Home
/
Agus Hiplunudin
/
Apacapa
/
Feminis
/
Dominasi Patriarki, Konstruksi Tubuh Perempuan dan Pelakor
Dominasi Patriarki, Konstruksi Tubuh Perempuan dan Pelakor
Pada kesempatan ini penulis mengutip perkataan seorang
perempuan bernama Alice tokoh utama dalam film Alice in Wonderland: “Coba
kau bayangkan jika laki-laki di seluruh dunia memakai gaun (perempuan)!”
demikian gumamnya—dan apa yang dikemukakan Alice merupakan salah satu bentuk
pemberontakan kaum perempuan yang dikonstrusi oleh pakain sehingga perempuan
diidentikkan dengan feminin dan laki-laki diidentikkan dengan maskulin—inilah
yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya dominasi patriarki. Sedangkan secara
psikologis sifat feminin tidak mutlak milik perempuan dan sifat maskulin tidak
mutlak pula milik laki-laki. Namun, feminin dan maskulin secara hakiki milik
laki-laki dan perempuan, tinggal mana yang paling mendominasi.
Oleh: Agus Hiplunudin
Berbicara patriarki kian seru jika disandingkan dengan
diskusi mengenai feminisme; kata feminisme berasal dari kata Latin “femina” yang berarti perempuan,
selanjutnya diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris “femine” yang dimaknai pemilik sifat-sifat perempuan, dan ditambah
akhiran “isme”—diartikan “faham”. Karenanya feminisme atau yang populer dengan
istilah “gerakan feminisme” merupakan upaya sadar mengangkat derajat perempuan
yang sedang mengalami subordinasi, penekanan, dan penindasan baik secara
budaya, politik, maupun ekonomi—berkaitan dengan patriarki—dimana lelaki
dianggap lebih unggul dari perempuan.
Lantas, pertanyaan yang kemudian mengemuka; Bagaimanakah
di Indonesia, atau seperti apakah konstruksi gender itu?
Jika dikupas dalam teori feminisme maka yang cocok untuk
Indonesia adalah “feminisme poskolonialisme” sebab secara umum sejarah
Indonesia merupakan sejarah 350 tahun dijajah oleh Belanda dan 3 tahun dijajah
oleh Bangsa Jepang. Dalam hal ini feminisme poskolonial dapat difahami dari
pengalaman masa lalu yang bersumber dari penghayatan perempuan dimana mereka
telah mengalami penindasan gender dan mengalami subordinasi atau penindasan
berdasarkan SARA—suku, agama, dan ras. Pada tulisan ini penulis membagi
konstruksi gender menjadi 4 (empat) fase.
Konstruksi
gender fase
pertama yakni penjajahan Belanda;
Dengan masuknya kolonialisme Belanda yang membawa budaya barat pada awal abad 17 hingga pemerintah Hindia Belanda
berkuasa sampai awal abad 20, terjadilah praktik pergundikan. Orang kulit
putih—terutama Belanda banyak mengambil gundik perempuan Asia, dan khususnya
Jawa. Perempuan-perempuan itu kebanyakan berstatus sebagai budak atau pembantu
rumah tangga di rumah-rumah orang Eropa. Perempuan pribumi yang menjadi
pembantu di rumah orang-orang Belanda itu disebut “nyai”. Dalam hal ini nyai
merupakan perempuan pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang
kolonial tetapi juga tidur dengannya dan pada banyak kasus menjadi ibu dari
anak-anak orang Belanda. Namun, gundik berbeda dengan pelacur. Jika pelacur
merupakan perempuan yang menukar tubuhnya dengan uang—gundik dalam konteks era
kolonial tidak menukar tubuhnya dengan uang dan ini merupakan hubungan antara
majikan dan budaknya (pembantu).
Pergundikan ini berjalan cukup lama terhitung dari abad
ke-17 hingga 20, dapatlah dibayangkan bagaimana konstruksi gender yang kemudian
hidup di Indonesia. Nyatanya konstruksi budaya kita sangat kental patriarki.
Penderitaan perempuan tidak terhenti sampai pergundikan,
selanjutnya datang penjajah baru, yakni; Jepang atau penulis istilahkan konstruksi gender fase kedua. Jepang masuk ke Indonesia terlebih dahulu melalui Tarakan Kalimantan Timur pada tanggal 10
Januari 1942, seminggu kemudian menaklukkan Balik Papan, disusul Pontianak dan
Martapura terjadi pada bulan Februari 1942. Orang Indonesia dan Jepang terkesan
bersahabat karena mereka sama-sama orang
Asia. Tindakan tentara Jepang yang cukup berhasil untuk membeli hati orang
Indonesia dimana bangsa Jepang dengan dalih menghancurkan dominansi barat; ketika itu pasukan Jepang
membunuh orang-orang Belanda di depan
umum dan disaksikan tatapan mata rakyat
Indonesia. Pula dengan para wanita-wanita yang pada masa kolonial
menyebut diri mereka sebagai orang
Belanda, mereka dimasukkan ke dalam rumah pelacuran yang diperuntukkan untuk
pelampiasan tentara Jepang itu.
Dari situlah terminologi perempuan pelacur dikenal di
Indonesia, pada perkembangannya tempat-tempat prostitusi dibangun diperuntukkan
pelampiasan berahi laki-laki.
Jepang hengkang dari Indonesia pada Agustus tahun
1945—bersamaan dengan dihancurkannya Hirosima dan Nagasaki oleh pasukan sekutu.
Selanjutnya konstruksi gender fase
ketiga. Pada fase ini yang disebut dengan feminisme poskolonial,
sedangkan fase pertama dan kedua merupakan konstruksi gender era kolonial. Setelah
bangsa ini menghirup udara kemerdekaan namun penderitaan perempuan yang telah
konstruksi sedemikian rupa—membuat perempuan Indonesia terdominasi oleh budaya
patriarki yang semakin mengental.
Budaya patriarki tersebut penulis gambarkan dari sebuah
novel yang berjudul “Gadis Pantai” karya Pramoedya Ananta Toer atau yang
populer disebut “Pram”.
“Kau milikku. Aku yang
menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti dikerjakan. Ia mulai
mengerti, di sini ia tak boleh punya kawan seorang pun. Penggalan berikutnya:
“Kau tak boleh sekali-kali
menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila melanggar.”
Dari kutipan tersebut nampak
jelas patriarki memainkan peranan yang sangat dominan—dimana seorang suami
memiliki kuasa penuh terhadap istrinya. Namun, istri tidak punya kuasa
sedikitpun terhadap suaminya.
Kutipan selanjutnya: “Ia
hanya tahu: ia kehilangan seluruh hidupnya. Kadang dalam ketakutan ia bertanya:
mengapa tak boleh ia tinggal di mana ia suka, di antara orang-orang tersayang…”
Penggalan di atas menyiratkan sang istri mulai berpikir
dan berpotensi melakukan pemberontakan terhadap patriarki. Kutipan tersebut
menggambarkan budaya patriarki yang kental dan hidup di Jawa. Namun, pada fase ketiga, konstruksi gender di Indonesia mengalami
kemajuan jika dibandingkan pada fase nyai atau pergundikan pada zaman kolonialis Belanda
dan fase pelacuran pada zaman kolonialis Jepang.
Beranjak pada fase sekarang atau konstruksi
gender fase
keempat; pada fase keempat perempuan Indonesia sedang dan telah berani
melakukan perlawanan terhadap dominasi patriarki ditandai dengan banyaknya
perempuan yang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang perguruan
tinggi, sejalan dengan kiprah perempuan yang semakin luas terutama pada bidang
ekonomi dan politik. Bahkan dewasa ini telah muncul istilah baru yang cukup
menycengankan, salah satunya “susis” (suami sieun
istri= suami takut istri).
Istilah susis membawa warna tersendiri bagi konstruksi
gender pada fase keempat, sebab pada fase sebelumnya istilah susis tidak diketemukan tidak
muncul kepermukaan publik.
Ada satu istilah lagi yang baru-baru ini santer
diperbincangkan—baik di dunia maya maupun di dunia nyata, istilah tersebut
yaitu “pelakor” atau “perempuan perebut laki orang”. Istilah pelakor cukup unik pada konstruksi gender pada fase keempat ini. Kenapa? Pelakor mengindikasikan adanya
konflik antara perempuan dan perempuan. Namun, ada hal yang cukup mengejutkan:
jika istilah pelakor bermakna konflik antar perempuan. Pertanyaan yang kemudian
muncul kenapa perempuan konflik dengan perempuan?
Kemumungkinan pertama,
patriarki telah menyesuaikan diri sehingga laki-laki menjadi lebih feminin,
konstruksi gender pada fase pertama hingga ketiga—laki-laki memperebutkan
perempuan dan itu salah satu bentuk maskulinitas (kejantanan). Tetapi, sekarang
dengan istilah pelakor artinya perempuan memperebutkan laki-laki—artinya
perempuan terkesan maskulin karena pihak yang aktif dan laki-laki terkesan
feminin sebab terkesan pasif. Kemungkinan kedua,
patriarki telah terdominasi oleh matriarki (perempuan mendominasi
laki-laki).
Pada kesempatan ini, penulis menggaris bawahi bahwa
gerakan perempuan atau feminisme bukanlah gerakan balas dendam terhadap
patriarki. Namun, feminisme merupakan gerakan transformasi agar laki-laki dan
perempuan sejajar dalam konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi—tujuannya
agar laki-laki dan perempuan hidup bahagia dan harmonis—sama-sama dapat
memberikan sumbangsih untuk kemajuan bangsa dan pembangunan.
Banten, 20 Juli-22 Agustus 2018
Tentang
Penulis
Agus Hiplununudin bergiat sebagai Dosen Filsafat Ilmu di
STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten. Salah satu bukunya yang telah terbit
“Politik Gender” diterbitkan Calpulis (Garaha Ilmu), Yogyakarta.
Email : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp/WA: 0817742204
Fb : @Agus
Hiplunudin
IG : agus
hiplunudin
Dominasi Patriarki, Konstruksi Tubuh Perempuan dan Pelakor
Reviewed by takanta
on
Agustus 24, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar