Ketika
puasa yang dilakukan oleh ular menghasilkan kulit yang baru, dan ayam yang
berpuasa menghasilkan anak ayam, lalu apa yang dihasilkan oleh puasa manusia?
Oleh
: Rusdi Mathari
APA
yang membedakan antara orang yang berpuasa dengan orang yang kelaparan? Secara
obyektif tidak ada. Perut mereka sama-sama melilit, sementara mulutnya juga
kering. Napasnya bau. Namun secara subyektif keduanya niscaya berlainan: Orang
yang berpuasa, sengaja berniat melaparkan diri dan orang yang kelaparan
kemungkinan besar memang tidak berniat untuk itu.
Karena
niat itulah, pada titik tertentu bisa menyebabkan orang yang kelaparan
misalnya, menderita busung lapar. Dalam beberapa hal sel-sel di lambung mereka
juga bisa mengalami kerusakan. Sebaliknya orang yang sengaja berniat berpuasa
malah bisa bertambah sehat, karena sel-sel lambungnya diistirahatkan untuk
bekerja.
Lalu
apakah dengan demikian puasa dari orang-orang yang memang berniat untuk itu,
memang bermanfaat meskipun katakanlah hanya menyangkut soal kesehatan? Belum
tentu. Karena bahkan puasa yang diniatkan sekalipun pada akhirnya bisa merusak
kesehatan bahkan lebih parah dari penderitaan orang yang kelaparan.
Itu
terutama bisa terjadi jika puasanya tidak dilakukan dengan sebuah kesadaran.
Orang yang berniat berpuasa tapi pada saat melakukan puasa masih memikirkan
hidangan apa yang akan menjadi santapan pembuka misalnya, adalah puasa yang
sekadar hanya memenuhi seruan ajaran. Akibat yang paling mungkin dari puasa
semacam itu adalah munculnya perilaku jiwa yang gelisah: gelisah menunggu saat
berbuka, gelisah kapan puasa berakhir dan sebagainya.
Dibandingkan
dengan ibadah yang lain seperti salat, zakat atau haji, puasa adalah ibadah
rahasia yang berbeda kadar dan nilainya. Bukan semata karena ibadah puasa tidak
memiliki gerakan atau tindakan kasatmata seperti gerakan-gerakan dalam salat
atau zakat dan haji itu—melainkan karena ia sepenuhnya adalah ibadah rasa. Dan
karena rasa itu adalah sesuatu yang rahasia maka yang tahu kadar dan nilai
puasa yang dilakukan sudah benar atau sebaliknya sebagai puasa, tentulah hanya
si pembuat rasa.
Orang
yang berpuasa mungkin saja tahu tapi pengetahuannya tentang puasa yang
dijalaninya kemungkinan besar hanya sebatas dugaan yang belum tentu tepat
kecuali hanya sebatas klaim dari rasa. Hadis qudsi dari
Muttafaq ‘alaih yang menegaskan “Setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya
sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Sesungguhnya
puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberi pahalanya” adalah isyarat
bahwa hanya Tuhan yang tahu rahasia dari puasa yang dilakukan makhluk
(manusia).
Dengan
kalimat lain, puasa sebetulnya tidak secara garis lurus berhubungan dengan
perut yang lapar, keringnya mulut, dahaganya kerongkongan, padamnya gelora
syahwat dan segala hal yang mungkin berkaitan dengan urusan kesehatan. Perut
yang lapar, kerongkongan yang dahaga dan syahwat yang padam hanya sebuah
pertanda agar manusia insaf dengan ketidakberadaannya sebagai manusia.
Jauh-jauh
hari Nabi Muhammad saw. sudah mengingatkan bahwa “Ramai orang berpuasa namun
hanya mendapatkan lapar dan dahaga.” Salah satu sebabnya, karena manusia memang
hanya sanggup mempuasakan jasmaninya, perut, mulut, kerongkongan dan organ seks
itu, tapi tidak dengan pikiran, jiwa, dan hatinya. Hasilnya bisa ditebak:lapar
dan dahaga yang diperoleh dari puasa tidak berbekas pada perilaku (akhlak)
bahkan pada saat ketika puasa itu sedang ditunaikan.
Tidakkah
ular yang menempuh puasa kemudian menghasilkan kulit baru yang lebih baik dari
kulit sebelumnya? Atau induk ayam yang berpuasa selama 21 harimenghasilkan
anak-anak ayam penerus kehidupan dan beruang kutub yang berpuasa pada musim
dingin menjadikan benih-benih ikan kod lebih siap diburu? Singkat kata, puasa
yang dilakukan dengan sebuah kesadaran betapa pun kesadaran itu hanya sebatas
naluri seperti binatang-binatang itu— pada akhirnya memang akan menghasilkan
sesuatu.
Maka
puasa Ramadan yang dilakukan orang-orang beriman mestinya menghasilkan sesuatu
itu: keinsafan untuk tidak lagi berperilaku takabur, tidak dengki, tidak
aniaya, tidak malas, tidak merasa paling dan sebagainya. Pada tataran yang
lebih luas, sesuatu itu bisa menjelma menjadi kesadaran untuk tidak melakukan
korupsi kendati peluang untuk itu ada, tidak menyuap atau menerima sogokan
untuk urusan apa pun, tidak kikir dan tak menumpuk harta, tidak sewenang-wenang
bila menjadi pemimpin, tidak khianat bila dipercaya, dan sebagainya.
Pada
wilayah yang sempit sesuatu itu bisa berupa kearifan pengetahuan (ma’rifat)
bahwa memang tidak ada yang pantas dimasukkan ke dalam pikiran, jiwa, dan hati
melainkan hanya Dia.
Selamat
berpuasa.
Rujukan
[1]
Disalin dari tulisan Cak Rusdi Mathari
[2]
Arsip rusdimathari.com
Mengapa Harus Puasa?
Reviewed by takanta
on
Mei 18, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar