Patung Kekasih dan Puisi Lainnya Karya Futihah Qudrotin
Firman
jatuh cinta
Dengarlah!
Jika boleh, aku tak ingin pensiun rindu
Aku ingin menjadi angin yang mengelus-elus
punggungmu
Aku ingin memeluk tanpa mengenakan lengan juga
tangan
Namun kau juga harus mengerti
(Aku benci kalimat ini)
Pernah, malam menyimpan tubuhnya di punggungku,
Yang bisa kutangkap hanya dingin yang menggigit
sampai ke tulang
Masih sebentar aku disini, tapi rusukku serasa
beku
Saban kuingat
Rupamu yang lekat
Lantas bagaimana pula aku segelisah itu?
Mimpiku tak lagi mendengkur
Kopiku tak lagi pahit!
Wahai dik Fitri,
Maukah kau kupinang menjadi istri?
Di bulan Mei?
Firmanku :
Gelas Kaca
Segar Ga
ris
lu
ka
Urip selagi belum ketemu ajal Maha Esa
Ikhlaskan sanubari sudi wujud dalam
dada
Menampung darah beku yang ternoda duka
Pedih rasa menahan tangis bisikan jiwa
Dalam permainan dunia yang kian tua
Seduhan hangat dalam gelas kaca
Dipayungi takdir sang Maha
Ramai mata
memerhati
goresan
alur gelas
kaca yang
semakin pecah
Bertepuk tampar
Seimbas cerca dirasa hina
Pilu dan sesal diwajahnya tak seindah
cempaka
Yang kini bertabur kegelapan tanpa
pelita
JEMBATAN TAK KEMBALI
Terik merebus dedaun yang mengering, padahal tak kemarau.
Tertanggal musim hinggap di bawah mendung, merangkul sesayap angin hujamkan
kutukan yang bersulang dari deras sungai di matanya, petir berlarian di
dadanya, diburu gerbong sejarah yang sembab dan gelap.
Rekaman kenangan terbatuk dalam nasib rabun. Kudengar asin
suaramu, beriak. Bagai ombak laut berkecipak. Tergelepar merangkul pantai.
“Jangan berhenti! Zaman akan membaca rajah tanganmu, mengheningkan detak yang
sungsang dan mungkin, badai akan menghalau suara ke udara, ke bukit, ke nadi
sungai. Walau harus engkau lalui jembatan tak kembali dan mengantar masa silam
yang mengalir dari jejak-jejak ngilu.”
Pantun-pantun leluhur menebah ritus sakral menjadi liur.
Menghibur dengan nyanyian berlembar igau dari teralimu, puisi atau mantera dan
ayat-ayat peneduh yang membakar linting terakhir di bibirmu walau kau masih
ingin bicara. Sementara kau terlahir di tanah Jawa yang konon sengaja
diciptakan dari dongeng kitab kuno. Bumi merubah nasib; pesta kawin, panen, dan
kematian tiba-tiba menjemput. Bumi dijajal !
Saat suara-suara itu kekal, harus kuseka dengan apa air
matamu?
Haruskah kutarik awan dan menutup mata airmu?
Patung
Kekasih
Udan riwis-riwis nggawa angin gumanti
tak kanthi tekanmu ing sak ngisore
payung
abot mikul rosoku ing njero ati
kahanan sing koyo mengkene iki atiku kerasa
patung
kepungkur pedut wayah esuk
janur kuning pun disawang melengkung
sinden lan dayang-dayange rawuh
pasuryanmu sing kagawa banyu mili turut
kali
lumingsiring wengi sliramu tumeking
sirna ing ati
Di kelopak mata bulat
pingpong menayang
mayat
Kidung yang tergugat
Bibir mungil mengunci rapat
Hidung bangir menghias ruhbanat
Anggun permaisuri diam ditempat
Kurva pelipisnya melipat penat
Apa yang dirasa syubhat
Jadi musim
Keramat
Biodata Penulis
Penulis kelahiran Jember, 30 Maret 1995, adalah seorang penulis
lepas. Pernah menempuh studi di FKIP
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember, aktif dalam kegiatan
musikalisasi puisi, dan teater TIANG UNEJ, Karya terakhir yang pernah terbit
berupa antologi puisi Jejak Hujan 2015, Penyair Tapal kuda - Merupa Tanah di
Ujung Timur Jawa 2015, Antologi naskah drama Dhadung Kepuntir, dan
Menyutradarai pementasan Patung Kekasih karya Simon Hate. Penulis dapat
dihubungi melalui akun facebook Futihah Qudrotin, e-mail: barufutihah@gmail.com
atau ponsel WA: 085746404629
Patung Kekasih dan Puisi Lainnya Karya Futihah Qudrotin
Reviewed by Redaksi
on
Juni 24, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar