Home
/
Apacapa
/
Kampung Langai
/
Panakajaya Hidayatullah
/
Dangdut Madura: Upaya Orang Madura ‘Swasta’ Mengartikulasikan Modernitas
Dangdut Madura: Upaya Orang Madura ‘Swasta’ Mengartikulasikan Modernitas
Dung-dung bulâ karè ngandung,
Dung-dung bulâ duh pon ngandung,
Dung-dung bulâ duh jhâ’ dhina
- Karè Ngandung –
Dipopulerkan oleh Asmi Utami
Oleh : Panakajaya
Hidayatullah
Masih ingatkah anda
dengan potongan lirik lagu di atas? Atau, pernahkah anda mendengar lagu di
atas? kalau belum kenal sama sekali, maka ijinkan saya untuk sedikit berceloteh
tentang kidung di atas. Potongan lirik tersebut adalah cuplikan lagu berjudul Karè Ngandung yang dipopulerkan oleh
Asmi Utami penyanyi asal Bondowoso yang telah lama malang melintang di dapur
rekaman industri lokal dangdut Madura ‘Situbondoan’[1].
Ibu dari Dinda D’Academy ini bahkan sudah tidak asing lagi bagi sebagian
masyarakat Situbondo karena saking seringnya naik pentas di panggung hajatan
tarkam (baca: antar kampung). Lagu tersebut diproduksi oleh Handayani Record
(perusahaan musik lokal di Situbondo) pada tahun 2000-an, dikemas dalam genre
musik EDM (electronic dance music) dan
belakangan diaransemen ulang ke musik dangdut koplo.
Apa
yang menarik dari lagu tersebut?, bukankah itu lagu yang biasa saja?,
kampungan?, norak?, tidak mendidik?, tidak estetik?, kelas bawah?, ndeso (dhisaan)?, maknanya dangkal?, tidak
modern?, serta sederetan lagi stereotip yang mungkin nanti bisa anda tambahkan
sendiri sebagai bentuk ketidaksukaan anda terhadap musik dangdut. Jauh sebelum
kita membahas dangdut Madura dan bagaimana kaitannya dengan masyarakat
Situbondo, mungkin ada baiknya saya bercerita (lebih tepatnya sedikit mengeluh)
tentang bagaimana para remaja saat ini memandang sebuah ‘budaya’.
ESENSIALISASI
BUDAYA
Saya
punya pengalaman menarik perihal dangdut Madura terutama perihal pandangan
masyarakatnya sendiri (khusunya remaja) di kota Situbondo. Dahulu sebelum saya
melakukan penelitian mendalam tentang dangdut Madura, masih terngiang di kepala
saya dan bahkan akan melekat seumur hidup, ketika seorang teman yang ‘sialnya’
ia juga menekuni musik tradisi meledek saya dengan candaan “kamu ngapain
sibuk-sibuk meneliti dangdut, belajar musik Barat kok menelitinya musik
dangdut, sudah dangdut, dangdut Madura lagi…hahahaha”. Ya, mungkin itu terlihat
sebagai candaan, namun bagi saya itu tamparan keras. Entah apa yang salah
dengan dangdut !!. Sedemikian banalnya musik ini di benak para remaja
Situbondo, sehingga terlihat begitu hina mungkin sama hinanya seperti pelacur
‘gunung sampan’[2],
jangankan untuk didiskusikan, didengarkan saja mungkin menjadi ‘haram’
hukumnya. Coba anda bayangkan, musik dangdut saja itu sudah sangat hina dengan
seperangkat stereotip negatifnya, apalagi dengan embel-embel Madura yang juga
punya seperangkat stereotip negatif, lengkap sudah penderitaannya.
Sejauh
ini saya mengamati anak-anak remaja di Situbondo memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang ‘unik’, ‘eksotik’, ‘khas’, ‘asli’. ‘layak dijual’ dan lain
sebagainya. Tentu saja itu pandangan yang tidak salah, namun bagi saya tampak
‘menyedihkan’. Sebagaimana kita tahu bahwa pandangan tersebut lahir atas
sejarah kolonial, orang-orang Eropa memandang budaya Indonesia itu eksotik
(dalam artian menjijikkan), aneh, unik, tidak beradab, sekaligus liar. Cara pandang kolonial inilah yang kerap
dipakai oleh generasi muda saat ini. Alih-alih mendorong dinamika kebudayaan,
justru mereka terjebak pada pragmatisme wisata budaya dengan cara pandang
kolonial. Pada kenyataannya masyarakat Indonesia tidak menjalani kehidupan
kebudayaan mereka seperti yang dalam buku wisata dan pernik promosi yang begitu
meyakinkan. Berdasarkan sumber tersebut, seseorang mungkin beranggapan orang
Jawa akan suntuk mengukir wayang, melukis kain batik atau mendentangkan deretan
nada di gamelan; semua orang Bali tengah dalam perjalanan menuju pulang dari
sebuah festival di pura dan lain sebagainya (Sutton, 2013: 3).
Citra-citra
ini adalah representasi kebudayaan yang berkembang melalui sebuah interaksi
kompleks antara konsepsi diri masyarakat asli, kolonialisme Barat, media
populer, penelitian, dan kapitalisme global. Dalam istilah Clifford (1986),
semua pencitraan ini tidak lebih dari sebuah ‘kebenaran sepihak’ (partial truth). Cara pandang yang
terpisah seolah-olah memisahkan kebudayaan satu dengan lainnya, Tiap keping
mozaik menampilkan kebudayaan, etnisitas, dan ciri lokal yang
diesensialisasikan dan dianggap ‘asli’ tanpa campuran dan tidak mengalami
perubahan sejak ‘dulu kala’ (Sutton, 2013: 3). Berdasarkan kerangka tersebut,
tidak ada kebudayaan yang asli, budaya selalu bergerak dinamis, dan saling
mempengaruhi. Sebagai subjek budaya sudah semestinya jika kita harus terus
menerus merawat dinamikanya, bukan hanya menjadikannya sebagai sebuah etalase
dan barang dagangan yang menawarkan keunikan. Apakah budaya melulu tentang
hal-hal yang tradisional dan kuno? Dan apakah selalu dihubungkan dengan
peristiwa masa lampau? Ke- adiluhungan?
Dalam
kerangka relativisme budaya, tulisan ini akan mencoba membaca dinamika budaya
melalui cara pandang yang berbeda melalui kesenian populer di Situbondo.
Dangdut Madura dan sebuah politik budaya populer.
MIGRASI DAN
MIGRANSI
Masyarakat
Situbondo didominasi oleh masyarakat Madura swasta[3]
(migran) yang berasal dari berbagai tempat di pulau Madura seperti Sumenep,
Pamekasan, Sampang, Kep. Kangean dan Sepudi. Sebagian besar migran dari daerah
Sumenep menetap di wilayah Situbondo Kota sampai ke Banyuputih dan migran dari
Pamekasan menetap di wilayah Melandingan sampai ke Banyuglugur. Ada perbedaan
antara istilah migrasi dan migransi. Istilah migrasi bisa dijelaskan melalui
pendekatan sejarah, sedangkan istilah migransi mengandung unsur antropologis,
yakni perpindahan orang yang masih membawa kulturnya untuk bertahan hidup di
tempat lain.
Jika
membaca secara antropologis, dengan sudut pandang migransi, fenomena dangdut
Madura di Situbondo merupakan usaha orang-orang Madura untuk membangun rumah
kulturalnya di tanah perantauan. Orang-orang Madura di Situbondo berusaha untuk
membawa kebudayaannya dan terus diekspresikan dalam berbagai bentuk, salah
satunya dengan musik dangdut. Ibarat rumah, tentu ia akan memiliki tetangga dan
mengandaikan adanya interaksi satu sama lain. Interaksi inilah yang membuat
kebudayaan bersifat dinamis. Interaksi budaya ini cukup terasa di Situbondo,
yakni antara migransi budaya Madura dialek Pamekasan dan Sumenep. Dalam hal
dangdut Madura, selain ia merupakan hasil interaksi antara kultur India, Melayu
dan Madura, dangdut Madura juga merupakan bentuk penegasan eksistensi komunitas
Madura terhadap komunitas berkultur lain seperti Jawa.
MEMAKNAI
MODERNITAS
Membaca
lokalitas di jaman sekarang tidak bisa dilepaskan dari pembacaan budaya
kontemporer. Perkembangan jaman turut juga membentuk karakter kebudayaan dalam
suatu masyarakat. Perkembangan industri budaya memunculkan apa yang disebut
dengan budaya pop. Budaya pop merupakan budaya yang mengalami industrialisasi.
Ia mengalami tiga hal: standarisasi, komodifikasi dan massifikasi.
Pembandingnya yakni budaya populer. Budaya populer melakukan kontra-hegemoni
terhadap budaya dominan. Dalam hal tertentu, musik dangdut bisa dikatakan
mengalami industrialisasi dan kapitalisasi. Musik dangdut diproduksi secara
massif melalui kaset atau CD demi untuk memenuhi permintaan pasar. Namun ketika
kita memahami bahwa musik dangdut tidak tunggal, maka ada unsur lokalitas yang
tak bisa diabaikan dan digeneralisir begitu saja. Lokalitas dalam musik dangdut
Madura memainkan peran politis yakni mempluralisasi musik dangdut melalui cara
produksi lokal. Industri lokal memiliki ruang lingkup terbatas serta memiliki
ruang transaksi dan pasar sendiri. Pasar musik dangdut Madura seperti Madura,
Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, dan beberapa daerah di Jawa Timur merupakan
daerah yang erat dengan kultur Madura. Lokalitas dalam hal ini berperan
mengangkat budaya daerah untuk mampu bersaing dalam arena budaya nasional
maupun global. Karakter kompetitif musik dangdut Madura ditunjukkan melalui
popularitasnya yang masih bisa bertemu dengan para penikmatnya.
Dalam
sejarahnya, musik dangdut Madura juga turut mendorong proses modernisasi di
Situbondo, ditandai dengan moda adaptasi seniman Al Badar atas film India di
bioskop tahun 1960-an-1990-an, hingga persoalan manajerial, proses produksi,
penggunaan instrumen dan bentuk musik modern dalam industri lokalnya. Dalam
kancah politik praksis, dangdut Madura selalu menjadi primadona dalam hal
mobilisasi massa. Berdasarkan pengamatan saya atas kampanye pilbup Kabupaten
Situbondo sebelumnya, hampir seluruh kontestan melibatkan dangdut Madura
sebagai komunikasi politiknya. Begitupun dengan iklan produk maupun jasa di
media radio dan TV lokal, hampir semuanya menggunakan media dangdut Madura.
Kendati dianggap ‘norak’ dan kampungan nyatanya dangdut Madura selalu memiliki
caranya sendiri dalam mengatasi modernisasi dan dinamika perkembangan jaman.
BELAJAR DARI
DANGDUT MADURA
Ada
banyak hal yang bisa kita pelajari dari dangdut Madura. 1) Dangdut Madura
adalah seni yang ‘jujur’, ia mampu menggambarkan dinamika sosial masyarakatnya
yang kacau (chaos), melalui perangkat
simbolik yang kontradiktif, bertabrakan, dan tumpang tindih. Terkadang ia
dihadirkan dengan apa adanya, tanpa
polesan dan perangkat estetik yang ruwet. Bentuknya yang ‘polos’ adalah
gambaran realitas kegagapan masyarakat menghadapi modernisasi. Mampukah kita
berkesenian dengan jujur dan apa adanya di hari ini?; 2) Dangdut Madura adalah
sebuah kritik yang lugas. Adakah seni populer lainnya yang mampu
mendeskripsikan masalah sosial se-vulgar lagu Le’ Marni dan Karè Ngandung ?.
Dalam norma masyarakat Madura, fenomena perselingkuhan dan hamil di luar nikah
adalah perihal yang sangat tabu, krusial dan dianggap melanggar norma agama.
Hal yang dianggap tabu dalam realitas, dapat dihadirkan secara gamblang dalam realitas dangdut Madura.
Lagu
Karè Ngandung adalah lagu yang
diadaptasi dari lagu dhoom-dhoom OST film India berjudul dhoom-dhoom. Berdasarkan lirik lagunya, tentu saja dua lagu ini
memiliki makna yang berbeda jauh. Alih bahasa (Inggris ke Madura) yang
dilakukan secara acak mengandaikan sebuah usaha orang Madura ‘swasta’
mendekonstruksi struktur musik aslinya. Alih-alih menyerupai maksud lagu
aslinya, lagu Karè Ngandung justru
menghasilkan makna yang ambigu. Lirik bernuansa sedih namun dinyanyikan dengan
bersemangat dengan irama yang mengajak bergoyang. Usaha adaptasi lagu tersebut
lebih bernuansa ‘mengejek’ dari pada memolesnya untuk menjadi lebih bagus dan
estetik. Seperti inilah nuansa kritik dari dangdut Madura yang terus menerus
mengandaikan kontradiksi di dalamnya.
Jika
ditelaah secara cermat, lirik ini cukup menarik jika ditarik dan ditempatkan
pada kerangka konstelasi masyarakat Madura Situbondo dalam pasar global
(modernisasi). ‘Bulâ karè ngandung’ dalam
bahasa Madura bermakna ‘aku sudah terlanjur hamil’, kalimat ini diandaikan
sebagai sebuah pernyataan yang diucapkan oleh subjek orang Madura Situbondo
yang didominasi oleh mekanisme modernisasi dan kapitalisasi industri (Barat).
Dalam kalimat berikutnya ‘Dung dung bulâ
duh jhâ’ dhina’ dalam bahasa Madura bermakna ‘jangan tinggalkan aku’,
kalimat ini jika dihubungkan dengan beberapa frasa kalimat setalahnya dan
ekspresi musikal yang melatarinya lebih bernuansa sebagai peringatan, atau
teguran supaya bertanggung jawab atas perlakuan buruk yang telah diperbuat
kepadanya. Hal ini bisa dibayangkan sebagaimana ekspresi orang Madura yang
menuntut pertanggung jawaban atas perlakuan buruk orang lain atas dirinya, bahkan
mereka nekat melakukan apapun walaupun nyawa taruhannya. Pernyataan itu secara
implisit dapat dimaknai sebagai sebuah kritikan yang subversif atau upaya orang
Madura dalam memaknai modernisasi. Modernisasi memang tidak bisa kita dihindari
tetapi bukan berarti dipatuhi begitu saja, ia harus tetap dipertanyakan, terus
dimaknai dan didialogkan secara kritis. Dan orang Madura ‘swasta’ telah
melakukannya melalui dangdut Madura.
Berkaitan
dengan dihelatnya Festival Kampung Langai 5, saya sangat mengapresiasi
teman-teman yang berani mengangkat dangdut Madura Situbondoan sebagai tajuk
kali ini. Sebuah upaya untuk mengartikulasikan kembali identitas masyarakat
Situbondo melalui kesenian. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa dangdut
bukanlah semata musik melainkan representasi dari alam pikir, dan gerak hidup
(laku) keseharian masyarakat. Saya berharap supaya dangdut tidak hanya dimaknai
sebatas estetika ‘hura-hura’ apalagi ditampilkan sebagai etalase budaya
Situbondo sebagaimana beberapa gelaran kesenian sebelumnya. Jika terjadi, maka
hal ini mencerminkan gagalnya pemahaman kita mengenai bagaimana dangdut itu
bertumbuh. Tidak semata mobilisasi melainkan dangdut itu sendiri merupakan
miniatur kehidupan sehari-hari. Bravo kampung langai, Selamat bergoyang.
REFERENSI
Bouvier,
Hélèn. (2002). Lèbur!: Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hidayatullah,
Panakajaya. (2016). The Dynamic Phenomena of Strèkan Music from Colonial to Contemporary Era In Situbondo. Harmonia Journal of Art Research and
Education, 17 (1) (2017), 1-12.
_________,
Panakajaya. (2015). Musik Adaptasi Dangdut Madura. Resital, Vol. 16, No. 1 April
2015, 1-14
_________,
Panakajaya. (2017). Panjhâk Sebagai
Agen Pengembang Karakter Budaya Dalam Masyarakat Madura di Situbondo. Jantra, Vol. 12, No. 2 Desember 2017, 139-151.
_________,
Panakajaya. (2016). Alam Pikir Masyarakat Madura yang Terepresentasikan Melalui
Lagu Ta’ Andi’ Rokok. Jurnal Kajian Seni
Vol. 02, No. 2 April 2016, 178-194.
_________,
Panakajaya. (2017). Dangdut Madura
Situbondoan. Yogyakarta: Diandra Kreatif.
Horkheimer,
Max, Theodore W Adorno dan Gunzelin Schmid Noerr (Ed), 2002, Dialectic of Enlightenment: Philosophical
Fragments, diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Edmund Jephcott, California: Standford University Press
Husson,
Laurence. 1997. “Eight Centuries Of Madurese Migration to East Java”, dalam Asian and Pasific Migration Journal, Vol. 6, No. 1, 1997.
Jurriëns,
Edwin, 2006, Ekspresi Lokal dalam
Fenomena Global: Safari dan Migransi Budaya, Jakarta: Pustaka LP3ES.
Sutton,
R. Anderson. (2013). Pakkuru Sumange’:
Musik, Tari dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa.
[1] Situbondoan
bukanlah kelompok etnik (suku). Situbondoan adalah terminologi lokal yang
secara umum dipakai oleh pelaku musik dangdut Madura di Situbondo untuk
melabeli jenis musiknya sekaligus untuk membedakan dirinya dengan Madura yang
lain.
[2] Gunung Sampan
adalah tempat porstitusi di Situbondo
[3] Swasta adalah
istilah yang digunakan Caknun untuk membedakan Madura migran yang tinggal di
Jawa dengan Madura ‘asli’ yang tinggal di pulau Madura
Dangdut Madura: Upaya Orang Madura ‘Swasta’ Mengartikulasikan Modernitas
Reviewed by Redaksi
on
Agustus 11, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar