Cerpen : Bibit Dosa Karya Ken Hanggara
Oleh Ken Hanggara
Pagi itu Bapak meninggal di kasur. Ketika pelayat
berdatangan, aku pergi. Dan ketika aku pergi, orang-orang tidak menahanku.
Mulanya aku merasa ada yang tidak beres. Sebulan terakhir Bapak pulang pagi,
dan kalau ditanya dari mana, dia tidak menjawab. Lain kesempatan, kubanting
piring di depannya. Bapak merespon dengan marah.
Aku sadar, kalau melawan, aku tidak menang. Tubuhku
kecil, dan walau Bapak bilang kemungkinan tubuh ini dulu bisa menjadi tulang
belulang, aku tertawa. Bahkan detik ini pun tubuhku tinggal tulang sama kentut.
Aku anak durhaka, begitulah Bapak menyebutku. Menurutnya,
jika seorang anak tidak patuh pada orangtua, bisa dosa, walau bapaknya bejat.
Di masa lampau, ketika aku masih berseragam dan tak tahu
di mana Ibu berada, teman-teman bilang ibuku pendosa. Sedang Bapak, kata
mereka, jauh lebih buruk dari pendosa.
"Bapakmu iblis," tuduh mereka.
Karena iblis senang membujuk untuk berbuat dosa, dan
karena iblis sumber dosa, mereka pun menganggapku bibit dosa. Aku dilahirkan
dari hubungan cinta antara dua dosa. Sejak itu aku tidak punya teman.
Aku sedih dan tidak tahu apa Bapak benaran iblis, ataukah
Ibu memang pendosa. Waktu mengajarkanku. Aku tahu semua rahasia itu. Mengurai
teka-teki hidupku itu sulit, tapi toh pada akhirnya aku selalu tahu.
"Kamu belajar di rumah. Bapak ada perlu," pesan
Bapak pada suatu malam.
Aku patuh.
Waktu itu Bapak tak tahu aku menyiapkan rencana sesuai
saran temanku. Aku tidak tahu dari mana temanku tahu. Aku tidak peduli
bagaimana dia tahu bapakku melakukan berbagai dosa di luar sana. Yang aku
pedulikan adalah kemungkinan soal aku yang benar-benar bibit dosa.
Di kolong jembatan itu, Bapak tertawa bersama
teman-temannya. Seperti sedang ada pesta. Aku tidak menemukan kesan iblis. Di
mana iblisnya? Iblis seperti apa? Apa menyerupai manusia? Aku pernah melihat di
komik; iblis itu bertanduk dan kulitnya merah menyala.
Lalu aku ingat, bukankah Bapak juga disebut iblis? Tapi
bapak tidak bertanduk dan kulitnya cokelat. Saat aku menerka kesalahan teman-teman
di sekolah, beberapa perempuan datang dan gabung bersama Bapak dan
kawan-kawannya.
Satu yang termuda, cantik, dan terlihat serupa malaikat,
mendekat lalu memeluk bapakku, mencumbunya sesaat. Diserahkannya beberapa lembar uang
kepada Bapak. Hal yang sama dilakukan beberapa perempuan lain. Aku tahu ini
buruk. Aku tidak tahu Bapak pacaran. Dan aku juga tahu, perempuan itu bukan
Ibu.
Ini bukan semata soal Ibu, tapi teka-teki yang belum
kutahu pangkalnya. Bapak tak cerita siapa ibu kandungku, tapi juga tak mau
mencarikanku ibu. Lalu tahu-tahu, malam itu, aku tahu Bapak bersama beberapa
perempuan yang memanggilnya dengan 'bos'. Apa bawahan seperti Bapak—yang biasa menyembah para lelaki berdasi yang kerap lewat
di depan rumah kami—bisa dibilang bos?
Teman-teman menyudutkanku. Mereka bilang, walau aku tidak
menemukan Ibu di sana, setidaknya aku tahu bentuk dosa itu seperti apa, dan aku
juga tahu bahwa aku adalah bibit dosa.
"Tapi bapakku bukan iblis, dan di sana tidak ada
iblis-iblis pengisap darah dan air susu manusia seperti apa yang kalian
ceritakan!" bantahku.
"Bapakmu itu iblis yang menyaru manusia!"
"Bukan! Bapakku manusia. Dia tidak bertanduk! Juga
tidak berkulit merah!"
"Tidak semua iblis punya tanduk dan tidak semua
iblis kulitnya merah, Goblok. Kadang-kadang iblis bersayap seperti malaikat,
atau iblis bisa bercahaya seperti wali. Tergantung di mana dia berada. Iblis pintar bermain
sulap, pintar menyamar!"
Kalau iblis bisa mengubah wujud menjadi malaikat, berarti
perempuan semalam bisa saja iblis, atau bisa saja malaikat? Apakah iblis dan malaikat punya perbedaan?
Aku pulang dengan kesal. Bapak tidak cerita di mana Ibu
berada. Bapak juga tidak cerita bagaimana dia dapat uang untuk menghidupiku.
Sebenarnya Bapak baik, tapi kebaikan itu punya alasan.
"Besok-besok, kalau sudah besar, Bapak ajak kamu ke
kantor. Nanti di sana kerja enak, dapat uang banyak, dapat pacar ganteng,"
katanya. Tapi aku tidak pernah dengar teman-teman menyebut kantor. Apa
jangan-jangan temanku iri karena Bapak kerja di kantor, tidak seperti
bapak-bapak mereka yang kuli.
Pemandangan di kolong jembatan membuatku sulit mencari
alasan, misal dengan mengatakan pada teman-temanku yang sirik itu bahwa: "Bapakku pegang komputer, kalau
bapak kalian pegang pacul!" Atau begini: "Bapakku uangnya banyak,
kalau bapak kalian banyak utang!"
Hinaan-hinaan itu aku telan, seperti ketika Bapak membawa
perempuan muda ke rumah. Dia bilang, kalau aku butuh ibu, aku bisa memanggil
malaikat setengah iblis itu dengan emak, mama,
mami, ibu, bunda, atau ummi. Terserah aku saja. Tapi aku tidak bisa.
Ketika kutanyakan apakah aku bisa menghisap air susunya, perempuan itu bilang tidak boleh. Dan ketika kutanyakan
apakah dia tahu ibu kandungku siapa, dia jawab: "Tidak penting siapa ibu
kandungmu. Yang penting sekarang Mama datang dan kamu jadi anak Mama. Kamu
sudah jadi milik Mama dan Bapak. Dan kamu harus patuh kepada kami."
Aku tak bisa menolak kebaikannya, walau dalam hati
berkecamuk bahwa bisa saja perempuan yang mengasuhku sekarang jelmaan iblis,
dan bisa saja nanti aku sebagai bibit dosa dididik menjadi lebih dari pendosa
... atau malah lebih buruk dari iblis?
"Kata siapa pendosa? Kamu milik Bapak yang cantik
dan lucu. Kalau sudah besar, banyak bujangan tergila-gila sama kamu!" kata
Bapak.
Aku tidak percaya. Teman-temanku menganggapku bibit dosa
sebab keberadaan Bapak di kolong jembatan sudah mereka tahu. Mereka menyebar
kabar ke mana-mana, bahwa Rani, anak kandung dari Bos Mundir, adalah anak hasil
perbuatan bejat para iblis dan pendosa, yang lahir di sarang kumpulan iblis
yang pandai menyaru jadi apa saja.
Bagaimana mungkin, sementara vonis itu bersarang padaku
dan resmi kusandang, masih ada pemuda yang tertarik padaku? Jatuh cinta? Cuih! Bukan, ini bukan soal itu. Hidupku
penuh tanya dan aku sangat membencinya!
Seiring waktu, perempuan muda—atau sesudah ini kusebut Iblis Cantik saja— mulai kasar padaku. Pertumbuhan fisikku yang jauh dari
harapan, membuatnya tahu aku hanya akan menjadi benalu dalam kerajaan barunya.
"Banyak-banyaklah olahraga, minum susu, makan yang
kenyang, dan tidur yang cukup. Perawan cantik tidak akan berguna kalau tidak
ada yang menonjol di badan!" katanya.
Sejak kata-kata itu muncrat, aku yakin dia memang iblis.
Bapak, sebagaimana yang teman-teman bilang: iblis yang menyaru manusia. Bapak bilang: "Kamu enam belas. Tahun depan
Bapak ajak kerja kantoran."
"Tapi kata Mama aku tidak bisa kerja kantoran karena
badanku gepeng!" Kuucap itu dengan kesal. Aku paham maksud Bapak
menyembunyikan semua ini, membuang Ibu dari kenanganku, juga mengambil Iblis
Cantik untuk mendidikku menjadi lebih dari iblis.
"Lagi pula aku juga tidak lulus SMP, mana bisa kerja
kantoran!"
"Bisa saja. Nanti Bapak buktikan. Sekarang turuti
mamamu. Walaupun gepeng, kamu cantik, Nak."
"Aku gak mau!"
"Kalau gak mau,
biar Bapak buktikan. Kamu juga bisa menjadi malaikat seperti mamamu, tidak
harus membuat badanmu sedikit lebih gemuk!"
Lalu malam itu aku berdarah-darah. Aku tahu bahwa benar
Bapak memang iblis. Dan benar Bapak menghisap darahku. Aku lemas.
Oleh karena tahu Bapak tak sabar menunggu sampai ada
tonjolan di badanku, Iblis Cantik marah. Dia rugi karena tak bisa menghisap
sendiri darah di balik celanaku. Darahku sudah
diambil Bapak. Dia pergi
meninggalkan kami.
Sejak itu sebulan lamanya Bapak pulang pagi. Aku tidak
peduli, tapi aku hanya ingin mencari tahu ibuku. Itu alasan pertanyaanku selama
ini. Aku pikir, mungkin Bapak benar mencari Ibu—maksudku ibu yang benar-benar ibu kandungku, bukan ibu
setengah malaikat setengah iblis.
"Ibumu sudah mati!" katanya malam itu.
Bapak pantas mati sebab Ibu mati. Kalau Bapak mati, tidak
ada lagi iblis dalam hidupku. Setidaknya tinggal satu—begitu kata para tetanggaku—yaitu aku. Ya, akulah yang iblis sejati, hasil
pertumbuhan sempurna dari bibit dosa masa lalu, lebih buruk dari sekadar iblis.
Aku tahu, kematian Bapak di kamar cukup membuatku tahu,
bahwa di dunia ini, untuk menjadi malaikat tidak perlu menjadi iblis dulu,
melainkan hanya perlu mati.
Pagi itu, Bapak ditemukan mati di kasur. Ketika pelayat
berdatangan, aku pergi. Ketika aku pergi, orang-orang tidak menahanku. Mereka
tak mau bertetangga dengan iblis. [ ]
Gempol, 2015 - 2018
Biodata
Penulis
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis
puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai
media. Buku cerpennya Museum Anomali (Unsa
Press, 2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat
(Basabasi, 2017), dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi,
2018).
Cerpen : Bibit Dosa Karya Ken Hanggara
Reviewed by takanta
on
Juli 01, 2018
Rating: 5
Ayo bergabung di aslijitu.net Situs togel terpercaya di indonesia.menerima deposit via bank,E Wallet,Telkomsel.Dan masih banyak promo dan bonus lainnya.
BalasHapusWA ; +62-822-4112-0149
Ayo Bergabung Sekarang Juga!!!!