Oleh: Alif Febriyantoro
Suara rel riuh. Subuh hampir dekat
dengan matahari. Dan kota terbangun, bersama sisa hujan semalam. Seorang wanita
mengenakan kembali pakaiannya yang berserakan, lalu meninggalkan Pasar Kembang
dengan membawa beberapa lembar uang di tangan. Tapi siapa ia kenali? Lampu kota?
Harum embun pada peron? Atau sepasang anak yang menanti kepulangannya, di
sebuah desa yang jauh?
***
Kereta berangkat kembali dalam keadaan
senyap, sunyi, dan bersama pagi yang gigil. Segigil perasaan seorang pelacur
yang sedang duduk di bangku penumpang. Ia melihat ke luar jendela. Menikmati pecahan
cahaya matahari yang diam-diam masuk menembus kaca. Cahaya yang tak menyilaukan
mata. Begitu ramah dan lembut.
Wanita itu sedikit memejamkan mata.
Membenarkan cara duduknya. Ia merasa sedikit gelisah ketika menjumpai beberapa
kenangan yang tiba-tiba muncul dari balik pejaman matanya.
“Aku akan menikahimu!” ucap kekasihnya
di masa lalu, di sebuah bangku penumpang kereta, di dekat jendela.
“Benarkah?”
“Ya.”
“Aku senang mendengarnya. Karena
sebentar lagi, anak yang kukandung ini akan menjumpaimu dalam bentuk sempurna seorang
ayah.”
Waktu seakan berhenti beberada detik,
dan keheningan berdiri di celahnya.
“Apa!?”
“Kau hamil?”
Ia segera membuka mata, mengambil napas
sedalam-dalamnya, dan sejenak ia merasa kenangan itu pun hilang, bersama detik-detik
sebelumnya. Tapi percayalah, kenangan tak akan mudah hilang begitu saja dari
kepala manusia. Karena ketika kita berada dalam lingkaran ingatan, kenangan
akan selalu bergerak, membekas, dan abadi.
Wanita itu, yang saat ini sibuk menjual
kelaminnya demi ekonomi yang selalu surut, adalah wanita yang pernah mengalami
masa lalu yang kelam. Ia adalah seorang wanita pemberani yang, tanpa berpikir
panjang, memotong lidah sang kekasih yang telah menghamilinya, dan ingkar
tentang janji yang berbunyi, aku akan menikahimu. Tentu saja.
Sebenarnya hanya ada sedikit kesalahan,
dan hanya perlu sedikit dipoles. Tapi baginya, kebohongan adalah kesalahan yang
teramat besar. Dan kenangan yang kelam adalah kesunyian paling buruk baginya.
Maka ia mencipta masa depan dalam ingatan. Sendiri. Hanya seorang diri.
Sementara, di desa yang jauh, ada dua
anak gadis kembar berusia empat tahun yang masih lelap dalam mimpi. Mereka
selalu ditinggal ibunya pergi, tepat beberapa detik setelah mereka terlelap. Sebelum
pukul 5 sore, sang ibu selalu memberi obat tidur kepada kedua anaknya. Dengan
begitu, katanya, mereka tidak akan pernah mengkhawatirkannya dan bertanya ia
pergi ke mana setiap malam. Tapi dalam mimpi kedua anaknya, mereka selalu melihat
ibunya berjalan ke arah pintu, membuka pintu, dan hilang bersama bulan.
“Raina bermimpi Ibu dimakan bulan.”
“Sama, Sabrina juga mimpi begitu.”
Ungkap keduanya, di pagi yang lain,
setelah mereka terbangun dan menemukan ibunya sedang sibuk merapikan selimut
mereka.
“Ya. Karena Ibu adalah bulan, Sayang.”
“Wah... Ibu keren.”
“Raina ingin menjadi bulan juga!”
“Ah, Sabrina juga!”
Sedangkan di luar, setiap mulut selalu
berbicara tentang kehidupan seorang pelacur itu. Dan cerita yang berkembang
akan selalu berbeda dalam bentuk maupun versinya.
Dan selama Tuhan terus menciptakan
lidah, orang-orang akan selalu sibuk bertanya kepada seseorang yang lain, adakah
seorang laki-laki yang ingin menikahinya, menjadi ayah bagi anak-anaknya?
“Mana ada laki-laki yang mau menikah
dengan pelacur!” ucap seorang pengangguran.
“Jika mau, laki-laki itu bodoh!” tukas
yang lainnya.
“Tapi ada juga loh yang mau.”
“Entahlah.”
Sebetulnya, sudah banyak laki-laki yang
bersedia untuk menikahinya, dari seorang politisi, polisi, tentara, bahkan germonya
sendiri.
“Kenapa kau tak ingin menikah?”
“Sudah aku katakan berkali-kali, aku
tak mau terjebak kembali dalam lidah laki-laki.”
“Tapi aku serius ingin menikahimu.”
“Serius?”
“Serius!”
“Lidah memang manis. Semanis racun!”
Tapi benarkah ia tak ingin menikah? Apakah
cinta saja sudah cukup sempurna tanpa pelukan hangat seorang kekasih?
“Apakah kau yakin tak ingin menikah?”
ucap laki-laki yang lain.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sudahlah! Aku sudah muak dengan
pertanyaan yang selalu diulang-ulang oleh lidah laki-laki.”
***
Di gerbong kereta nomor 4, terlihat sepasang
kekasih sedang bercakap-cakap. Mereka sedang membicarakan kelanjutan hubungan
yang tengah mereka jalani. Tetap di nada yang sama dalam sebuah peristiwa
ketika sepasang kekasih sedang mengalami masa-masa paling dramatis dan
romantis.
“Hubungan kita sudah berjalan lebih
dari empat tahun.”
“Ya. Benar sekali.”
“Aku akan menikahimu!”
Lengang.
“Benarkah?”
Wanita berbaju lengan hitam panjang itu
tampak kaget ketika menjumpai pernyataan kekasihnya.
“Tentu saja!”
“Kapan?”
“Setelah kereta ini tiba di stasiun
terakhir.”
“Aku sudah menyiapkan semuanya,” lanjut
laki-laki itu.
Oh, tapi seburuk apakah perasaan
seorang pelacur yang sejak tadi mendengarkan dengan jelas percakapan sepasang
kekasih itu?
Sebelum kereta yang ditumpanginya itu
berhenti, cerita yang seakan diulang-ulang ini tak akan pernah menemui
ujungnya.
Namun kereta akan terus melaju,
melewati berbagai macam suasana yang tak selalu sama. Dan ketika kereta sudah
tiba di stasiun terakhir, semua penumpang kereta akan tahu bagaimana situasi
ini akan berakhir. Sebab setiap perjalanan hanya berjalan satu kali. Sebab
waktu, ia tak akan pernah mengulang yang sudah. Atau menemui kembali
detik-detik sebelumnya.
Dalam hati, seorang pelacur itu
berkata, “Jangan percaya dengan perkataan laki-laki!”
“Omong kosong! Memang awalnya terasa
manis. Tapi lihat saja, ujung-ujungnya, lidah laki-laki itu akan membawamu ke
palung kehancuran!”
Sebentar lagi kereta akan sampai di
stasiun terakhir. Dan seorang pelacur itu akan segera menemui kedua anak gadis
kembarnya. Ia tak sabar ingin melihat wajah keduanya. Wajah yang lugu dan
polos, yang masih dalam kedaan terlelap.
Pelan-pelan, ia kembali mengalami
lamunan. Pelan-pelan, kedua matanya sedikit terpejam. Dan dalam keheningannya
sendiri, ia pun tertidur.
“Raina, Sabrina!?”
“Kenapa kalian bisa ada di sini?”
Ia tahu bahwa ia hanya bermimpi. Dan dengan
cepat ia kendalikan pikiran alam bawah sadarnya menjadi sebuah peristiwa yang
dapat ia nikmati sendiri. Maka ia mengembuskan napas dengan nada yang terdengar
cukup tenang. Tetap dalam keadaan mata yang tertutup. Seakan-akan memberi
kesaksian untuk orang-orang yang berada di sekitarnya, bahwa ia hanya lelap
dalam tidurnya sendiri.
“Raina takut, Ibu!”
“Sabrina juga!”
Lantas keduanya memeluk ibunya.
“Takut kenapa?”
“Di rumah, ada orang yang tidak kami
kenal. Orangnya tinggi. Laki-laki itu pakai kalung dengan mainan mirip lidah
yang tergantung di talinya.”
“Laki-laki itu mencari Ibu.”
Dalam beberapa detik, mimpi yang
dialaminya itu terasa hening, dingin, dan begitu menggigil.
“Sudah, sana kalian tidur lagi.”
“Ah, Raina tidak mau kehilangan Ibu!”
“Sabrina juga!”
“Ini hanya mimpi, Sayang.”
Ia memeluk kedua anaknya yang terlihat
begitu cemas dan ketakutan, membenarkan rambut keduanya yang berantakan, lalu
membasuh kening mereka yang berkeringat.
“Tapi kami tidak bohong, Ibu!”
“Orang itu mengikuti kami sampai ke
sini.”
Sejenak Romlah terdiam. Nama pelacur
itu adalah Romlah, sebuah nama yang baru saja terpikirkan. Dan pada akhirnya ia
pun menjumpai kegelisahan paling puncak dalam mimpinya sendiri.
Romlah seperti menatap jurang yang
dalam, kemudian jurang itu menatap balik. Begitulah yang ia rasakan ketika
melihat seorang laki-laki yang dikatakan kedua anaknya itu sudah berdiri tegap
di hadapannya. Benar saja, laki-laki itu adalah kekasihnya di masa lalu. Tapi
dengan keyakinannya, ia terus saja mengatakan dalam batinnya bahwa ia hanya
bermimpi.
“Oh, tidak!”
“Tidak mungkin!”
“Aku yakin, ini hanya sebatas mimpi.”
“Cepat pergi! Jangan ganggu aku lagi!”
“Aku sudah bahagia dengan kedua anak
kembar ini!”
Tentu saja laki-laki itu tak akan mengatakan
apa-apa kepada Romlah. Tapi kedua anaknya itu mendengar dengan jelas, laki-laki
itu mengatakan sesuatu kepada mereka. Sesuatu yang tak mungkin mereka mengerti
apa maksudnya.
“Hanya kalian yang bisa mendengarkan
saya berbicara. Maka tolong sampaikan pesan ini kepada ibu kalian: Dengan lidah
yang sudah terpotong ini, Ayah akan membawa kalian semua ke surga.”
“Ayah!?”
Seperti percikan cahaya pada ruang
gelap, bagian ini seakan-akan pecah begitu saja, menembus jendela, keluar dari
gerbong kereta, dan hilang bersama bagian-bagian sebelumnya.
Sedangkan kereta sudah tiba di stasiun
terakhir. Romlah terbangun dari mimpinya. Keringat dingin membasahi seluruh
wajahnya. Ia membuka mata lebar-lebar. Di hadapannya, ia melihat seorang
laki-laki sedang sibuk menahan rasa sakit. Potongan lidahnya tergeletak di
bangku penumpang. Darah segar membasahi mulut dan juga bajunya. Tapi Romlah, ia
hanya lewat dan tak merasakan apa-apa. (*)
ALIF FEBRIYANTORO, lahir di Situbondo, 23 Februari 1996. Suka melamun.
Cerpen : Lidah
Reviewed by takanta
on
Juli 22, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar