Bahasa Puasa dan Ramadan
Oleh
: Rusdi Mathari
SETIAP
Ramadan tiba kata puasa lalu menjadi kata yang paling popular di kalangan
muslim Indonesia. Namun sebagai salah satu elemen dari rukun Islam, kata puasa
merupakan satu-satunya kata yang tidak berasal dari Bahasa Arab. Kenyataan itu
berbeda dengan kata “syahadat”, “shalat”, “zakat” dan “hajj” yang
kemudian diserap oleh Bahasa Indonesia menjadi syahadat, salat, zakat dan haji—
yang semuanya berasal dari khazanah Bahasa Arab.
Memang
ada sebagian orang yang menggunakan kata salat dan sembahyang untuk menyebut
salat. Namun baik salat maupun sembahyang masih memiliki relasi makna.
Sembahyang
misalnya, berasal dari dua kata sembah dan hyang yang
berarti menyembah Tuhan (Allah). Kata itu sengaja diserap dan kemudian
digunakan oleh para penyebar Islam di Nusantara untuk menarik minat
penganut Hindu yang telanjur datang terlebih dahulu ke Indonesia.
Melalui
pendekatan kata tersebut, makna kata salat juga tak berkurang dari makna
awalnya yaitu sebagai sebuah perbuatan untuk menyembah Allah. Tapi puasa?
Sama
dengan kata sembahyang, kata itu berasal dari Bahasa Sansekerta. Berasal dari
dua kata yaitu upa yang berarti dekat dan wasa yang
berarti Yang Kuasa— makna kata puasa yang asli adalah dekat kepada Tuhan
yang kuasa.
Jadi upawasa atau
yang kemudian diserap dan dilafalkan menjadi kata “puasa” di dalam Bahasa
Indonesia tidak lain adalah sebuah perbuatan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan. Dengan pengertian itu, kata puasa sebenarnya tak
berhubungan secara langsung dengan makna asli dari kata shaum yang
dikehendaki dalam Bahasa Arab yaitu menahan diri untuk tidak makan, tidak
minum, tidak berhubungan badan, dan tidak berbicara.
Tak
lalu penggunaan kata puasa menjadi tak bermakna. Secara kelaziman, orang yang
berhenti untuk makan, untuk minum, untuk berhubungan badan, dan untuk bicara—
seharusnya memang dekat kepada Tuhan (puasa). Apalagi dalam
perkembangannya, makna dari kata puasa juga sudah berubah, dari semula
sebagai dekat kepada Tuhan menjadi menghindari makan dan minum dengan sengaja.
Paling tidak, begitulah tafsir tentang kata puasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hal
yang kurang lebih sama juga terjadi pada Bahasa Inggris. Bahasa itu sebenarnya
tak memiliki kata khusus untuk mengganti kata shaum. Kata fasting yang
dianggap mewakili makna puasa, kalau digunakan untuk menjelaskan sebuah
perbuatan yang sengaja tidak makan, tidak minum— akan sulit dicerna oleh
mereka yang dalam kesehariannya berbahasa Inggris.
Persoalannya
karena pada mereka tidak lazim untuk melakukan fasting sehingga
kata itu sangat jarang digunakan dan terabaikan. Sebaliknya kata fasting akan
mudah dipahami jika terutama disertai konteks tentang Ramadan. Singkat kata,
bagi mereka yang berbahasa Inggris (orang Barat) fasting baru
bisa bermakna jika terutama disertai dengan kata Ramadhan.
Identik Kata dengan Makna
Lalu
apa yang sebetulnya yang disebut sebagai puasa atau fasting dalam
konteks shaum? Kata dasar shaum atau shiyam adalah shat-wa-mim. Dua kata itu
secara bahasa berarti menahan (imsaak).
Dalam Fathul al Qadir,
al Syaukani memaknai kata itu sebagai sebuah tindakan untuk tidak bepergian
dari satu tempat ke tempat lain. Namun arus besar dari ahli tafsir sepakat
bahwa makna shaum yang paling asli adalah tidak makan,
tidak minum, tidak berhubungan seks, dan tidak berbicara. Makna untuk tidak
makan, tidak minum, tidak berhubungan badan, dan tidak berbicara pada
kata shaum itu bisa melekat secara
sendiri-sendiri, maupun melekat sebagai satu kesatuan.
Argumen
dari arus besar ini adalah bunyi dari redaksi surat al Maryam ayat 26 yang
menyebut, “…aku telah bernazar kepada Pemelihara yang Penuh Kasih untuk menahan
(shauman)
bicara…” Kata shauman dalam ayat tersebut merupakan indikasi
bahwa makna kata shaum bukan hanya menyangkut urusan menahan
lapar dan dahaga melainkan juga untuk menahan bicara.
Dalam Melacak Sejarah Ramadan &
Syariat Puasa, M. Luthfi Mathofi dari Departemen Tafsir Universitas
al Azhar, Mesir— menjelaskan bahwa sifat “menahan” yang terkandung dalam
kata shaum menjadi pembeda puasa dengan amal
ibadah yang lain. Jika ibadah lain seperti syahadat, salat, zakat, berhaji dan
sebagainya niscaya tampak atau diketahui secara perbuatan, namun tidak dengan
puasa.
Sebagai sebuah ibadah, puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan melalui misalnya gerakan fisik. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammas saw. menjelaskan, bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ –memamerkan kebaikan— adalah puasa.
Sebagai sebuah ibadah, puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan melalui misalnya gerakan fisik. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammas saw. menjelaskan, bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ –memamerkan kebaikan— adalah puasa.
Maka
merujuk kepada redaksi surat Maryam itu, kata shaum sebenarnya
menyangkut urusan niat. Jika niat dari perbuatan shaum adalah
untuk tidak makan dan minum dalam waktu tertentu, maka makna shaum bisa
berarti sebagai sebuah usaha untuk menahan diri dari makan dan minum. Jika
berniat untuk tidak berbicara, untuk tidak korupsi, untuk tidak otoriter, untuk
tidak sombong, tak merasa paling dan sebagainya— maka makna shaum berarti
menahan diri dari perbuatan atau hal-hal yang bisa membatalkan niat tersebut.
Dalam
kaidah fikih, yang dimaksud sebagai shaum adalah sebuah perbuatan untuk tidak
makan, tidak minum dan tidak berhubungan badan— yang disertai niat pada malam
harinya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Jika kemudian apa
yang disebut sebagai shaum (puasa) identik atau selalu dikaitkan
dengan Ramadan sebagai bulan, hal itu disebabkan oleh sering munculnya dua kata
itu dalam satu kesatuan kalimat, baik di dalam teks al Quran maupun hadis.
Redaksi
dari surat al Baqarah 185 yang menyebutkan “syahru Ramadhana…” dan redaksi hadis yang
menjelaskan “imaanan wahtisaaban man shama Ramadhana”,
harus dibaca bahwa puasa tidak bisa dilepaskan dari Ramadan, dan Ramadan tak
bisa dipisahkan dengan puasa. Dengan kalimat lain Ramadan tanpa puasa adalah
batal sebagai bulan, dan puasa tanpa Ramadan adalah kurang bermakna sebagai
pengabdian (ibadah). Ada banyak argumen untuk menjelaskan, mengapa misalnya,
Ramadan identik dengan puasa dan sebaliknya puasa identik dengan Ramadan
Antara
lain pendapat yang menyatakan bahwa kata atau nama Ramadhan merupakan
salah satu nama Allah. Namun pendapat yang mungkin paling sahih, adalah
pendapat yang menyandarkan kepada asal usul kata Ramadhan. Berasal
dari kata dasar r-m-dh atau ra-mim-dhat, Ramadhan sebagai
kata memiliki arti panas. Dalam struktur Bahasa Arab yang membolehkan makna
pada kata berkembang maka panas yang dimaksud oleh kata ra-mim-dhat bisa
juga berarti panas yang menyengat, menjadi panas, sangat panas, atau hampir
membakar.
Ungkapan
seperti qad ramidha yaumuna dalam Bahasa Arab
memiliki pengertian bahwa hari telah menjadi sangat panas, sementara kata ar ramadhu berarti
panas yang diakibatkan sinar matahari. Singkat kata, menurut Luthfi, Ramadhan sudah
menjadi ism ghairi munsharif atau makna dan maksud
kata itu sudah cukup terkenal sehingga tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah
tata Bahasa Arab.
Keterangan-keterangan
tentang asal usul kata Ramadhan semacam itu, bisa dibaca dan
dijumpai antara lain di dalam kamus Mukhtaru ash Shihhah yang ditulis oleh oleh
Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir al Razi, atau di dalam buku Lisanul Arab karya
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri. Dua penulis besar itu, hidup pada
periode yang hampir bersamaan yaitu antara tahun-tahun pertengahan abad keenam
hijriah hingga tahun-tahun awal abad ketujuh hijriah.
Alias atau Nama Lain
Sampai
pada titik ini bisa disepakati, mengapa kemudian puasa identik dengan Ramadan
sebagai bulan dan Ramadan identik dengan puasa sebagai ibadah. Karena baik kata
Ramadhan maupun
kata shaum pada dasarnya memiliki hubungan makna
yang dekat dan saling bersentuhan yaitu panas. Tidakkah bagi manusia yang
semula biasa makan, minum dan berhubungan badan pada siang hari— kemudian
diwajibkan untuk mengosongkan perut dan mengeringkan kerongkongan tidak akan
merasakan apa pun kecuali Ramadhan, panas yang luar biasa itu?
Misalnya
seperti perut melilit, mulut dan kerongkongan kering, dan seluruh anggota badan
juga tidak nyaman. Karena itu cukup alasan, mengapa bulan puasa yang jatuh pada
bulan kesembilan pada almanak hijriah disebut sebagai bulan
Ramadan.
Di
luar identifikasi Ramadan dengan puasa, Ramadan di dalam Islam sebagai bulan
ditempatkan atau memiliki derajat yang lebih istimewa dibanding bulan-bulan
lainnya. Ramadan misalnya merupakan salah satu bulan pilihan untuk tidak
menyebut sebagai satu-satunya bulan pilihan di dalam ajaran Islam.
Dalam
riwayat Thabrani, Nabi Muhammad saw. menempatkan Ramadan sebagai penghulu dari
semua bulan. Nabi juga pernah menegaskan, andai manusia tahu apa yang
terdapat pada bulan Ramadan, pastilah mereka akan mengharapkan bahwa Ramadan
itu selama satu tahun.
Namun
keistimewaan Ramadan tak hanya terbatas oleh sebab-sebab semisal karena ada
kewajiban untuk berpuasa. Di atas segalanya karena sebagian besar untuk tidak
menyebut seluruhnya, berkah dari langit diturunkan hanya pada saat Ramadan.
Kalam
atau kata pertama bagi manusia yang disampaikan Jibril kepada Nabi misalnya,
datang kali pertama pada bulan Ramadan sehingga bulan itu juga disebut
sebagai syahr al Quran. Peristiwa yang sama juga terjadi
ketika Nabi Ibrahim as. menerima shuhuf, Nabi Daud as. menerima Zabur, Nabi
Musa as. menerima Taurat, dan Isa as. menerima Injil.
Ramadan
adalah juga bulan yang paling banyak memiliki alias atau nama lain. Ia misalnya
bisa disebut sebagai syahr Allah atau bulan Allah karena ibadah
puasa yang dilakukan pada Ramadan hanya khusus untuk Allah. Bisa disebut
sebagai syahr ala i karena hanya pada bulan Ramadan
semua berkah dari langit diturunkan. Dapat pula dikatakan sebagai syahr an najah atau
bulan pelepasan diri dari neraka.
Nama
lainnya antara lain, syahr al jud (bulan untuk banyak melakukan
derma), syahr al muwasah (bulan pemberian
pertolongan), syahr al tilawah (bulan untuk membaca dan
menekuni Al Quran), syahr as shabri (bulan untuk bersabar), dan
sebagainya. Ahlan wa sahlan ya Ramadhan.
Selamat berpuasa.
Selamat berpuasa.
Rujukan
[1] Disalin dari
tulisan Cak Rusdi Mathari
[2] Arsip
rusdimathari.com
Bahasa Puasa dan Ramadan
Reviewed by takanta
on
Mei 21, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar