Cerpen : Tukang Sarang
Oleh: Rahman Kamal
Warga desa kampung
Kalimas sangat berbahagia. Dalam hitungan hari, salah satu gadis cantiknya akan
dinikahi oleh seorang saudagar kaya dari kota. Sebagai mahar, sebuah perayaan
besar-besar an tuju hari tujuh malam akan digelar.
Artis-artis ibukota
serta lokal dipastikan ikut memeriahkan acara tasakkuran nikah tersebut. Jelas
warga desa kalimas berbahagia. Seperti diguyur hujan di tengah musim kemarau
yang panas. Sejak seminggu sebelum acara digelar, penduduk desa sudah mulai
terlihat sibuk. Ibu-ibu berbondong-bondong pergi ke rumah mempelai wanita
membantu menyediakan persiapan untuk acara nikahan.
Berbagai penganan
tradisional dibuat untuk sajian saat
acara tasakkuran. Pihak mempelai wanita dengan halus menolak tawaran dari
mempelai pria untuk menyewa jasa katering untuk menyiapkan penganan acara.
Pihak mempelai wanita beralasan agar bisa melestarikan budaya serta menjaga
keberadaan penganan lokal. Akhirnya pihak mempelai pria pun mengiyakan dan
mengucurkan dana untuk persiapan tersebut.
Di hari pertama
persiapan atau H-7 acara, masyarakat berbondong-bondong membantu membuat dodol.
20 besar dipenuhi dengan ibu-ibu serta beberapa bapak-bapak yang sedang
mengaduk dodol. Cairan santan yang dicampur gula aren diaduk dengan teratur
hingga berubah menjadi dodol yang siap masak. Memang sudah tradisi dalam setiap
pernikahan, dodol adalah penganan pertama yang dibuat dan merupakan pertanda
bahwa persiapan acara pernikahan dimulai.
Undangan pun juga
sudah disebar. Orang-orag penting, tokoh masyarakat, bahkan beberapa artis
kenalan mempelai pria juga diundang. Tak pelak keluarga mempelai wanita sungguh
bahagia. Anak gadisnya dipersunting oleh orang tajir nan kaya raya yang dikenal
oleh banyak orang. Tapi sang mempelai wanita tidak merasa demikian.
Bagi Halimah, sang
mempelai wanita, tidak pernah ada rasa cinta terbesit di hatinya sekali pun.
Pernikahan ini semata karena balas budi orang tuanya. Pada awalanya Halimah
dengan keras menolak perjodohan itu. Tapi setelah akhirnya orangtuanya
menceritakan semua alasan di balik perjodohan itu. Dengan berat hati Halimah
harus menerima pinangan tersebut. Walau hati berat, tapi ia tidak mau
mengecewakan kedua orangtuanya.
Dengan berat hati
Halimah pun mengutarakan masalah perjodohannya kepada Miftah, kekasihnya.
Sontak saja, Miftah terkejut dengan kabar yang dibawa Halimah. Kisah cinta
mereka yang selama ini adem tentram kandas begitu saja karena perjodohan itu.
Dengan derai air mata yang membasahi pipi, Halimah dengan tegas mengutarakan
semuanya. Tentang pejodohan, tentang balas budi, dan tentang si mempelai pria
yang sebenarnya tidak ia cintai.
Persiapan pernikahan
terus berlangsung. Semua persiapan satu persatu dipenuhi. Acara itu akan
benar-benar menjadi tasakkuran paling meriah yang pernah ada dalam sejarah desa
Kalimas. Persiapan berjalan lancar. Tidak ada kendala berarti. Cuaca sedang
bersahabat. Terlebih sekarang adalah musim kemarau. Hujan dipastikan tidak akan
datang mengganggu.
Tapi siapa sangka
alam berkata lain. 2 hari sebelum acara, hujan tiba-tiba datang tak diundang.
Basah air dengan deras mengguyur bumi. 2 hari 2 malam hujan terus mengguyur.
Masayarakat kalang kabut mendapati kejadian ini. Momen bahagia bagi seluruh
warga desa yang akan terjadi sebentar lagi terancam gagal oleh hujan yang
mengguyur deras tiada henti.
Pihak mempelai pria
jelas geram. Dengan nada sedikit menekan ia mwnghubungi keluarga mempelai
wanita melalui telepon.
“Sudah banyak uang
yang saya gelontorkan, tapi semuanya sirna begitu saja karena hujan sialan
ini!”
“Mohon Maaf pak!
Hujan ini diluar dugaan kami, karena ini musim kemarau, kami pun tidak
mengundang tukang sarang untuk memawangi hujan,” jelas pihak mempelai wanita.
“Ah, bodoh!” maki
mempelai pria.
“Kalau berkenan kami
akan menghubungi tukang sarang untuk memawangi hujan ini. Kami jamin acara
pernikahan besok akan berjalan lancar! Malam ini hujan akan reda, Pak!” rayu
pihak mempelai wanita.
“Ya sudah, besok
acara ini harus berjalan lancar, segera singkirkan hujan sialan ini!” sambungan
telepon lalu ditutup setelah makian terakhir itu.
Setelah percakapan
itu, pihak mempelai wanita pun segera bertindak cepat. Mereka segera
menghubungi tukang sarang terbaik di desa Kalimas. Ki Joko. Dengan segera ki
Joko memulai ritualnya. Sesajen, dan berbagai hal berbau klenik disiapkan. Bau
mistik segera tercium seantero desa. Rasa lega sedikit terbersit. Harap-harap
cemas hujan akan segera reda pun memenuhi seluruh warga desa.
Sayang, setelah satu
jam lebih Ki Joko mengadakan ritual, hujan tidak kunjung reda. Akhirnya ki Joko
pun menyerah.
“Saya tidak bisa
menghentikan hujan ini, ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, ada orang
yang tidak suka dengan acara ini dan ialah yang mengirim hujan ini. Yang jelas
kalau itu benar, ia jauh lebih sakti daripada saya. Kemungkinan kedua, hujan
ini memang hujan dari langit dan kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap hujan
ini,” tutur Ki Joko
“Siapakah yang
kemungkinan mengirim hujan ini, Ki?”
“Entah, jelas ia
memiliki ras tidak suka terhadap salah satu dari kedua mempelai. Tak ada
gambaran jelas, yang saya rasakan hanya sebuah kekuatan yang menghalangi ritual
sarang saya.”
“Apakah tidak ada
hal yang bisa kami lakukan, Ki? Yang penting hujan ini bisa reda!”
“Mohon maaf, saya
tidak bisa membantu banyak, mungkin cara satu-satunya adalah menemukan orang
yang mengirim hujan dan memintanya menarik hujan ini. Saya undur diri, wassalam....”
Ki Joko pun pergi perlahan.
Pihak mempelai
wanita sungguh kalang kabut. Semua dana yang telah habis, semua undangan yang
telah tersebar, semuanya akan terancam gagal. Terancam sirna. Jelas-jelas keluarga
mempelai wanita akan malu besar. Semalam suntuk mereka berpikir keras bagaimana
menghentikan hujan ini. Tukang sarang lain pun satu per satu dihubungi. Tapi
seperti Ki Joko, semuanya menyerah dan menyarankan hal yang sama. Mencari si
pengirim hujan dan memintanya menarik hujan ini.
Di sisi lain, sang
mempelai wanita dilanda kebingungan. Haruskah ia bahagia karena perjodohannya
akan dibatalkan, atau ia merasa sedih karena orangtuanya harus menanggung malu,
bahkan hutang, jika perjodohan ini dibatalkan. Semalam suntuk ia pun berdoa
agar diberikan yang terbaik oleh yang Maha Kuasa.
##
Di ujung desa
kalimas, di balkon sebuah rumah besar yang sudah lama tidak berpenghuni.
Seorang pria menatap hujan yang terus mengguyur. Membiarkan tubuhnya dibasahi
hujan yang membasahi balkon tanpa atap itu.
“Hujan in tak akan
pernah reda sebelum sakit hati ini terobati, Halimah.”
Rahman
Kamal, lahir di Situbondo dan ditakdirkan sebagai
laki-laki. Belum punya anak, yang itu berarti belum menikah. Blog pribadinya, www.rahmankamal.com.
Cerpen : Tukang Sarang
Reviewed by takanta
on
Agustus 26, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar