Home
/
Ahmad Radhitya Alam
/
Cerpen
/
Ritual Kopi dan Mua’llaqat dan Microsoft Word dan Kiai Agus dan Menyendiri
Ritual Kopi dan Mua’llaqat dan Microsoft Word dan Kiai Agus dan Menyendiri
Barangkali
ini mungkin terasa aneh. Aku adalah seorang
santri lama di pondok yang berada di belakang Pabrik Sarung pinggir jurang ini.
Namun tak banyak ilmu yang aku tahu hingga kini. Dan masih banyak lagi pikiran-pikiran
yang merusak tempurung otakku. Begitu banal dan membuatku semakin kesal.
Aku tidak tahu dari mana pikiran macam ini
datang: kesialan selalu datang tanpa disangka-sangka. Siapa tahu, entah karena
angin badai atau mendadak tanah di bagian tepi jurang ini ambrol, pada akhirnya
aku jatuh dan hancur lebur di bawah sana?
Pikiran-pikiran
penyesalan telah memenuhi otakku yang kosong. Pikiran bahwa aku telah tersesat
mungkin terdengar lucu. Tapi sungguhlah ini yang terjadi. Aku mungkin telah
jauh terjatuh dalam lembah kebebalan yang amat curam. Hingga mataku amat
temaram, juga kulitku jika kau lihat tampak begitu legam.
Namaku
Darkum, santri tahun kelima di pondok ini di samping menjadi salah seorang
siswa di sebuah SMA. Dahulu sekali
sebelum memutuskan untuk berhijrah dari rumah menuju pondok, aku adalah anak
yang terkenal pandai di desa. Dan itu adalah sewaktu masih SD di sekolah kecil
pinggir desa. Aku sangat menyukai ilmu-ilmu sains. Walaupun jika ditilik, anak
seusia itu belum tentu mengerti apa itu sains. Aku pernah bercita-cita menjadi
seorang ilmuan yang menemukan barang-barang berharga di masa depan. Tapi mimpi
itu tampaknya akan kukubur hidup-hidup bersama otak yang semakin radikal. Waktu
memang jahanam dan mimpi-mimpi kelewat kejam. Harap yang dulu pernah tertanam
kini gugur satu persatu. Aku sekarang telah menyerah dengan segala gundah yang
tak pernah mau untuk mengalah. Ejekan dan tekanan telah mengubah jiwaku,
persepsiku, dan tentu saja harapanku. Aku sekarang menjadi semacam remah-remah
sepah yang telah hilang arah.
Tekanan
dan ejekan telah menggiringku dalam lembah kemalasan. Aku telah menganggap
diriku bodoh dan tak ada gunanya untuk belajar.
“Buat
apa belajar, kalau ujung-ujungnya tetap sama. Bodoh!” gerutuku dalam bisu.
Senja
ini adalah hari di mana para santri dikumpulkan untuk mengaji tentang materi
kepenulisan. Pelajaran yang aku anggap sebagai beban dan sebagian dari tekanan.
Perlu diketahui bahwa aku anak pemalas tingkat atas, tak mau belajar sama
sekali. Dinasehati masuk telinga kanan, direnungkan keluar telinga kiri.
Semua
santri telah sibuk menghadap PC dan
Microsoft Word-nya masing-masing. Mereka semua telah memoles tulisannya agar
tampak bagus di hadapan Kiai Agus. Cerpen-cerpen karya mereka telah menyibukkan
panitia Sayembara Cipta Cerpen. Ada sebagian yang sederhana seperti milik Radhitya,
dan ada yang tampak sempurna seperti milik Kak Chatrina. Semua terkumpul di
laman email panitia.
Sedangkan
aku, hanya bisa menatap PC dengan melongo Tak ada ide yang dapat dituangkan
sebagai modal membuat tulisan. Aku pasrah, tak tahu lagi jalan untuk memantik
kreatifitas dalam otak. Aku tak menulis satu huruf pun, walau aku tahu lomba
itu bersifat wajib bagi setiap santri. Dan aku pun tahu bahwa dalam setiap perbuatan
pasti memiliki konsekuensi.
Benar
saja, seperti dugaanku karena tak mengumpulkan cerpen sendiri aku dipanggil ke
kantor untuk menghadap Kiai Agus. Kiai yang sangat berkharisma. Beliau seperti
memiliki daya magis tersendiri ketika seseorang menatapnya. Rasa sungkan dalam
dada tak dapat lagi untuk ditahankan.
Walaupun
aku termasuk santri yang nakal dan pemalas tetapi aku selalu bertanggunng jawab
dan memiliki rasa hormat kepada orang lain, utamanya orang yang telah
membimbinng duniaku. Karena walau bagaimanapun mereka adalah oranng yang
menciptakan indah dunia kita.
Dengan
hati dag, dig, dug kuberanikan
langkahku menuju kantor pondok. Di sana aku telah ditunggu oleh Kiai Agus yang
sedang membaca kitab dengan seksama. Walau dikenal sebagai kiai yang arif dan
bijaksana, sebenarnya masih ada rasa
takut dalam hatiku membayangkan ketika bakal dimarahinya.
Setelah
aku mengucap salam di gawangan pintu
kantor. Aku langsung dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan. Di hadapanku
Kiai Agus tersenyum dan langsunng menanyai masalahku. Hal ini membuat
kecemasanku sedikit reda.
“Kum,
apa masalahmu sehinngga benci untuk menulis?”
“Tidak
ada sebenarnya, Kiai. Tetapi ada masalah dengan motivasi saya untuk mau
belajar. Saya telah sasar dalam dunia yang samar. Saya berpikir tentang apa
gunanya belajar. Toh, sekeras apapun saya belajar, saya akan tetap menjadi
bodoh.” curhat colonganku.
“Tapi
Kum, belajar itu adalah sebuah keawajiban. Belajar menjadi kewajibanmu semenjak
kamu dilahirkan hinngga sampai nanti kamu dikuburkan.”
Deg,
dhawuh Kiai Agus tersebut telah membuat
hatiku bergetar. Lamat-lamat mulai membuka celah otakku untuk berpikir jernih.
Aku sadar tentang kewajiban belajar, dan takut menjadi pendosa ketika salah
memilih jalan yang sasar.
“Nggih, Kiai,” tidak sengaja mulutku
bergetar mengucap kalimat itu.
“Tapi
bagaimana cara saya agar dapat menulis dengan baik?”
“Menulis
itu tidak jauh berbeda dengan berkesenian, semua membutuhkan proses. Di
dalamnya harus ada karya, karsa, dan cipta yang melebur agar menciptakan sebuah
karya yang baik dan membaur.”
Lagi-lagi
pesan Kiai Agus telah membuat mata batinku terkesima.
Setelah
beberapa dialog yang menenangkan jiwa usai. Kiai Agus mengahadiahkan sebuah
buku klasik milik pribadinya. Kalau
dilihat dari sampulnya, itu adalah Kitab Mu’allaqat. Sebuah kitab syair
pra-Islam yang begitu fenomenal di masanya. Aku bingung mengapa aku diberi
kitab itu. Padahal aku telah melakukan kesalahan.
“Ini
le, kamu bisa belajar tentang
bagaimana tulisan yang baik itu. Banyak tulisan yang indah terangkum dalam
kitab itu”
“Matur nuwun, Kiai,” jawabku dengan penuh
keta’dhiman.
Setelah
diberi kitab tersebut aku diberbolehkan keluar dari kantor dan langsung menuju
kamarku. Di sana kitab itu langsung saja aku buka, sepertinya ada banyak kisah
di dalamnya yang membuatku semakin penasaran. Lembar demi lembar kubaca,
kurapal satu persatu seperti para pendoa yang mengucap ritus mantra.
Seperti
ada desiran dalam hati ketika membaca kitab ini. Aku jadi tertarik untuk menulis seperti
syair-syair yang ada didalamnya. Dan ini petama kalinya ada niatan dalam hatiku
untuk merangkai kata.
Sehabis
mengaji malam di serambi masjid. Aku langsung menuju kamarku dan mulai
menyalakan laptop pemberian ibuku. Kemudian, aku menuju dapur untuk melakukan
sebuah ritual. Ritual kopi aku menamainya. Seperti terdengar berlebihan, tapi
inilah kebiasaanku yang aku lakukan ketika belajar. Menyeduh kopi hitam dan
menyeruputnnya secara perlahan.
Dengan
ditemani kopi aku mulai menulis cerita. Aku mulai mengetik huruf demi huruf yang muncul begitu
saja di otakku. Aku berusaha jujur dalam menuangkan isi otakku. Seperti dhawuh Kiai Agus, bahwa menulis adalah
sebuah kejujuran. Karena sekarang ini kejujuran menjadi salah satu nilai moral
yang amat mahal, sebuah karakter yang sulit dijaga kelestariannya.
Tetapi
ketika aku mulai mendapatkan rasa dari ceritaku. Tiba-tiba gangguan datang.. Gangguan itu
datang dari Kang Kasanun, santri
terpandai di kamarku. Tetapi sifatnya yang sombong itu, yah minta ampun.
“Hei,
hei, hei. Darkum menulis, apa kata dunia? Apa benar kau sudah bias nulis, Kum?
Yang aku tahu kau ini anak bodoh dan pemalas. Apa aku nggak salah lihat?”
Ejekan
Kang Kasanun itu membuat telingaku semakin panas. Susah payah aku berusaha
mengubah citra. Eh, malah diejek seenaknya.
“Iya,
Kang. Ini aku masih tahap belajar, mohon dukunganya,” jawabku sambil menahan
emosi.
Ah,
aku berpikir bahwa ejekan dan tekanan orang-orang tak akan mengubah diriku sama
sekalii. Dan satu-satunnya entitas yang dapat mengubahku adalah aku sendiri.
Aku tak peduli dengan cercaan orang, yang penting aku tetap berusaha menoreh
juang. Karena aku adalah aku, makhluk Tuhan yang telah dikaruniai akal sehat
guna berpikir untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Sampai
larut malam aku menulis cerpen yang akan kukirim untuk lomba cerpen ini. Karena panitia memperpanjang waktu pengiriman
naskah hingga malam ini. Kukebut tulisanku dengan berbagai kekurangan yang ada.
Dan sampai pada akhirnya tulisanku selesai juga. Dengan buru-buru langsung saja
aku kirim karyaku ke alamat email panitia tanpa sempat aku mengoreksinya.
Alhamdulillah,
akhirnya aku dapat berkarya walaupun belum seberapa dibanding orang-orang di
luar sana. Setidaknya aku telah berhasil mengusir kemalasanku denngan kerja
keras yang tanpa batas. Sekarang aku sadar bahwa tak ada usaha yang sia-sia.
Sebuah usaha pastinnya akan menumbuhkan kepuasan tersendiri di benak orang yang
mau berusaha. Dan lagi, semangat belajarku kini tambah semakin berapi-api.
Mungkin
saat ini tulisanku sedang dibaca salah seorang juri. Ini adalah tulisanku yang
masih lugu, sebuah opini kejujuran tentang keadaan. Tulisanku mungkin tidak
bagus, tapi setidaknya aku sudah menulisnya dengan tulus. Karena seperti
diajarkan salah seorang guruku di SMA, bahwa menjadi penuntut ilmu itu harusnya
selalu melaksanakan nilai-nilai yang yang terkandung dalam karakter bangsa.
Yang aku pernah dengar, di antaranya adalah jujur, sopan, menghormati, kerja
keras, dan bertanggung jawab. Setidaknya aku sedikit banyak telah
mengamalkannya.
Tetapi,
dengan selesainya tulisanku ini. Apa iya aku telah begitu mafhum dengan dunia
menulis? Apakah aku telah cukup puas dengan bekal ini? Sepertinya tidak sama
sekali. Masih banyak yang harus aku pelajari, masih banyak yang perlu digali.
Banyak kekosongan dalam otakku yang perlu diisi. Dan
perenungan-perenungan terus bertumbuhan. Menanti harap di masa depan. []
Bioadata
penulis
Ahmad
Radhitya Alam, Siswa SMA Negeri 1 Talun dan penggiat FLP Blitar.
Ritual Kopi dan Mua’llaqat dan Microsoft Word dan Kiai Agus dan Menyendiri
Reviewed by takanta
on
April 15, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar