Rumah, Sumber Penderitaan Bagi Perempuan?
Didedikasikan
untuk Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2018
Oleh:
Agus Hiplunudin
Menurut
Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) pada 2017: dimana kekerasan dalam rumah tangga/ranah personal
merupakan urutan tertinggi dalam kasus-kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh
berbagai lembaga negara terkait perempuan dan lembaga layanan terkait kekerasan
terhadap perempuan. Dari angka 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan,
dimana 10.205 kasus di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga/di dalam
rumah. Dari 10.205 kasus KDRT/RP (Kekerasan dalam Rumah Tangga/Renah Personal)
tersebut, kekerasan terhadap istri menempati urutan tertinggi yaitu 57 persen atau
5.784 kasus, diikuti kekerasan terhadap anak perempuan, yaitu 18 persen.
Rumah
merupakan tempat bernaung kala terik dan hujan, tempat beristirahat kala malam
menjelang, dan tempat mengisi perut kala dilanda haus dan lapar, oleh karenanya
tak heran jika slogan rumah yakni “Rumahku adalah Surgaku). Namun, benarkah
rumah menjadi surga bagi perempuan atau rumah menjadi neraka bagi kaum
perempuan?”
Melihat
data di atas dimana kekerasan terjadi di dalam rumah pula terdapat kekerasan
pada anak perempuan (di dalam rumah). Secara kultural budaya patriarki masih
menjadi momok di Indonesia—perempuan diidentikkan dengan kelas sosial ekonomi
nomor 2 dan laki-laki nomor 1, hasilnya laki-laki lebih berkuasa dari
perempuan, lebih parahnya lagi biasanya anak perempuan menjadi pelayan bagi
ayahnya dan para saudara lelakinya, inilah yang dimaksud sebagai rumah sumber
penderitaan bagi perempuan.
Untuk
memudahkan awal mula kekerasan terhadap perempuan pada 2017 silam saya menulis
sebuah ilustrasi dalam buku berjudul “Politik Gender” beginilah penggalannya—apapun
jenis kelamin Anda, bayangkanlah Anda seorang lelaki yang sedang mencari cinta
seorang gadis, pada sebuah senja ketika Anda duduk tercenung di atas sebuah
kursi di beranda rumah Anda, dan kebetulan posisi rumah Anda berjarak tiga
meteran dari jalan desa dimana orang-orang lalu-lalang di situ. Tampak beberapa
lelaki juga perempuan lalu-lalang melintasi jalan tersebut, namun mereka tak
menarik perhatian Anda. Pada suatu titik Anda melihat seorang gadis dengan
sejuta pesonanya, pendek kata; ia dapat menyita seluruh perhatian anda, gadis
itu menolehlah pada Anda, sehingga Anda dan gadis itu saling beradu pandang,
dirasakan oleh hati Anda; ada sesuatu yang berbeda, dimana hati Anda terasa
tersetrum oleh watt listrik. Keesokan harinya Anda mencari-cari informasi
tentang gadis tersebut. Beberapa hari kemudian Anda menemukan rumahnya dan
berkunjung. Anda setengah mati meyakinkannya bahwa Anda adalah lelaki yang
paling mencintainya, bahkan Anda berjanji padanya; Anda rela mati olehnya,
asalkan cinta Anda diterima oleh gadis pujaan anda tersebut. Demi cinta Anda
padanya, Anda memenuhi segela permintaannya, bahkan Anda melakukan hal-hal yang
sebelumnya belum pernah Anda lakukan demi gadis itu. Pendek kata. Anda menikah
dengannya. Awal-awal bulan madu dirasakan bahagia. Beberapa bulan kemudian,
Anda mulai berani berkata-kata kasar, bahkan Anda pernah bilang padanya; istri
Anda tak akan bisa hidup tanpa Anda. Anda bicara demikian bukan tanpa suatu
alasan, namun demikianlah adanya; Andalah yang menafkahi istri Anda, dan
seorang isri tanpa suatu nafkah dari suami adalah kelaparan, kelaparan yang
sangat mungkin berujung kematian, atau paling tidak akan melahirkan penderitaan
bagi istri Anda.
Dalam
hal ini saya hendak menyampaikan, yakni; salah satu keterpurukan perempuan
dalam rumah karena perempuan tersubordinasi dalam dunia ekonomi, mereka tak
memiliki akses untuk mencari nafkah, tambah pula selama ini image yang terbentuk “lelakilah yang
mencari nafkah” dan perempuan tinggal menunggu di rumah. Sekilas; konsep
tersebut nampak indah, namun ini adalah awal mula terbentuknya struktur budaya
dalam rumah, dimana perempuan adalah kelas dua sebab tak memiliki peran dalam
ekonomi keluarga, dan lelaki kelas satu sebab ia memiliki peran yang begitu
menentukan dalam kehidupan perekonomian keluarga.
Perempuan
yang tersiksa di dalam rumah mereka kemudian berpikir untuk mengubah posisi
mereka akhirnya mereka bekerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga). Bekerja
sebagai PRT lagi-lagi perempuan memasrahkan dirinya untuk hidup di dalam rumah
(dalam konteks rumah majikan). Kaitannya dengan ini, saya telah mengilustrasikannya
dalam buku Politik Gender: Coba Anda bayangankan Anda berposisi sebagai Nyonya
Majikan yang mempekerjakan seorang perempuan berumur enam belas tahun. Anda tak
segan-segan membentak pembantu Anda, apa lagi jika ia melakukan kesalahan,
memecahkan piring misalnya, ketika ia mencucinya di tempat pencucian. Bahkan
seringkali Anda menamparnya. Hingga pada suatu hari; Anda mendapatkan pembantu
Anda sedang bersusah payah hendak menggantung diri di sebuah gudang kosong, dan
secara refleks Anda mencegah usaha tersebut. Anda menjerit histeris, sehingga
mengundang perhatian para tetangga, para tetangga pun berbondong-bondong ke
rumah Anda. Para tetangga Anda mulai bertanya-tanya; apa sebenarnya yang
terjadi? Dengan terbata Anda berusaha menjelaskannya pada mereka.
Dalam
hal ini kekerasan terhadap pembantu rumah tangga merupakan kekerasan yang telah
rutin terjadi, sehingga peristiwa tersebut telah menjadi habit atau kebiasaan
kerena telah menjadi proses keseharian yang dianggap tak penting untuk
dikomentari. Namun, ketika si pembantu berusaha bunuh diri, secara refleks Anda
tersadar, bahwa rutinitas kekerasan terhadap pembantu rumah tangga membuat
mereka putus asa, dan seringkali mereka mencoba mengakhiri hidupnya sendiri,
ini merupakan fenomena yang sering terjadi pada PRT. Para PRT mendapatkan
kekerasan di dalam rumah majikannya sendiri, yang seharusnya mereka mendapat
perlindungan dari sana. Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan dimana selama tahun 2017 telah tercatat
217 kasus kematian pekerja migran Indonesia yang meninggal dunia di luar
negeri. Dari jumlah tersebut, 69 kasus (32 %) terjadi di Malaysia, termasuk
kasus terbaru yakni tewasnya Adelina. Hal tersebut menohok kita, betapa
menderitaannya para PRT itu. Lantas pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimanakah
solusinya?
Pertama,
menyoal tentang pendidikan dimana perempuan relatif masih rendah, dalam hal ini
notabennya Indonesia masih bertipologi perdesaan, sehingga mindset masyarakat desa berpikiran perempuan tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi sebab pada ujungnya perempuan akan berkutat pada sumur, dapur,
kasur (3-ur). Dengan cara demikian mayoritas perempuan berpendidikan rendah,
dan itulah cikal-bakal ketertindasan perempuan di dalam rumah, baik dalam konteks
rumah orangtua, rumah suami, ataupun rumah majikan. Ini artinya solusi utamanya
agar perempuan berselogan “Rumahku adalah Surgaku” mereka harus bergeliat di
dunia pendidikan (perempuan harus sekolah kejenjang perguruan tinggi). Namun,
hal tersebut tidak-lah mungkin terjadi secara serta-merta, tentunya perlu
keterlibatan semua pihak di antaranya pemerintah, swasta, LSM, partai politik
dan para aktivis.
Simon
De Beauvoir seorang penggagas aliran feminis liberal radikal dalam bukunya yang
berjudul The Scond Sex—menggagas agar perempuan terbebas dari kung-kungan atau
siksaan di dalam rumah; salah satunya dengan cara perempuan harus berani
menentang lembaga pernikahan, sebab ketertindasan perempuan bermula dari
pernikahan (perempuan menjadi obyek nafsu dan kekerasan bagi laki-laki—pasca
pernikahan). Namun, hal tersebut bertentangan dengan kondisi azazi alamiah
manusia dimana seorang perempuan memerlukan pendamping hidup dan memerlukan
regenerasi (melanjutkan keturunan); atas karenanya sangatlah bijak jika
perempuan menikah.
Begitu
juga dengan apa yang dikatakan Milett dalam pemikirannya yang dituang di Politics
Sexual—menganggap bahwa idiologi patriarki haruslah dilawan secara radikal. Di
sini Milett berarti tidak kompromi dengan budaya terlebih dengan agama. Kiranya
alangkah indahnya jika feministas (identik dengan perempuan) dan maskulinitas (identik
dengan laki) dapat berjalan dengan harmoni.
Untuk
harmonisasi—agar perempuan dapat menghirup udara segar kebebasan di dalam rumah
atau dimanapun mereka berada, Saya memberikan solusinya perempuan zaman
milenial, zaman sekarang harus berlebel “cantik masa kini”: cantik masa kini
memiliki kriteria tersendiri diantaranya 1) ia harus tampil percaya diri, 2) ia
harus memiliki pendidikan yang relatif tinggi, dan 3) menjunjung tinggi ektika
dan estetika. Perempuan masa kini harus mampu mendefinisikan cantik menurut
pribadinya hal tersebut akan mempengaruhi kepercayaan dirinya. Begitu pula
dengan pendidikan; dimana perempuan masa kini harus mampu bersaing, dan dengan
cara mengenyam pendidikan setinggi-tingginya maka perempuan akan mampu
meningkatkan kapasitasnya bahkan melampaui laki-laki. Etika dan estetika juga
merupakan bagian penting untuk meraih lebel cantik masa kini; dengan menjunjung
tinggi etika berarti perempuan masa kini akan mampu meletakkan dirinya sebagai
perempuan terhormat, dan dengan estetika perempuan masa kini berarti mampu
mencintrakan dirinya sebagai makhluk yang indah bukan hanya yang terlihat
melalui lekuk tubuhnya namun tercermin juga dalam pengetahuan dan kecerdasannya.
Hal yang mendasar bagi perempuan masa kini; dimana seorang perempuan harus
nyaman dengan dirinya sendiri, mencintai tubuhnya sendiri, pula menghargai
kapasitas kecerdasannya sendiri. []
Banten,
7 Maret, 2018
Tentang Penulis
Penulis
adalah pengarang buku “Politik Gender” sekaligus dosen STISIP Setia Budhi
Rangkasbitung. Alamat Sekarang: Perum Persada Banten Blok D3 No.1, Kelurahan
Teritih, RT 06/07 Kecamatan Walantaka, Kota Serang-Banten. Email : agus.hiplunudin@yahoo.com,
Fb : Agus Hiplunudi, Phone : 081-774-220-4.
Rumah, Sumber Penderitaan Bagi Perempuan?
Reviewed by takanta
on
Maret 08, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar