wide-wallpapers.net |
Elia
Oleh
: Imam Sufyan
“Aku
lebih mencintai mamamu di banding dirimu.”
Wanita
didepannya bungkam. Tak ada suara yang bisa diucapkan saat lelaki di depannya
mengucapkan kata-kata yang sungguh diluar dugaannya selama ini. Ia pun menjadi
bingung antara mengikhlaskan pacarnya atau membenci ibunya yang telah merebut
pujaan hatinya.
“Percayalah,
rasa itu baru saja tumbuh. Belum terlalu mekar tapi daunnya sudah berwarna terang
.”
Wanita
itu tetap saja bungkam. Ia tak bisa berkata-kata. Pandangannya terus ke bawah
menahan air mata agar tak tumpah dihadapan laki-lakinya. Lelaki yang selama ini
di ceritakan kepada teman-temannya ternyata mencintai mamanya.
“Berikan
aku satu alasan kenapa kau lebih mencintai mamaku.” Kata si wanita memulai.
Suarannya rada-rada basah. Dimatanya ada bulir-bulir air mata yang ditahannya.
”Apa
rasa cinta harus beralasan?”
“Aku
rasa kau lebih pintar terhadap hukum dari sebab-akibat.”
“Mustahil
kau mencintai tanpa ada sesuatu hal yang kamu suka.” Lanjutnya menekan.
“Karna
mamamu membaca buku.” Jawabnya singkat.
“Bohong.”
Bentaknya.
“Apanya
bohong? Kau tahu bagaimana sikapku terhadap orang-orang yang membaca buku.”
“Bukankah
aku juga membaca buku?”
“Ya
kau membaca buku, tetapi mamamu yang mendidikmu untuk mencintai buku.”
“
Aku Tanya sekali lagi.”
“Silahkan.”
“Apa
kau juga akan mencintai wanita lain jika ada yang melebihi dari mamaku dalam
membaca buku.” Kali ini pertanyaannya membuat si lelaki kesulitan menjawab.
“Tentu
saja tidak.”
“Kau
ini berbicara seakan dunia ini sempit.”
“Dunia
ini sempit. Tapi bukulah yang membuatnya luas.”
“Silahkan
pergi dan jangan pernah kembali lagi. Aku tak pernah setuju jika mamaku bersamamu.”
Ucapnya langsung meninggalkan si lelaki.
***
Kejadian
malam itu membuatnya sedih sekaligus ragu. Ia tak mungkin membenci mamanya
hanya karena seorang lelaki desa yang kutu buku. Ia pun tak menyangka akhir
dari kisah cintanya putus karena mamanya yang suka membaca buku. Batinnya terus
menerus tertekan. Ia mulai sedikit menjauh dengan mamanya dan berusaha untuk
menyembunyikan akhir dari hubungannya dengan sang pacar. Tak mungkin juga ia
bercerita kalau ia putus gara-gara mamanya.
“Dasar
kutu kupret.”
Buku-buku
yang tertata rapi di rak kamarnya diliatnya dengan penuh kebencian. Diambilnya
buku yang sudah ia baca. Ada banyak coretan stabilo. Coret-coretan itu adalah
saran mantan pacarnya agar mencoret kalimat yang layak untuk diingat.
Ditutupnya buku yang ia pegang. Cepat-cepat ia letakkan kembali di tempat
semula. Ia mulai sadar, setiap teks yang ia coret dalam buku ada kenangan yang
membawa ia dengan mantan pacarnya. Teks-teks itu terbang ke dalam ingatannya
mengingatkan kembali pada kekasih yang lebih mencintai mamanya.
Buku
yang selama ini ia beli bersama mamanya setiap sebulan dua kali dianggapnya
sudah tak layak lagi untuk menemaninya. Karena mama dan mantan kekasihnya yang
memperkenalkan buku. dua orang yang selama ini dihormatinya ternyata
mengorbankan perasaannya. Ia pun mengakui berpacaran dengan seorang kutu buku
terlebih yang menyukai buku-buku sastra memiliki perbedaan dibanding pacaran
dengan orang yang tidak menyukai buku.
“Aku
takkan lagi membaca buku.” Batinnya
Hari-hari
yang pada biasanya ia lakukan dengan membaca kini berubah dan tak mau lagi
membaca. Jangankan membaca untuk mendekati saja ia mulai enggan. Baginya buku
adalah bencana yang mengorbankan perasaannya.
Mamanya
yang selama ini selalu memperhatikan gelagat si anak mulai menaruh curiga
terhadap tingkah lakunya akhir-akhir ini. sudah tidak lagi ia bercerita
mengenai isi buku. tidak lagi membawa buku saat bepergian. Dan yang paling
tragis ia mulai menjauh dengan dirinya.
“Elia,
mau kemana?” Tanya mamanya sambil meletakkan buku yang ia pegang.
“Mau
ke rumah teman.” Jawabnya tanpa melihat mamanya yang sudah berdiri
mendekatinya.
“Dengan
Bayan kah?”
Tak
dijawab. Elia langsung nyosor begitu saja tanpa menghiraukan mamanya. Mamanya
gelisah. Tak seperti biasanya anak satu-satunya bersikap demikian. Akhirnya
mamanya ke kamar Elia dan berharap mendapat alasan tentang sikap si anak yang
berubah akhir-akhir ini. Dilihatnya dengan teliti kamar si anak. Tak dapat
jawaban. Buku-buku yang biasa berserakan
tertata rapi. Tak ada satupun buku yang berada disamping bantalnya.
Esoknya,
saat Elia hendak pergi mamanya memanggil dan hendak mengajak untuk bepergian ke
toko buku.
“Saat ini Elia lagi banyak tugas kuliah, Ma.
Jawabnya menghindar ajakan.
“Sebenarnya
ada apa denganmu, Nak?” Tanya mamanya dengan lembut. Karena anak satu-satunya
jarang mamanya berbicara keras kepadanya. Bahkan tidak pernah. Wanita di
depannya ini adalah titipin ayahnya untuk menjaga sebaik-baik dan
selembut-lembutnya. Sebelum meninggal, ayahnya pernah berpesan agar menjadikan Elia untuk menjadi pribadi yang gemar membaca buku. terutama buku sastra.
“Wanita
pembaca sastra setidaknya mampu menebalkan kelembutannya.” Pesan ayahnya.
Elia
tak menjawab pertanyaan mamanya. Matanya tertuju ke jari-jari tangan yang
dimainkannya. Di depan meja mamanya terdapat buku Gadis Pantai karangan
Pramoedya Ananta Toer. Beberapa hari ini Mama memang lagi kegandrungan
karya-karya Pram yang berkaitan tentang wanita.
“Mungkin
bacaan mama yang demikian membuat dirinya menjadi kuat seperti saat ini.” Ujar Elia
dalam hati.
“Nak,
sebenarnya ada apa denganmu?”
Elia
masih tak menjawab. Mamanya mendekatinya dan merengkuh badannya untuk bersandar
ke pundak mamanya.
“Hati
seorang ibu selalu dekat dengan anak-anaknya. Ia akan tahu masalahnya tanpa
harus anaknya bercerita.”
“Termasuk
persoalan cinta.” Lanjut mamanya sambil mencium jidat Elia.
Deg.
Elia mulai melepaskan diri dari pundak mamanya.
“Sedari
awal Mama tak pernah setuju hubunganmu dengan Bayan. Hanya karena ia pembaca
buku yang baik mama membiarkan. Membiarkan, bukan menyutujuinya.” Kata mama Elia.
“Tapi
Bayan mencintai Mama.” Ujar Elia untuk pertama kalinya.
Mamanya
terkejut mendengar pengakuan Elia. Ia tak menyangka jika pacar dari anaknya
mencintai dirinya yang sudah berkepala tiga.
“Sampaikan
dengan Bayan, bahwa mama takkan pernah bisa mencintainya.”
“Kenapa,Ma?
Bukankah seharusnya Mama bahagia jika seorang lelaki mencintai, Mama.
Setidaknya bisa mengurangi kesepian Mama selama ini.”
“Karena
dia melukaimu, Nak. Satu-satunya wanita Mama. Satu-satunya. []
Biodata Penulis
Imam
Sufyan, pemilik Angkringan 99 dan buku. Aktivis Gerakan Situbondo Membaca.
Cerpen Elia
Reviewed by takanta
on
Juni 10, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar