Uang seratus
perak.
Apa yang Anda
pikirkan tentang itu? Tidak berharga? Sampah? Pengganjal dompet? Untuk pengemis
dan pengamen? Sedekah di masjid? Atau juga untuk diberikan kepada anak-anak
kecil yang masih termasuk dalam keluarga agar mereka gembira?
Licik!
Sangat licik!
Sementara Anda menyimpan nominal yang lebih besar nilainya.
Sebagai orang
dewasa uang seratus perak sama saja artinya dengan pecahan daging yang
tersangkut di sela-sela gigi. Bagaimana rasanya kalau sehabis makan ada kotoran
di gigi? Terasa begitu mengganggu dan tidak bisa bertingkah dengan bebas.
Apalagi tidak ada tusuk gigi di meja makan. Itu bisa menjadi sebuah bencana
yang tidak bisa terelakkan lagi. Seseorang bahkan bisa bunuh diri hanya karena
ada jigong di giginya.
Tidak mungkin seseorang
lalu tertawa dengan lepas atau membuka mulut untuk berbicara. Lebih parah lagi
kalau orang itu sedang bersama orang penting misalnya mertua atau atasan. Itu
bencana besar. Dan tidak mungkin kalau meminta ijin ke kamar mandi tanpa
berbicara. Dengan berbicara berarti membuka kesempatan untuk membuka mulut. Dan
membuka mulut tentu saja memberi kesempatan kepada orang lain untuk
memperhatikan gerak bibir. Dan sudah pasti gigi juga akan menjadi pusat
perhatian.
Bencana bukan?
Atau Anda termasuk orang yang masa bodoh dengan sayur yang menempel di gigi?
Tidakkah begitu memalukan kalau Anda tertimpa bencana seperti itu? Ah, tentu
saja tidak. Mungkin Anda bukan orang yang sensitif bahkan terhadap kejanggalan
di organ tubuh Anda sendiri.
Oke. Kembali
kepada masalah uang seratus perak. Anak-anak kecil sekarang banyak yang
mengerti tentang uang. Segalanya butuh uang. Susu, makanan ringan, mainan,
jajanan di sekolah dan di rumah, sepatu, buku, tas, ya segalanya butuh uang.
Anak kecil sudah tahu itu. Bahkan mereka sudah tidak mau lagi menerima uang
seratus perak sebagai uang jajan di sekolah.
Tentu saja tidak
mau. Uang seratus perak tidak berguna. Itu hanya cukup untuk membeli permen
satu bungkus kecil. Dan beberapa menit kemudian habis di dalam mulut. Mereka
juga tidak mau menghargai uang seratus perak sebagai sebuah jerih payah yang
patut disyukuri.
Bagaimana tidak,
orang-orang dewasa yang mungkin juga termasuk orang tuanya juga tidak
menanamkan rasa syukur untuk hal-hal kecil kepada anak-anak mereka. Mereka
selalu mengharapkan sesuatu yang besar dan mewah. Untuk hal-hal kecil, lebih
baik tidak dipikirkan atau dilupakan secepatnya. Tidak pantas mengingat hal-hal
kecil apalagi untuk disyukuri.
Tuhan Maha Kaya.
Dia akan memberikan sesuatu yang besar, kata mereka.
Mereka lupa kalau
Tuhan tidak sekaligus memberikan uang satu milyar jatuh bedebum di atas sajadah
ketika berdoa. Itu mustahil. Tuhan saja menciptakan manusia dengan proses yang
panjang. Itu Tuhan. Tuhan juga menciptakan alam jagat raya ini dengan proses
panjang yang logis, punya cerita selama beratus-ratus tahun dan menjadi ilmu
yang cabangnya dipecah-pecah dalam bidang yang lebih kecil. Ada astronomi,
geografi, biologi, fisika, dan apakah cukup kalau harus disebutkan satu per
satu? Itu hanya buang-buang waktu.
Tapi Tuhan tidak
membuang-buang waktu. Setiap proses yang Dia kerjakan adalah fakta ilmiah yang
kemudian manusia pelajari. Tidakkah manusia berpikir kalau itu berawal dari
sesuatu yang kecil. Sama seperti uang seratus perak.
Bukankah uang
seratus perak itu adalah benda kecil? Lalu kenapa banyak orang yang suka
mengerdilkan orang kecil? Sudah kecil masih dikerdilkan. Tidakkah itu jahat
sejahat-jahatnya manusia? Tuhan saja membesarkan sesuatu yang kecil.
Uang seratus perak
sama seperti jigong!
Aku ingat ketika
masih kecil. Kira-kira ya sekitar tahun 1994-lah. Uang seratus perak sangat
berharga bagiku. Bayangkan saja, aku bisa mendapatkan empat permen hanya dengan
membawa uang koin seratus perak. Bisa juga untuk membeli lotere (judi
kecil-kecilan) dalam bentuk permen atau mainan yang di dalamnya berbentuk
seperti lem kastol lalu ditempelkan di ujung sebuah pipa kecil. Dan ditiup perlahan
sehingga berbentuk balon transparan. Di dalam permen atau mainan gelembung itu
ada kertas yang berisikan nomor. Nomor-nomor itu yang menunjuk nomor hadiah
yang disediakan. Ada mainan terjun payung, wajan, pulpen, mie instan, dan
banyak lagi. Jadi, uang seratus perak bisa mendapatkan empat lotere (satu
lotere seharga Rp 25,-) yang bisa jadi membawa pulang wajan, mie instan atau
hadiah yang nilainya lebih besar dibanding uang seratus perak.
Benar itu. Uang
seratus perak di tahun itu atau tahun-tahun sebelumnya mash sangat berharga.
Bahkan ongkos angkutan umum untuk mobil colt masih seharga seratus perak untuk
jarak sekitar 8 km.
Sekarang, uang
seratus perak hanya seperti dahak di tenggorokan. Bikin gatal dan kesulitan
bernapas. Punya uang seratus perak di dompet hanya tinggal di lempar ke selokan
dan hilanglah semua penderitaan hidup.
Iya, dan sekarang
sudah tahun ke berapa? Bayangkan saja betapa pailitnya hidupku dengan uang
sekecil itu. Sementara di luar sana banyak orang yang di dompetnya penuh dengan
lembaran uang seratus ribu. Camkan itu, seratus ribu bukan seratus perak.
Mereka mudah saja membelanjakan uang sebesar itu seperti bernapas di pagi hari
di atas pegunungan sejuk yang dipenuhi dengan pepohonan. Mereka bernapas lega.
Dan tahu tidak,
uang seratus ribu di jaman sekarang sudah sama berharganya dengan uang seratus
perak di tahun 1994 atau tahun-tahun sebelumnya.
Dan di kantong
celanaku hanya ada uang seratus perak. Itu pun koin lebar yang dibuat pada
tahun 1978. Satu sisi bergambar rumah Minangkabau, kukira dan sisi yang lain
bergambar wayang. Itupun kudapatkan dari temanku yang awalnya ingin membuang
uang koin itu. Kuminta saja daripada memungutnya dari tempat sampah.
Ini sangat
berharga. Kenapa harus dibuang? Tanyaku.
Dia hanya
menggeleng sambil mengangkat bahu. Lalu kuminta koin itu dan dia pergi begitu
saja setelah koin seratus peraknya berpindah ke tanganku.
Hah? Begitu mudahnya
dia membuang hal kecil. Seperti membuang kulit kacang setelah dia memakan
isinya. Dan yang paling parah lagi sikap itu seperti ketika buang hajat.
Setelah kotorannya jatuh di lubang pembuangan lalu disiramnya dengan air hingga
kotoran di dalam perutnya telah berpindah ke tempat penampungan tinja di dalam
septic tank.
Menjijikkan?
Memang. Sikap tidak peduli seperti itu yang menjijikkan. Bukan karena membuang
yang seharusnya dibuang. Bukan kotorannya yang menjijikkan. Paham maksudku?
Begini. Aku bahkan
tidak pernah merasa jijik kalau harus mengacak-acak tinjaku sendiri untuk tahu
apa yang bisa kupelajari dari itu. Tidak. Sama sekali aku tidak jijik. Bukankah
itu adalah sesuatu hal yang wajar ketika kita makan sesuatu maka kita juga
harus mengeluarkan sesuatu. Ada hukum timbal balik di dalamnya. Dan Tuhan
membuat hukum-hukum alam yang ada di dunia ini sangat sederhana sampai kita
tidak merasa bahwa itu adalah nikmat.
Patut kita
bersyukur. Kenapa tidak? Tinja adalah sumber nutrisi untuk makhluk hidup yang lain.
Masih ingat pelajaran Biologi tentang rantai makanan di Sekolah Dasar dulu kan?
Kalau Anda sudah lupa, berarti Anda sama menjijikkannya dengan temanku yang
mengerdilkan uang koin seratus perak yang kini ada di tanganku.
Bukankah itu
pelajaran yang cukup sederhana? Rantai makanan—proses
makan-dimakan—timbal-balik—siklus hidup makhluk hidup. Bukankah begitu? Apakah aku
terlalu menjijikkan? Kalau memang iya, Anda sudah sepatutnya bersyukur sekarang
karena Anda tidak terlahir menjijikkan sepertiku.
Sengaja aku hanya
membawa uang koin seratus perak ke seorang penjaja bakso keliling yang
membonceng bakso dan berbagai peralatan lainnya di sepeda motor bututnya. Dia
sedang berhenti di sebuah pohon menunggu sekelompok muda-mudi menikmati
baksonya. Aku memamerkan koin seratus perak padanya sambil tersenyum.
Baksonya satu
mangkok Mas. Saya bayar dengan ini, kataku.
Suaraku cukup
lantang untuk menarik perhatian muda-mudi yang makan bakso. Meraka menatapku
tak percaya antara ragu, merasa lucu, dan simpati. Bisa kukatakan bahwa itu
bukan simpati, tapi mendadak kasihan melihatku dengan tampang tak berdosa
meminta semangkuk bakso seharga seratus perak yang dibuat pada tahun 1978.
Masyaallah. Boleh.
Saya kasih tiga mangkok kalo perlu. Kata tukang bakso itu tak kalah lantang.
Hening.
Keheningan ini
bukan tanpa sebab karena muda-mudi yang awalnya menyimpan perasaan campur aduk
terhadapku lebih campur aduk lagi setelah mendengar pernyataan tukang bakso.
Aku pun begitu. Antara percaya dan tidak.
Mungkin aku
dibohongi. Tapi tidak. Tukang bakso itu dengan sigap mengambil koin dari
tanganku dan menyiapkan satu mangkok penuh bakso.
Saya sudah mencari
uang ini bertahun-tahun Mas. Istri saya marah-marah kalo saya mengerok
punggungnya pake koin seratusan yang sekarang. Sudah kecil, enteng, dan sakit
katanya, kata tukang bakso itu.
Oh, kataku.
Kemudian ia
menyiapkan dua bungkus bakso dalam plastik transparan.
Ini untuk dibawa pulang, katanya.
Ini untuk dibawa pulang, katanya.
Aku mengerti
sekarang.
Biodata Penulis
Lutfi
Kurniawan lahir dan tinggal di Situbondo. Aktif menulis di blog pribadi
uwanurwan.com
Cerpen Seratus Perak
Reviewed by takanta
on
Mei 20, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar