Kota yang Bernama Kata
wallpaperbetter.com |
Saya
turun di stasiun kota ini tepat tiga hari setelah memutuskan untuk pergi dari tempat saya
berasal. Ada firasat aneh memang saat saya baru menginjakkan kaki di kota ini.
Beberapa orang terlihat duduk di bangku tunggu stasiun dan termenung, sekilas
seperti diam dan tak melakukan apa-apa. Namun beberapa orang nampak tetap
melakukan aktivitas seperti normalnya keramaian di kota-kota lain.
Saya
keluar dari pintu stasiun dan langsung menghampiri salah satu taksi bercat
kuning yang parkir tepat di seberang pintu keluar stasiun. Lagi-lagi beberapa
orang di luar stasiun juga melakukan hal yang sama, beberapa nampak tidak
melakukan apa-apa dan hanya duduk atau berdiri ala kadarnya.
Tanpa
ambil pusing dengan beberapa orang di kota ini, saya bergegas menghampiri taksi
di seberang stasiun. Saya mengetuk kaca mobil sedan kuning itu dengan jari
telunjuk. Awal tiga kali saya ketuk,
tidak ada respon kaca mobil ini akan diturunkan. Saya ketuk berulang-ulang
dengan jari telunjuk yang sama. Tetap tidak ada respon sama sekali.
“Pelancong
dari mana?”
Terdengar
suara yang mengarah tepat pada tempat saya berdiri, namun itu bukan dari mobil
sedan kuning di hadapan saya ini.
“Dia
sedang tidak bekerja. Anda naik taksi saya saja.”
Suara
itu ternyata dari taksi lain yang berjarak beberapa langkah di samping kiri
saya.
“Mau
pergi ke mana?” tanyanya.
“Antar
saya ke tempat penginapan yang dekat dengan taman di kota ini. Bisa?”
“Tentu
bisa, ada sebuah penginapan tepat di ujung gerbang taman kota ini. Saya kira
itu sesuai dengan permintaan Anda. Mari, silahkan masuk.”
***
Kota
ini begitu sunyi. Sekilas seperti kota kumpulan orang-orang yang putus asa,
muram dan kosong. Beberapa hari tinggal di sini saya sudah mulai terbiasa
dengan tabiat orang-orang di kota ini.
“Pak
sopir, kenapa beberapa orang nampak diam dan termenung?”
Tanya
saya sewaktu baru pertama sampai di kota ini, dulu.
“Kenapa
Anda datang ke kota ini? Sebagai pelancong, bukankah masih banyak kota-kota
lain yang lebih baik untuk dikunjungi?”
“Saya
hanya mengikuti kaki dan kemauan saya mau pergi ke mana.”
“Begitulah,
orang-orang di sini yang Anda lihat termenung itu. Mereka juga mengikuti sebuah
kemauan.”
Pada
suatu sore, saya jalan-jalan keliling taman kota yang dekat dengan tempat saya
menginap. Begitu banyak orang-orang berpasangan – yang entah mengapa kali ini
dalam pandangan saya mereka begitu bahagia. Ada seorang laki-laki tua yang memainkan
biola untuk wanita tua di hadapannya, ada seorang laki-laki muda yang
membacakan sajak untuk kekasihnya, ada seorang laki-laki buta yang bermain
seruling, dan ada sepasang kekasih yang saling bergandengan tangan sambil
melihat dan menikmati keindahan sore. Selain bunga-bunga, taman ini begitu
berwarna karena dipenuhi dengan orang-orang yang jatuh cinta.
Sore
itu, saya hanya duduk-duduk di bangku taman kota ini sendiri, dan tanpa saya
sadari seorang wanita menghampiri dan duduk tepat disebelah saya.
“Pelancong
dari mana?” tanya wanita itu kepada saya.
“Saya
berasal dari kota B, baru tiga hari yang lalu singgah di kota ini.”
“Buronan?”
tanya wanita itu.
“Maaf,
apa maksud Anda?”
“Kota
ini berisi buronan yang lari dari kota tempat mereka sebelumnya berasal, apa Anda
juga buronan?”
Dahi
saya mengkerut, tiba-tiba kebingungan dan keraguan melanda saya.
“Maaf,
tapi dalam pandangan saya, orang-orang di kota ini tidak terlihat seperti
buronan. Termasuk juga Anda. Bukankah buronan itu sama dengan penjahat? Dan
satu lagi, orang-orang yang jatuh cinta di taman ini sama sekali tidak terlihat
seperti seorang buronan.” Jawab saya.
“Mereka
itu buronan, termasuk juga saya. Saya menetap di kota ini sudah satu tahun
lamanya, sebelumnya saya berasal dari kota D. Dan setelah memutuskan tinggal di
kota ini, saya tentu juga akan dicap sebagai buronan.” tambah wanita itu.
Sebelum
sempat saya bertanya banyak hal kepada wanita itu, ia sudah berdiri dan pamit
pergi kepada saya disertai dengan sebuah senyuman.
“Setiap
sore, saya selalu berkunjung ke taman kota ini. Jika ingin tahu banyak hal
tentang kota ini, silahkan temui saya esok hari lagi.” Katanya kepada saya.
Wanita
itu berjalan dan pergi menjauh, sejalan dengan hilangnya matahari sore dalam
mega merah kesenduan. Bulan sudah bersiap untuk melanjutkan tugasnya malam ini.
***
Sejujurnya saya sedikit ragu dengan apa yang
diucapkan wanita yang saya temui di taman kota kemarin. Dalam pandangan saya,
orang-orang di kota ini memang tidak terlihat seperti seorang buronan. Dan jika
benar mereka adalah buronan, bukankah di kota ini juga ada polisi? Sudah pasti
mereka semua akan ditangkap dan kota ini akan ditutup. Saya semakin ragu dan
untuk menghilangkan keraguan itu, saya memutuskan untuk menemui wanita itu di
taman kota sore ini.
“Bagaimana?
Apakah sudah yakin bahwa saya dan orang-orang di kota ini buronan?” sambut
wanita itu ketika saya berjalan mengahampirinya di bangku kayu taman kota.
“Sejujurnya
saya ragu. Dalam pandangan saya, saya tidak menemukan gelagat bahwa Anda dan
orang-orang di kota ini adalah buronan. Dan juga, bukankah di kota ini ada polisi? Jika benar Anda dan orang-orang
di kota ini adalah buronan, bukankah sudah pasti kalian akan ditangkap dan
dikembalikan ke kota tempat kalian berasal? Sedangkan yang saya lihat setelah
beberapa hari di kota ini justru sebaliknya. Saya melihat polisi di kota ini
begitu ramah, dan saya juga pernah melihat seorang pria berseragam polisi yang
membacakan sajak untuk kekasihnya.”
Tanpa
saya duga, wanita itu justru tertawa mendegar jawaban atas keragu-raguan saya
terhadap pernyataannya.
“Anda
ini lucu, Pelancong. Apakah Anda mengira buronan itu pasti penjahat atau
orang-orang yang jahat?” tanya wanita itu kepada saya.
“Bukankah
memang demikian? Di kota saya sebelumnya, buronan sudah pasti dicap sebagai
penjahat yang lari atas dakwaan yang diterimanya.” Jawab saya.
Wanita
itu justru semakin tertawa mendengar jawaban saya.
“Sudahlah,
Pelancong. Anda harus yakin bahwa orang-orang di kota ini adalah buronan,
termasuk saya dan Anda juga. Kita adalah buronan yang paling dicari di kota
tempat kita berasal sebelumnya. Bukankan Anda sudah memutuskan untuk pergi dari
kota B sebelumnya? Saya yakin di sana, Anda adalah orang yang paling dicari.”
Tambah wanita itu.
“Saya
memang memutuskan untuk pergi dari kota B, kota asal saya. Tapi bukan berarti
saya pergi karena telah melakukan kejahatan besar di sana.”
“Bukankah
Anda pergi karena di sana tidak bebas melakukan kehendak Anda? Seperti juga
Anda, saya dan orang-orang di kota ini juga demikian.”
“Kota
ini adalah kota yang bernama Kata. Semua orang di sini adalah buronan dan
merupakan tokoh cerita yang lari karena dipaksa melakukan sesuatu di luar
kehendaknya. Di tempat asal saya, saya adalah tokoh utama dalam cerita. Di
sana, saya dipaksa untuk jatuh cinta kepada tokoh laki-laki yang sama sekali
tidak saya cintai. Dan orang-orang di kota ini juga demikian, ada sopir taksi
yang dalam cerita harus melakukan tindak kejahatan, ada pemain biola yang sebetulnya
lebih senang menjadi pemain piano, ada sepasang kekasih yang dipisahkan karena
alur cerita memang menghendaki demikian. Kota ini adalah kota di mana tokoh
cerita bebas melakukan apa yang mereka mau. Saya kira Anda juga demikian.”
Tambah wanita itu.
Sejujurnya,
apa yang dikatakan wanita itu adalah benar adanya. Saya adalah tokoh utama
dalam cerita di kota saya. Saya memutuskan pergi dari sana, karena saya tak
kunjung dipertemukan dengan kekasih saya.
***
Pada
suatu sore, seorang laki-laki duduk di bangku kayu yang menghadap jendela.
Tidak jelas apa yang ia lakukan, apakah sedang menunggu, melamun, atau merindu.
Tepat
di sudut ruangan, seorang penulis muda bergumam lirih,
“Sudah
jangan risau, cepat atau lambat kalian pasti akan bertemu. Saya masih sibuk
menyelesaikan cerita lain yang lebih disukai orang-orang.” Katanya.
Dan
seakan tak hirau, tokoh laki-laki yang duduk menghadap jendela itu tetap
menunggu, melamun, dan merindu. Berharap secepatnya dipertemukan dengan kekasih
dalam cerita mereka.
Setelah
kejadian itu, tanpa pikir panjang saya memutuskan pergi dari kota tempat asal
saya, dan memilih untuk tinggal di kota ini. Walau itu artinya saya tidak akan
pernah bertemu lagi dengan kekasih saya dalam cerita yang lama. Satu hal, saya
tetap mencintai kekasih saya dalam cerita itu. []
Biodata penulis
Nama
: Haryo Pamungkas
Email
: pakujatuh@gmail.com
Penulis
lahir di Jember, Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh bangku kuliah semester
empat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember. Anggota LPM Ecpose dan
PMII. Menyukai cerita dan puisi sejak sekolah dasar, namun mulai menulis ketika
sekolah menengah atas.
Kota yang Bernama Kata
Reviewed by takanta
on
Mei 06, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar