Cerpen : Percakapan Malam Hari
Tanya seorang suami kepada
istrinya. Di sebuah malam yang dingin. Di hadapan meja bundar yang memamerkan
secangkir kopi.
“Kau sungguh menanyakan hal itu
kepadaku?”
“Tentu saja.”
“Aku tidak tahu.”
“Tapi kau harus menjawabnya.”
“Apa yang membuatmu menanyakan hal
itu? Apakah kau ingin menikah lagi?”
“Dan apa yang akan kau lakukan
ketika aku ingin menikah lagi?”
Sang istri memasang wajah yang
tidak biasa. Ia seperti ingin melemparkan cangkir yang berisi kopi itu ke
kepala suaminya. Tapi ia tak melakukannya.
“Kau sudah gila?”
“Justru aku jauh dari kata gila
ketika aku bertanya seperti itu.”
“Lalu apa maksudmu?”
“Entahlah.”
“Kau ini bagaimana!”
“Aku hanya ingin bertanya saja.
Karena kita tidak tahu, ada kejadian apa di hari-hari yang akan datang.”
“Tapi tolonglah jangan bahas hal
ini. Kita baru saja menikah. Dan pernikahan kita belum genap berumur seminggu.”
“Tapi ada sesuatu yang membuatku
bertanya-tanya. Tentang segala bentuk keyakinan yang harus kita bicarakan.”
“Ketika kau melamarku, bukankah kau
telah meyakini bahwa menikahiku adalah pilihanmu?”
“Bukan tentang itu, Sayang.”
“Lalu?”
“Kau tahu, aku bekerja di salah
satu perusahaan terbesar di kota ini. Dan aku adalah seorang manajer. Dan
sekretaris-sekretaris di sana banyak yang lebih cantik darimu.”
“Kau terlalu jujur, Sayang.”
“Tentu aku harus jujur.”
“Lalu apa yang harus kita bahas?”
Sang suami mulai meminum kopi yang
sejak tadi berdiam diri di tengah-tengah percakapan mereka. Ia rasakan pahit
dan manis yang begitu pas. Kini sepasang mata mereka saling bertukar sorotan.
Masuk ke dalam sebuah ruang yang paling sunyi daripada kesedihan.
“Hem ya... jadi bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”
“Ya... jika aku ketahuan
selingkuh.”
“Kau berniat selingkuh atau kau
takut jika kau ketahuan selingkuh?”
“Tidak ada yang aku takutkan.”
“Lalu ke arah mana tanda tanyamu
itu?”
Sang suami menarik napas
dalam-dalam. Dan ia melenturkan lidahnya, agar kalimat-kalimat yang keluar
selanjutnya akan lebih mudah dipahami oleh istrinya.
“Coba kita sama-sama membayangkan,
suatu saat nanti, ketika kita telah mempunyai anak, dua atau tiga. Dan mereka
semua telah tumbuh dengan kasih sayang yang kita berikan. Coba kau bayangkan,
di saat itu, kau menemukan diriku tengah selingkuh dengan wanita lain. Dan
ketika hal itu terjadi, apa yang akan kau lakukan?”
Sejenak sang istri terdiam cukup
lama. Seakan-akan waktu berjalan dengan lambat. Ia seperti tak ingin menjawab
pertanyaan suaminya. Tapi terkadang sesuatu dalam hatinya memaksanya untuk
menjawab pertanyaan itu sebagai salah satu perjanjian yang akan mereka sepakati
bersama.
“Semua wanita yang telah bersuami
pasti akan memilih untuk berpisah.”
“Lalu bagaimana dengan anak-anak?”
“Biarkan mereka memilih untuk tinggal
dengan siapa.”
“Maksudnya, bagaimana perasaan
mereka ketika mengetahui orangtuanya berpisah?”
“Ya... itu salahmu, suruh siapa
selingkuh. Makanya jangan sampai selingkuh.”
“Maksudmu jangan sampai ketahuan
selingkuh?”
“Kau ingin mengujiku atau
bagaimana?”
“Sama sekali tak ada niatan untuk
mengujimu.”
“Tapi ini semua terkesan seperti
kau ingin menguji kesabaranku.”
Jam terpojok di angka 11. Di ruang
tengah itu, bersama cicak-cicak di dinding, bersama lampu yang terangnya
terbatas, bersama kertas-kertas yang berserakan, sepasang suami-istri itu
tampak duduk tak nyaman. Mata mereka terbuka lebar-lebar. Kadang, sang istri
menunduk. Kadang, sang suami menatap langit-langit.
“Sudahlah... mending kita tidur.
Ini sudah larut,” ucap sang istri kemudian.
“Tapi kau belum menjawab
pertanyaanku.”
“Aku sudah menjawabnya. Aku pilih
cerai!”
“Itu bukan jawaban. Tapi itu
tindakan.”
“Aku yakin, jika masalah ini berlanjut, sampai
subuh kita tidak akan tidur!”
“Ini bukan masalah. Tapi ini
bertujuan untuk mencegah masalah.”
“Kan... kau mulai bicara dengan
logika-logikamu.”
“Tapi aku serius.”
“Andai kita ini adalah tokoh dalam
sebuah film, mungkin sang sutradara ingin aku membunuhmu!”
“Tapi kita nyata.”
“Dan apa yang akan dilakukan oleh
tokoh yang nyata?”
“Sebelum kau minta cerai, aku lebih
dulu akan menceraikanmu.”
“Oh, begitu?”
“Ya.”
“Kurasa aku akan minta cerai malam
ini!”
Angin di luar seperti ingin
memasuki rumah mereka untuk mendinginkan suasana yang tengah mereka alami. Tapi
sang suami sejenak menarik ujung bibirnya, kemudian ia tertawa kecil.
“Apa yang kau tertawakan?”
“Aku hanya bingung dengan wajahmu,
ketika kau tampak marah.”
“Kau tahu, aku mencintaimu,” lanjut
sang suami.
“Dan?”
“Tapi bukan tidak mungkin, suatu
hari nanti aku akan selingkuh.”
“Jadi intinya apa?”
“Kau benar-benar ingin cerai ketika
aku selingkuh?”
“Ya. Tentu saja!”
“Apakah kau sanggup?”
“Aku malah membayangkan kau tak
akan sekuat itu ketika menghadapi kenyataan yang pahit,” lanjut sang suami.
“Nah, maka dari itu, yang perlu kau
lakukan hanyalah berusaha supaya kejadian yang pahit itu tidak terjadi.”
“Aku pasti akan berusaha sebaik
mungkin.”
“Baiklah. Kurasa pembahasan ini
sudah selesai.”
Sekarang, bagi mereka, waktu terasa
cepat berlalu. Kopi itu sudah dingin. Perasaan mereka sudah menjadi satu dalam
irama.
“Tapi....”
“Masih ada lagi?”
“Aku belum bercerita tentang
mimpiku.”
“Semenjak aku mengenalmu, dan
sampai saat ini ketika kau duduk di hadapanku sebagai suamiku, aku belum pernah
mendengar kau bercerita tentang apa yang kau mimpikan.”
“Maka ceritakanlah, aku akan
menjadi pendengar yang baik.”
“Apakah kau ingat, di pesta
pernikahan kita, ketika kita berdua duduk di kursi pelaminan, aku sempat
mencium keningmu dan berkata, ‘Aku mencintaimu.’ Kau tahu, pada saat itu aku
benar-benar merasa takut.”
“Aku takut mengecewakanmu,” lanjut
sang suami.
“Takut mengecewakanku?”
“Ya. Semalam sebelum pesta
pernikahan kita, aku bermimpi.”
“Lalu apa yang kau mimpikan?”
Sang suami kembali menggenggam
gagang cangkir kopinya. Tapi ia tak sadar kalau kopinya ternyata sudah habis. Kemudian
ia atur cara bernapasnya, ia pelankan suaranya.
“Dalam mimpiku itu, aku menemukan
seorang wanita berjalan ke arahku. Sebelumnya aku tak sadar jika itu adalah
dirimu. Tapi ketika kau mulai berkata, ‘Salmaaan... kau tak mencintaiku lagi?’
Dan kau mulai menangis. Setelah itu tiba-tiba kau pergi meninggalkanku. Dalam
mimpiku itu, aku bertanya, apa yang salah? Dan aku melihat ke arah samping,
seorang wanita lain sedang menggandeng lenganku dengan mesra.”
Sang istri terdiam sejenak.
“Jadi... mimpi ini yang membuatmu
bertanya-tanya?”
“Kata orang, mimpi adalah juga
seperti takdir.”
“Kau percaya itu?”
“Tentu saja aku tidak percaya.”
“Lalu kenapa kau merasa takut?”
“Aku hanya takut mengecewakanmu.”
“Hidup ini terlalu mudah bagi kita
yang sama-sama sudah saling mengerti satu sama lain. Aku percaya padamu, kau
tahu itu. Dan kau tahu, aku juga mencintaimu. Maka sebaik-baiknya ketakutan
adalah tentang bagaimana kau meyakini bahwa kau tak akan pernah
mengecewakanku.”
“Akhirnya, kau bisa juga
berkata-kata bijak.”
“Kau merendahkanku?”
“Tidak. Aku mencintaimu, Amalia.”
Di ruang tengah itu penuh dengan
tawa dan bahagia. Seakan-akan mereka seperti lahir kembali ke dunia. Hidup
memang diciptakan untuk keindahan. Sepasang suami-istri itu kemudian saling
memeluk. Tampak mesra. Sungguh indah. Siapa yang tak merasa bahagia ketika
hidup bersama dengan orang yang kita cintai?
***
Dua tahun kemudian mereka mempunyai
anak. Dua gadis kecil. Raina dan Ralina. Tapi sebenarnya apa yang mereka pikirkan
ketika menamai kedua anak kembarnya itu?
“Kita sudah punya anak.
Kebahagiaanku sungguh bertambah besar,” ucap sang istri di sebuah malam yang
hangat, ketika duduk di hadapan meja bundar, juga di hadapan suaminya.
“Oh ya, ada yang ingin kutanyakan,”
lanjutnya.
“Apa? Jangan bilang kau ingin
mengulang pertanyaanku dua tahun yang lalu.”
“Bukan kok.”
“Jadi apa yang ingin kau tanyakan?”
Sang istri mengambil napas
dalam-dalam. Ia lembutkan suaranya, “Apa yang akan kau lakukan ketika kau tahu
anak kembar itu bukanlah darah dagingmu?”
Sejenak sang suami terdiam,
kemudian ia membalikkan badan. Ia melotot tajam ke arah anak kembar yang
dibiarkan duduk di sebuah karpet depan televisi. Ketika anak kembar itu melihat
cara ayahnya menatap, mereka yang belum mempunyai gigi itu kemudian tertawa dan
memukul-mukul pahanya sendiri. Lucu Sekali.
“Kau sungguh menanyakan hal itu
kepadaku?”
“Ya. Tentu saja.”
“Aku akan tetap mencintaimu,
Amalia.” (*)
Jember, 2018
Alif Febriyantoro, kelahiran 23 Februari 1996, asal Situbondo. Suka melamun.
Cerpen : Percakapan Malam Hari
Reviewed by Redaksi
on
Mei 27, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar