Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas
Nazahra,
di tepi dermaga yang kebetulan kosong ini, pada sebuah senja yang juga
kebetulan sendu,
aku mulai berandai tentang banyak hal. Tentang bagaimana puisi dan hujan bisa
saling berhubungan, tentang sajak dan rindu yang sebetulnya saling berkaitan,
juga tentang dirimu. Aku mulai berandai jika seandainya aku bisa ceritakan
pengalaman beberapa waktu yang lalu. Saat itu benar-benar terjadi, aku pasti sudah
tenggelam dalam wajah penasaranmu, nyala mata ragumu. Atau yang paling aku suka
selain kedua hal itu, saat raut wajahmu tergambar dalam situasi menunggu dan
saat itu kamu pasti berkata, “Aku suka saat kamu bercerita, seolah-olah aku
ikut menjadi tokoh ceritamu.” Semua itu bergerak dalam andaiku saat ini. Meski
aku tahu, kadang ceritaku memang membosankan dan sebenarnya tidak layak untuk
diceritakan. Namun, untuk yang satu ini aku benar-benar ingin ceritakan
kepadamu.
Saat
itu, aku tiba di
sebuah kota yang entah bernama apa dan letaknya di mana. Aku tidak tahu pasti
karena saat itu sebenarnya aku hanya ingin pergi dan jalan-jalan tanpa tujuan.
Aku tiba di kota itu pada suatu pagi. Matahari sedang bersiap naik ke langit
dan aku duduk memandangnya dari bangku kayu tua di taman kota.
Dan
tiba-tiba tanpa ada tanda sama sekali, hujan turun tanpa malu-malu. Dari kegelapan
awan di langit aku bisa perkirakan bahwa pagi ini seluruh kota dilanda hujan.
Dan Nazahra, seandainya kamu ada di sana bersamaku dan juga duduk pada bangku
tua itu, kamu pasti akan berkata, “Aku selalu suka hujan di pagi hari, seperti
embun dengan jumlah besar yang sejuk.” Dan sudah tentu juga kamu akan menatapku
lalu bersandar pada bahuku. Aku tahu itu pasti terjadi.
Tapi
kenyataannya saat itu aku duduk di bangku kayu tua itu sendiri. Aku biarkan
saja hujan mengguyurku tanpa malu, seperti kamu tanpa malu bersandar pada
bahuku. Aku biarkan hujan membasahi seluruh bagian tubuhku tanpa terlewat
sedikitpun. “Untuk pagi ini aku rela basah kuyup. Kota ini mengucapkan selamat
datang padaku,”
pikirku saat itu. Menjelang siang, matahari sudah merangkak naik ke langit. Aku
putuskan pergi dari taman kota itu dengan kuyup di seluruh badan. Dan aneh
Nazahra, orang-orang di kota ini tidak memperlihatkan tanda-tanda basah kuyup.
Aku jadi curiga, apakah tidak ada orang yang ke luar rumah di pagi hari? Saat
itu aku hanya bisa beranggapan bahwa mungkin saja tadi malam berita cuaca
menginformasikan bahwa pagi ini akan turun hujan dan seluruh orang bersiap-siap tidak ke luar sama sekali. Tapi
aku semakin curiga, satu hal di kotaku dulu, kota tempat kita tinggal dulu,
bukankah pagi selalu ramai dengan aktivitas-aktivitas yang sebenarnya
menentukan jalannya hari itu?
Baru
kemudian, setelah beberapa hari tinggal di kota itu aku baru tahu sesuatu yang
mungkin orang lain tidak akan percaya, selain kamu tentunya. Kota itu setiap
pagi selalu diguyur hujan, entah itu pada musim kemarau sekalipun. Dan mungkin
kota ini yang menjadi impianmu dulu. Sejujurnya aku juga tidak percaya jika ada
kota yang demikian anehnya. Tapi aku benar-benar berada di kota yang selalu
diguyur hujan setiap pagi saat itu. Kamu bisa bayangkan betapa sejuk kota itu
setiap pagi. Betapa semua orang akan menyambut hari dengan secangkir kopi atau
teh hangat sambil bercengkrama tentang sepotong puisi, misalnya. Dan aku baru
sadar bahwa dunia yang kita tinggali ini masih menyimpan banyak keanehan yang
tersembunyi.
Saat
itu aku begitu penasaran dengan kota itu. Maka setiap pagi aku selalu ke luar
untuk sekadar menikmati hujan di pagi hari. Tapi semakin aneh, aku tidak
menemukan potret orang yang bercengkrama sama sekali, apalagi orang yang
membicarakan hubungan hujan dengan puisi. Aku tak menemukan potret itu sama
sekali. Aku lihat orang tidak menganggap hujan di pagi hari begitu istimewa.
Orang berbicara di angkutan umum masalah pekerjaan, warung kopi dipenuhi orang
yang mengeluh soal naiknya harga bahan pangan, koran-koran yang membahas
kerusuhan. Aku jadi bertanya-tanya pada diriku saat itu, ke mana bentuk
istimewa hujan dan ke mana puisi yang membungkus hujan itu?
Maka
begitulah Nazahra, aku menemukan kota yang istimewa tapi tidak dengan
orang-orang yang hidup di dalamnya. Ternyata kota itu sama dengan kota-kota
lain. Orang-orang di dalamnya hidup tanpa waktu, membosankan. Saat itu juga,
setelah tujuh hari tinggal di sana aku
memutuskan untuk pergi dari kota itu.
Aku
ingin menceritakan pengalamanku tinggal di kota itu kepadamu. Kota yang setiap
pagi selalu diguyur hujan, kota yang istimewa di mataku dan tentu juga di mata
kita. Tapi tidak dengan orang-orang yang hidup di dalamnya.
Aku
jadi ingat satu hal, mungkin saja jika aku pergi ke kota itu denganmu, maka kota
itu tidak semembosankan yang aku kira. Kamu pasti mengajakku jalan-jalan di
pagi hari, menghirup campuran hujan pagi, udara, dan harum bunga yang entah
bisa digambarkan dengan kata atau tidak. Kamu pasti bilang akan tinggal di sana
selamanya, dan aku pasti setuju akan hal itu. Setiap pagi kita bisa
bercengkrama ria, berbicara tentang apapun. Setiap pagi kita akan menyambut
hujan dengan kopi dan teh hangat, dan aku pasti akan menambahkan sepotong puisi
atau cerita saat itu. Aku tidak bisa bayangkan betapa hal itu yang kita impikan
sedari dulu. Aku akan tersenyum melihat matamu yang dengan sayu menungguku
menghabiskan ceritaku. Dan juga kamu pasti akan bertanya banyak hal kepadaku
saat itu.
“Apa
bisa kamu buatkan rumah baru? Dengan atap yang terbuat dari sajak dan tiang
penyangga dari cerita pendek?”
“Apa
artinya sajak tanpa hujan?”
“Apa
arti puisi tanpa kerinduan?”
“Apakah
saat ini kita benar-benar hidup dan nyata?”
Dan
pasti akan kujawab semua pertanyaan itu tanpa ragu sedikitpun. Lepas itu kita
pasti akan tertawa dan menganggap seolah-olah kita adalah tokoh cerita yang
hidup dalam naskah “Kota dan Hujan Pagi”
***
Nazahra,
di tepi dermaga yang kebetulan kosong ini, pada sebuah senja yang juga
kebetulan sendu aku mulai berandai tentang banyak hal. Tentang bagaimana puisi
dan hujan bisa saling berhubungan, tentang sajak dan rindu yang sebetulnya
saling berkaitan, tentang hujan yang selalu hadir di sebuah kota, dan tentu
tentang dirimu.
Semua
andaiku hanya merujuk pada satu hal Nazahra, yaitu tentang dirimu. Apakah kita benar-benar hidup dan nyata? Atau kita
hanya bisa bertemu dalam naskah cerita? Apakah dirimu sebetulnya adalah diriku?
Semua itu melengkapi andaiku saat ini.
Di
tepi dermaga, pada sebuah senja yang kebetulan sendu ini. Aku bertanya pada
dirikun sendiri. Apakah kamu sebenarnya hanya tokoh ceritaku? Silahkan jawab
itu setelah kamu membaca semua ceritaku ini, Nazahra. Aku tunggu....
Biodata
Penulis
Haryo Pamungkas, lahir di Jember, Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh bangku kuliah
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember. Anggota LPM Ecpose dan PMII,
serta aktif di komunitas GenBI Jember.
Email:
pakujatuh@gmail.com
Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas
Reviewed by Redaksi
on
Juni 24, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar