Cerpen : Cerita untuk Kekasihku Karya Haryo Pamungkas
Cerpen Haryo .P
Sebenarnya aku mulai melakukan ini selang beberapa hari selepas kepergianmu. Aku ingat saat itu, aku sering membuat cerita dan beberapa puisi untukmu. Dan setelah itu aku selalu membacakan semuanya di hadapanmu. Saat itu kamu pasti tersenyum tersipu. Wajahmu memerah seperti senja yang sendu itu. Namun sejak kepergianmu, aku memutuskan untuk tetap membacakan puisi dan cerita itu kepadamu, atau lebih tepatnya tepat di depan pusaramu. Setiap hari, setiap pagi, aku tak pernah bosan melakukan hal itu. Semua orang tidak pernah percaya jika kukatakan kamu pasti mendengar cerita dan puisiku, lalu kembali tersenyum tersipu malu. Bahkan orang-orang mulai khawatir dengan kondisi jiwaku. Tapi bagiku, mereka yang menyebutku gila adalah orang-orang yang sok tahu. Tahu apa mereka soal rindu dan suara-suara di pusaramu? Senja yang menghanyutkan saja hanya dipotret dan direnungi sementara, bahkan, kadang temaram senja hanya berakhir di media-media yang lucu itu. Padahal senja lebih dari itu, kamu pasti setuju, bukan? Atas dasar itu aku tak pernah mendengar kata-kata mereka. Aku tetap membacakan puisi dan cerita itu kepadamu. Setiap hari, setiap pagi.
Pagi ini aku ingin pergi ke pusaramu lagi. Tidak lupa aku
bawa juga kembang mawar merah yang harum itu. Kamu pasti suka, kan? Tak usah
dijawab pun aku tahu. Kamu selalu suka kembang mawar merah. Katamu itu lambang
cinta, lambang rindu, lambang setia.
Kali ini, aku bawakan buatmu cerita tentang malam. Kemarin
malam hujan. Di depan beranda rumah aku duduk sambil ngobrol ria bersama hujan.
Tiba-tiba saat itu malam datang menghampiri,
duduk di sebelahku, kemudian berkata, “Eh, gelapku sebentar lagi habis. Pinjami
aku gelap tinta penamu,” begitu katanya. Daripada aku harus meminjamkan tinta
penaku, lebih baik aku biarkan saja gelapnya hilang. Toh, untuk apa gelap malam
lama-lama? Kebanyakan gelap malam hanya diartikan milik mereka yang suka
kejahatan. Padahal malam lebih dari itu, kamu pasti setuju, aku tahu.
Kita sudah sering bicara soal malam dan isinya. Soal
kunang-kunang yang bisa bersinar contohnya. Katamu itu lucu, “Apakah ada orang
yang berternak kunang-kunang ya? Mereka lucu.” Aku ingat satu pertanyaanmu yang
juga lucu itu. Bertenak kunang-kunang? Itu hanya bisa kamu temui di dalam cerita
pendek, Sayang.
Malam tetap bersikeras meminjam tinta penaku. Malahan dia
merengek-rengek minta sedikit saja penaku. Sebenarnya aku juga kasihan, tapi
tanpa tinta pena, bagaimana bisa aku tulis cerita atau puisi buatmu besok pagi?
Aku bilang saja, “Maaf tuan malam, saya butuh tinta pena buat cerita yang akan
saya persembahkan kepada kekasih saya. Saya harap Anda pengertian.”
Setelah kujelaskan begitu, malam berhenti merengek. Aku
lihat raut wajahnya malah menjadi penasaran. Walau wajah malam hanya gelap,
tapi aku tahu dia penasaran, dan akhirnya ikut mengobrol ria bersamaku dan
hujan.
“Kekasihmu ke mana?” begitu tanyanya.
Hujan berbisik kepadaku, katanya tuan malam ini sungguh
tidak sopan, setelah meminta tinta untuk gelapnya langsung tanya hal seserius
itu. Tapi, aku bilang saja kepada hujan dengan berbisik juga tentunya. Tidak
mengapa, aku dan malam sudah kenal sejak kecil. Dulu kami sering bermain
terutama saat purnama. Kami sudah akrab sejak lama. Aku bilang juga dulu saat
kamu masih ada, malam suka diam-diam mengintip kita saat berdua. Sebenarnya aku
juga tahu bahwa dia juga sering menguping perbincangan kita. Pertanyaan malam
saat itu hanya basa-basi, menghabiskan waktu menunggu gelapnya yang akan hilang
itu. Dan selang beberapa saat setelah kita berbincang tentang hal apapun, malam
tiba-tiba pamit.
Untuk hari ini gelapnya sudah habis katanya. Hujan sudah pamit
beberapa waktu yang lalu. Suara ayam jantan mulai terdengar dari selatan, suara
adzan shubuh juga mulai terdengar, Ash-shalaatu
khairum minan-nauum....
Setelah istirahat sejenak, aku mulai merangkum cerita yang
akan aku sembahkan kepadamu pagi ini. Dan aku tulis cerita ini diam-diam.
Mereka–orang-orang sok tahu itu mulai menempatkan aku di ruangan yang kecil dan
tertutup. Udara terasa begitu pengap dan suasana begitu gelap. Tapi aku tidak
kalah akal, aku bisa menulis cerita untukmu tanpa pencahayaan, tanganku bisa
bergerak dengan otomatis. Mungkin, itu sebab dorongan rindu yang menggebu.
Setelah aku rasa cerita ini cukup untuk aku persembahkan
kepadamu, aku meminta izin untuk pergi ke pusaramu. Saat itu, ibuku sedang
mengobrol dengan seseorang yang menggunakan jas putih. Aku tidak suka
kepadanya, di antara orang-orang yang sok tahu itu, menurutku dialah yang
paling sok tahu soal aku dan rindu. Dia sering berbicara macam-macam. Pernah
dia akan membakar seluruh puisi dan cerita yang khusus aku buat untukmu. “Anda
ini orang gila ya?” begitu kataku saat itu.
Namun entah mengapa saat ini dia yang justru mendorong ibuku
untuk memperbolehkan aku pergi ke pusaramu. Bahkan dia juga meminta maaf
kepadaku, katanya ceritaku soal suara-suara yang ada di pusaramu itu benar
adanya. Dan setiap puisi atau cerita yang aku tulis untukmu pasti akan didengar
olehmu. Tidak lupa dia juga berkirim salam kepadamu. Satu lagi orang gila yang akhirnya
sehat, kamu pasti setuju itu, bukan?
Pagi itu sebelum ke pusaramu aku berhenti sejenak di toko
kembang, aku pilih kembang mawar merah yang harum dan segar. Aku pilih kembang
kesukaanmu. Lalu aku berjalan dengan senang ke pusaramu, membacakan cerita yang
aku tulis diam-diam di ruang yang pengap. Bercerita soal malam yang merengek
karena akan kehabisan gelap.
Selepas itu, aku tidak berjalan pulang, karena sebelum aku
pergi ke pusaramu, orang yang menggunakan jas putih itu bilang bahwa aku bisa
mendengar suaramu lebih jelas di suatu tempat. Tempat itu berisi orang-orang
yang lebih suka berkhayal, suka bermimpi dan beberapa diisi oleh orang-orang
yang kalah saat pesta demokrasi. Katanya juga di sana aku bisa menulis cerita
sesukaku dan semauku tanpa ada yang pernah mengganggu. Disediakan pula orang
baik yang akan mengajariku menulis cerita untukmu. Walau aku tahu, itu berarti
aku tidak bisa ke pusaramu lagi setiap hari, setiap pagi, tapi untuk cerita
atau puisi yang lebih baik, mengapa tidak?
Aku berjalan dengan senang menuju tempat itu.
***
Aku mulai mengerti sekarang, Nazahra kekasihku itu telah
benar-benar pergi. Sekian banyak cerita dan puisi telah aku sembahkan
kepadanya. Dan aku tak akan pernah berhenti untuk itu. Namun, untuk saat ini
aku mulai menerima kenyataan bahwa raganya memang benar-benar telah pergi.
Nazahra, kekasihku itu, yang begitu menyukai kembang mawar merah dan gelap
malam, yang senyumnya ibarat temaram senja yang sendu dan menghanyutkan itu.
Dia telah benar-benar pergi. Setiap hari tinggalah aku dan malam yang saling
diam, bersama kunang-kunang, bersama kenang-kenang. (*)
Biodata penulis
Nama : Haryo Pamungkas
Email : pakujatuh@gmail.com
Profil singkat
Penulis lahir di Jember, Jawa Timur. Saat ini sedang
menempuh bangku kuliah semester empat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Jember. Anggota LPM Ecpose,PMII, dan GenBI Jember. Menyukai cerita dan puisi
sejak sekolah dasar, namun mulai menulis ketika sekolah menengah atas.
Cerpen : Cerita untuk Kekasihku Karya Haryo Pamungkas
Reviewed by takanta
on
Juli 15, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar