaesurimu. Namun, paduka Raja, harus meminta hamba
terlebih dahulu pada Ayahanda di gubuk kediaman hamba.”
Karena kepalang jatuh cinta, Raja Santanu pun tak lagi
peduli dengan status sosial dan ekonomi gedis itu, dalam benaknya, ia akan
segera menemui ayahanda gadis itu, dan memboyong gadis itu ke istana—tuk
dijadikan permaesurinya. Raja Santanu pun memerintahkan saisnya, tuk membuntuti
gadis Yamuna yang berjalan melenggok menuju kediamannya.
Sesampainya di kediaman Setyawati, Raja Santanu pun
langsung mengutarakan maksud dan tujuannya, katanya; “ayahanda Setyawati. Aku
tulus mencintai putri Ayahanda, aku datang kemari, tak lain untuk meminang
putri Ayahanda.” Dan kata ayahanda Setyawati; “yang mulya, Raja. Dengan senang
hati, hamba menerima pinangan baginda Raja. Namun, satu sarat aku ajukan; baginda
Raja harus bersumpah janji bila putri hamba melahirkan seorang anak laki-laki,
jadikanlah ia putra mahkota pewaris tahta kerajaan. Bila baginda Raja sanggup,
silakan bawa putri hamba.”
Sungguh persaratan yang diajukan ayahanda Setyawati
diluar dugaan Raja Santanu. Kendati dirinya terlanjur jatuh cinta pada
Setyawati. Namun, nuraninya tak lantas mati. Menjadikan anak Setyawati sebagai
putra mahkota, itu artinya menyisihkan Dewabrata sebagai calon raja. Raja
Santanu pun tak menyanggupi persaratan tersebut, kendati kepedihan menelisik
masuk menurih hatinya.
***
Akhir-akhir ini, di mata Dewabrata; ayahandanya selalu
nampak layu, air mukanya keruh tak lagi jernih, binar matanya redup tak lagi
bersinar, dan pituturnya gemetar tak lagi lantang. Dan semua itu terjadi, sebab
Raja Santanu memendam cintanya yang tak sampai pada Setyawati. Namun, Dewabrata
tak mengetahuinya.
“Ayahanda, apa yang menyebabkan Ayahanda gundah-gulana
disetiap hari, petang, dan malam?” tanya Dewabrata pada suatu malam yang sunyi.
Dengan gagap Raja Santanu menjawab tanya putranya, dan
katanya; “Putraku. Ayahanda memikirkan kelangsungan pewaris tahta kerajaan
Hastinapura, Ayahanda hanya memiliki seorang putra, yaitu dirimu. Benar kata
salah seorang resi itu, memiliki hanya satu anak, sama artinya tidak memiliki
anak. Dan, sebab itulah Ayahanda resah dan gelisah—memilikimu senilai memiliki
puluhan anak, karena masa depan kerajaan dan masa depan segenap rakyat
Hastinapura terpikul pada pundakmu seorang diri.”
Raja Santanu berusaha menutup-nutupi penyebab
kegundahannya. Namun, Dewabrata mengerti dengan sendirinya, ia pun bertanya
pada sais yang mengantar ayahandanya ketika mengunjungi Yamuna, dari sais
itulah Dewabrata mengetahui cerita yang sebenarnya.
***
Tanpa sepengetahuan ayahandanya, siang itu, Dewabrata
memecut kudanya seorang diri, menuju Yamuna dalam rangka meminang Setyawati
teruntuk ayahandanya. Sesampainya ketempat yang di tuju, Dewabrata langsung
menemui ayahanda Setyawati, ujarnya; “Maksud aku menemui Ayahanda, tak lain
untuk membawa Setyawati ke istana, ia akan menjadi permasuri ayahandaku di
sana.”
Jawab ayahanda Setyawati; “tuanku, Putra Mahkota. Hamba
tetap pada pendirian hamba; silakan tuanku, membawa putri terkasihku, dengan
sarat; bila putriku dikaruniai seorang putra, jadikanlah ia sebagai putra
mahkota pewaris tahta.”
Kata Dewabrata; “Ayahanda, aku bersumpah, kendati aku
putra mahkota, aku tak akan pernah menjadi raja. Dan janjiku; tahta kerajaan
Hastinapura akan aku serahkan pada putra Setyawati kelak.”
Kata ayahanda Setyawati; “hamba percaya, dengan sumpah
janji tuanku. Namun, ada keraguan dalam hati dan pikiran hamba, bila tuanku
kelak menikah, dan anak keturunan tuanku menuntut hak atas tahta kerajaan
Hastinapura, tentunya anak keturunan putriku, Setyawati tak akan mampu melawan,
pemberontakan anak-anak keturunan tuanku yang pastinya gagah, berani, sakti dan
cerdik pandai mewarisi sifat-sifat tuanku.”
Untuk meyakinkan hati ayahanda Setyawati, Dewabrata mulai
menuturkan sumpah; bahwa dirinya tak akan menikah seumur hidupnya, dan ia akan
mengabdikan dirinya demi kesucian. Dan setelah sumpah itu dilapalkan, para dewa
dan dewi turun dari langit menaburkan bebungaan pada kepala Dewabrata, dan
semenjak itu, Dewabrata dikenal dengan sebutan ‘Bisma’.Hari itu juga, Bisma
membawa Setyawati ke Hastinapura tuk disandingkan dengan ayahandanya, Raja
Santanu. Dan, kelak dari rahim Setyawati terlahir Wicitrawirya yang memiliki
putra Destarara[3]
dan Pandu[4].
###
MAHA DEWI III
Tengah hari itu, langit Hastinapura diliputi mendung,
mewakili mendungnya hati seluruh rakyatnya, yang bersedih hati, berkabung
karena raja tercinta mereka Prabu Santanu wafat sebab usia senja. Tampak api
unggun besar di halaman istana menyala dan menimbulkan asap hitam membumbung
tinggi mewakili suasana duka lara keluarga kerajaan. Setyawati yang tak lain
Ibusuri atau istrinya Prabu Santanu menangis tiada henti, melepas jenazah
suaminya yang perlahan dimasukan ke kobaran api unggun itu, dan setelah menjadi
abu, abunya dimasukkan kedalam cawan emas, tuk dipuja demi mengenang jasa dan
kebaikan-kebaikannya selama dirinya hidup di dunia fana. Setelah upacara
pembakaran jenazah, mendung di langit menitikan hujan merintik mewakili air
mata para rakyat dan keluarga raja Hastinapura yang menangis.
Setelah empat puluh hari berlalu—dari wafatnya Prabu
Santanu. Pada sebuah malam di mana bintang-gemintang terpancar di langit,
diperindah bulan berbentuk sabit sumringah layaknya bibir bidadari yang sedang
tersenyum. Tampak Bisma, Chitrangada, Wicitrawirya, dan Ibusuri Setyawati duduk
melingkar di dalam istana—mereka melakukan pembicaraan tertutup membahas
pelantikan, penyematan raja Hastinapura yang baru, pengganti mendiang ayahanda
mereka, Prabu Santanu.
Kata Bisma[5];
“sebagaimana sumpahku dihadapan ayahanda Ibusuri Setyawati, kendati diriku,
sesungguhnya putra mahkota pewaris tahta kerajaan. Namun, aku akan menyerahkan
tampuk kekuasaan pada putra keturunan Ibusuri Setyawati, dan engkau adikku,
Chitrangada[6]
bersiaplah tuk dilantik menjadi raja Hastinapura, pengganti ayahanda, Prabu
Santanu.”
Setelah Bisma berbica demikian, para dewa dan dewi di
khayangan turun ke bumi menaburkan bebungaan ke atas kepala Bisma, sebagai
penanda bahwa putra Dewi Gangga telah menunaikan sumpahnya.
Keesokan harinya, acara pelantikan pun digelar dengan
megah dan hidmat, dan sejak hari itu, Chitrangada resmi menjadi raja
Hastinapura.
Beberapa bulan berselang—dari penobatan Chitrangada
sebagai raja Hastinapura, timbul suatu huru-hara yang dilakukan oleh para
gendarawa, makhluk mengerikan itu memporak porandakan Hastinapura, hingga
menewaskan Raja Chitrangada. Namun, huru-hara tersebut dapat dipadamkan oleh
kesatria pilihtanding, Bisma. Adapun pemberontakan yang dilakukan para
gandarawa tersebut dilatar-belakangi oleh ketidak setujuan mereka terhadap
pelantikan Chitrangada sebagai raja, sebab menurut mereka; Bismalah yang lebih
berhak atas tampuk kekuasaan tahta Hastinapura.
Kata Bisma; “Ibunda, sebelumnya putra mohon maaf, bukan
maksud putra hendak merebut tahta kerajaan dari tangan putra keturunan Ibunda,
karena adinda Wicitawirya[7]
masih belia, maka untuk mengisi kekosongan kekuasaan dan demi segenap rakyat,
untuk sementara waktu tahta kerajaan Hastinapura, putra yang pegang. Dan, nanti
setelah Wicitrawirya dewasa, putra akan menyerahkannya kembali pada Adinda.”
Kata Ibusuri Setyawati; “Bunda, percaya dengan kaka-kata
Ananda, atas restu Dewata; mengenai ihwal tahta Hastinapura pengaturannya Bunda
serahkan secara penuh pada Ananda.” Dan pernyataan Ibusuri Setyawati membuat
lega hati Bisma.
***
Tahun-tahun pun terus berlalu. Wicitrawirya pun akil
dewasa. Tibalah waktunya, Bisma menyerahkan kembali tahta kerajaan Hastinapura
pada adiknya itu. Sungguh. Tindakan Bisma, dipuji oleh para dewa dewi, batara
batari, manusia, hingga gandarawa, disaat orang-orang, gila-gilaan mengejar
kekuasaan. Namun, Bisma demi menunaikan sumpah kesatrianya, ia menyerahkan
kembali kekuasaan yang telah disandangnya dengan lapang hati, tulus ikhlas.
Pada suatu ketika, Bisma mendengar sebuah dewara, bahwa
Raja Kasi mengadakan saembara untuk memilih calon menantu bagi putri-putrinya
yang tersohor cantik jelita. Berdasarkan adat tradisi kesatria seorang raja
terhormat akan memilih calon menantunya dengan cara menggelar sebuah
saembara—adu kecerdikan, atau adu kedigjayaan dan pemenangnya akan dijadikan
menantu raja.
Bisma pun datang ketempat saembara tersebut. Tampak para
pangeran dari negera-negara besar seperti Kalingga, Kosala, Pundra berada di
sana, dengan pakaian terbaiknya masing-masing, hendak mengikuti saembara
bergengsi tersebut.
Mulanya, para pengeran mengira bahwa kedatangan Bisma
hanya untuk menyaksikan belaka. Namun, nyatanya Bisma mengikuti ajang saembara
tersebut, membuat hati para pangeran ciut, nyali meraka tumpas bagai kapas
terkena air. “Bisma melanggar sumpahnya, bukankah semua orang tahu bahwa
dirinya telah berjanji akan mengemban laku hidup sebagai brahmacarin tak
memiliki istri seumur hidup, sungguh tak tahu malu dia,” bisik putra mahkota
Raja Kosala, dan dibenarkan oleh para pangeran yang hadir di sana. Begitu pula
dengan Amba, Ambi, dan Ambalika, ketiga putri jelita anaknya Raja Kasi itu
membuang mukanya, ketika Bisma menghaturkan salam pada mereka, bisik Amba pada
saudara-saudaranya; “Bisma, putra Dewi Gangga sungguh tak tahu malu, buat apa
dia mengikuti saembara ini, padahal semua orang tahu bahwa dirinya sebagai brahmacarin.”
Mendapat perlakuan hinaan seperti itu; muka Bisma memerah
seperti tomat rebus, giginya gemeletuk dikerat-keratkan, tubuhnya bergoncang
karena amarah. Namun, Bisma sadar, ia segera menguasai dirinya agar tak
termakan oleh nafsu dirinya sendiri. Teriaknya; “Siapa yang berani melawanku?
Mari bertarung denganku. Bila tak berani seorang diri, silakan semua kesartria
yang hadir di tempat ini bersama-sama melawanku, keroyoklah aku, bila perlu!!”
Tampak salah satu kesatria naik gelanggang. Namun, ia tak
bertahan lama, selanjutnya ambruk terjatuh dari panggung pertandingan. Dalam
waktu singkat seleuruh kesatria yang mencoba adu tanding dengan Bisma, kalah
dan menyerah. Secepat kilat ketiga putri Raja Kasi diboyong Bisma kedalam
kereta kuda yang memang telah disiapkannya, dan para kesatria yang telah kalah
tanding itu hanya bisa diam memperhatikan Bisma. Begitu pula dengan Raja Kasi dan
para prajuritnya, mereka pun dibuat tak berdaya oleh Bisma.
Di tengah perjalanan, Bisma dihadang Raja Salwa. Bisma
pun menghentikan laju kencang kereta kudanya, tantang Raja Salwa; “Bisma,
engkau telah merebut Amba dariku. Sekarang hadapilah aku.” Sebenarnya Raja
Salwa dan Amba, diam-diam telah membina hubungan asmara, Raja Salwa berkehendak
menikahi Amba, begitu pula dengan Amba, ia pun bersedia dinikahi Raja Salwa.
Namun, adat kesatria berkata lain, seorang putri raja terhormat hanya boleh
dinikahi kesatria yang memiliki keunggulan laur biasa, dan dibuktikan dengan
cara adu tanding dimedan laga.
Pertempuran Raja Salwa dan Bisma pun berjalan lama dan
seru. Namun, pada akhirnya Raja Salwa berhasil dikalahkan Bisma, ketika Bisma
mengatur napasnya guna mengumpulkan tenaga dalam dan mengonsentarsikan seluruh
kekuatannya pada kepalan tangan kanannya yang hendak dihantamkan tepat ke
kepala Raja Salwa, ketiga putri Raja Kasi serentak menjerit, dan meminta Bisma
tuk mengampuni Raja Salwa, Bisma pun mengabulkan permohonan ketiga putri
tersebut.
Sesampainya di Hastinapura, ketiga putri Raja Kasi yang
jelita yakni Amba, Ambika dan Ambalika diserahkan Bisma pada adiknya,
Wicitrawirya tuk dijadikan istri. Namun Amba berkata; “wahai Bisma, putra Dewi
Gangga yang dipuja para dewa dan manusia, engkau telah mengkhatamkan kitab Weda
dan Wedanta serta kitab-kitab sastra yang berisi cinta dan kebijaksanaan, dan
aku diboyong ke Hastinapura oleh dirimu, sebagai kesatria yang telah khatam
kitab-kitab kebijaksanaan, baiknya engkau bertindak sesuai dengan isi
kitab-kitab itu.”
Mendengar perkataan seperti itu dari Amba, Bisma pun
terhenyak, sebab dirinya tak mungkin menikahi Amba, akhirnya Bisma
mengembalikan Amba pada kekasihnya, Raja Salwa. Namun, Ambika dan Ambalika
tetap dinikahkan dengan Raja Hastinapura, Wicitrawirya. Pernikahan pun berjalan
dengan megah dan hikmat.
Karena merasa telah kembali pada lelaki pujaan hatinya,
Amba pun dengan riang gembira mengajak menikah pada Raja Salwa, kata Raja
Salwa; “kekasihku, Amba. Aku telah dikalahkan oleh Bisma, dan bila diriku
menikahi dirimu, itu artinya aku mempermalukan diriku sendiri. Sekarang
dengarlah perkataanku; kembalilah engkau pada Bisma, dan turutilah segala
kehendaknya, itulah cara seorang putri raja mengabdikan diri pada ayahndanya
yang telah memberikan putrinya pada kesatria pilihtanding pilihannya.”
Raja Salwa pun memerintahkan para prajuritnya tuk
mengantarkan Amba kembali ke Hastinapura. Dengan hati kecut, kelu, dan getir
Amba pun kembali ke Hastinapura, Amba menghiba, supaya Bisma bertanggungjawab
atas perbuatannya.
Bisma yang sedang dilanda kebingungan, menghiba pada
adiknya, Raja Wicitrawirya tuk menikahi Amba, kata Wicitrawirya; “Kakandaku,
Bisma. Tidaklah mungkin, adinda menikahi seorang gadis yang hatinya telah diserahkan
pada lelaki lain.” Bisma pun tak dapat
berbuat banyak, dilema di jiwanya semakin menjadi-jadi. Amba mendesak Bisma tuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap dirinya yang kini, ditolak oleh
semua laki-laki lantaran ulah Bisma yang mengikuti saembara padahal dirinya
seorang brahmacarin. Namun, Bisma tak mungkin melanggar sumpahnya, tabu baginya
mengingkari kata-katanya sendiri.
Jeda waktu yang terbilang lama bagi seorang Amba, ia
telah enam tahun hidup di Hastinapura dalam penderitaan, hatinya tercabik,
jiwanya merana disetiap siang dan malamnya. Hingga akhirnya, Amba mohon diri
pada Raja Wicitrawirya dan kedua permaesurinya, serta Ibusuri Setyawati tuk
meninggalkan Hastinapura. Mereka pun tak lagi bisa menghalang-halangi kepergian
Amba itu.
Tanpa sepengetahuan siapapun, di kaki Gunung Himalaya,
Amba mengumpulkan ranting-ranting yang berserakan yang tergeletak di bawah
pepohonan besar, lama-kelamaan, ranting-ranting yang dikumpulkan itu membentuk
sebuah bukit kecil, kemudian Amba mengambil dua bilah batu putih pipih sebesar
telapak tangan bayi yang terdapat di situ, kedua bilah batu itu digesek-gesekan
antara satu dengan yang lainnya, hingga memercikan bunga api, dan bunga api itu
memercik ke tumpukan ranting-ranting tersebut, dalam waktu sekejap tumpukan
ranting-ranting tersebut telah berubah—menjadi nyala api yang besar. Penuh
linangan air mata, perlahan tubuh Amba masuk ke dalam api yang sedang membara
tersebut. []
[1]
Dewabrata=Putra kedelapan Santanu (Raja Hastinapura) dan
Dewi Gangga. Semenjak kecil dirinya telah menguasai ilmu seni perang dan
memanah, ia telah khatam mempelajari Kitab Weda dan Wedanta belajar dari
seorang maha guru bernama Sukra. Sebenarnya Dewabrata merupakan putra mahkota
pewaris tahta kerajaan Hastinapura. Namun, ia bersumpah tak akan menjadi raja
dan Dewabrata memilih cara hidup selibat yakni semur hidup tak memiliki
istri. Dewabrata dikenal dengan nama Bisma,
yakni seorang panglima perang gagah berani dan ditakuti, Bisma menjadi
panglima perang pihak Kurawa melawan Pandawa dalam perang besar Baratayuda di
Kulusetra, dan mengalami kemenangan pada hari pertama perang Baratayuda
tersebut.
2
Dewi Gangga= Jelmaan dari Batari Gangga yang turun kebumi
untuk mencabut kutukan Resi Wasistha pada delapan wasu yang mencuri Andini sapi betina kesayangan sang resi itu. Dewi
Gangga kemudian menjadi permaesuri Raja Santanu ,Dewi Gangga membunuh tujuh
orang anaknya dan hanya anak yang kedelapan yang tidak dibunuhnya, kedelapan
anak tersebut tak lain adalah para wasu yang
terkena kutukan sang resi.
3
Destarata= Putra sulung Wicitrawirya adiknya Chitraganda
Putra sulung Setyawati dan Raja Santanu. Destarata ia buta semenjak lahir, dan
kelak menjadi ayahanda dari seratus
orang Kurawa dengan Duryudana sebagai putra sulung yang akan menabuh genderang
perang besar Baratayuda.
4
Pandu=Putra kedua Wicitrawirya dengan Ambalika. Pandu
menjadi pewaris tahta Hastinapura setelah Raja Santanu meninggal, sebab
Destarata buta padahal ia putra sulung. Pandulah yang menjadi ayahanda para
Pandawa lima dan Yudistira atau Puntadewa sebagai putra sulung, yang selalu
menolak perang Baratayuda . Namun, karena ambisi Duryudana pada akhirnya perang
besar Baratayuda pun tetatp terjadi.
5
Bisma, merupakan putra kedelapan Prabu Santanu buah cinta
kasih pernikahannya dengan Dewi Gangga.
6
Chitrangada, merupakan putra pertama Setyawati buah
pernikannya dengan Prabu Santanu
7
Wicitrawirya, merupakan putra kedua Setyawati buah
pernikahannya dengan Prabu Santanu
Tentang Penulis
Agus Hiplunudin 1986 lahir di
Lebak-Banten, adalah lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan
bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional,
bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan
Etika Administrasi Negara di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung adapun karya
penulis yang telah diterbitkan: yakni: Politik Gender (2017) dan Politik
Identitas dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi (2017)—diterbitkan
oleh Calpulis Grahaliterata. Adapun karya sastra dalam bentuk cerpen yang telah
diterbitkan di antaranya: Yang Hina dan Teraniaya (2015 Koran Madura), Perempuan
Ros (2015 Jogja Review), Peri Bermata Biru (2015 Majalah Sagang), Audi (2015
SatelitePost) Demi Suap Nasi (2015 Koran Madura), Filosofi Cinta Kakek (2017,
Biem.co), Ustadz dan Kupu-kupu Malam (2017, Biem.Co). Kumpulan cerpennya yang
terbaru “Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut, 2018.
Alamat Sekarang: Perum Persada Banten Blok D, Kelurahan Teritih, RT
06/07 Kecamatan Walantaka, Kota Serang-Banten
Email : agus.hiplunudin@yahoo.com, Hp: 081-774-220-4, Facebook : Agus Hiplunudin.
Cerpen Maha Dewi
Reviewed by takanta
on
Maret 04, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar