Environmentalisme dan Eksistensi Kaum Feminis
Suatu ketika penulis menghadiri sebuah acara diskusi
mengenai tambang pasir di daerah Lebak Utara, Rangkasbitung-Banten. Penulis
menelaah dan simpulannya berhubungan dengan isu lingkungan (environment). Guna mendapatkan bukti
empirik penulis menelusuri jalan sekitar tambang pasir tersebut—di daerah Desa
Nameng dan Citeras di situ terdapat tambang pasir yang mempekerjakan puluhan
pekerja berasal dari daerah sekitar. Namun, teronton (truk besar) pengangkut
pasir basah menyisakan limbah dijalanan, sehingga lingkungan menjadi berdebu
dan kumuh.
Oleh : Agus Hiplunudin
Isu lingkungan cukup seksi untuk diperbincangkan, apa lagi
jika dihubungkan dengan masuknya kapitalisme ke desa-desa, sehingga desa
menjadi salah satu tempat industeri yang mungkin mengakibatkan rusak atau
tercemarnya lingkungan. Kasus tambang pasir merupakan salah satu contoh
kapitalisme di desa yang berhubungan dengan lingkungan itu.
Berbicara mengenai lingkungan secara filosofi mengupas
eksistensi manusia sebab sepenuhnya lingkungan merupakan tanggung jawab
manusia. Faktanya manusia berdasarkan kelamin terdiri dari 2 (dua) jenis, yakni
perempuan dan laki-laki. Hal pertama yang menjadi pertanyaan; jenis kelamin
manakah yang lebih menyatu dengan lingkungan, alam?
Pada zaman pra sejarah manusia hidup secara
berpindah-pindah, nomaden. Mereka tinggal di gua-gua yang dapat melindungi
mereka dari sengatan matahari, terpaan angin malam, dan kegenasan binatang
buas. Para lelaki berburu, sedangkan para perempuan mengurus anak dan mengolah
bahan makanan untuk dikonsumsi. Pada zaman nomaden ini manusia dan alam masih
harmonis—dan sepenuhnya kebutuhan hidup manusia dipenuhi oleh lingkungannya.
Hubungan laki-laki dan perempuan berjalan dengan seimbang satu sama lain saling
memerlukan.
Era nomaden eksistensi manusia (laki-laki dan perempuan)
menyatu dengan alam, manusia hidup sederhana bersahabat dengan lingkungan
karenanya tanpa disadari era nomaden merupakan era environmentalisme.
Era nomaden berakhir, digantikan era meramu makanan;
manusia pra sejarah mulai sadar perlunya tempat tinggal, mereka membuat
komunitas-komunitas kecil dan hidup berkelompok. Pada zaman inilah manusia
mengenal barter (saling menukar barang dengan barang) inilah bentuk ekonomi
purba awal. Pada zaman meramu makanan lelaki tampil sebagai pemimpin kelompok,
lelaki terkuat itulah yang diangkat sebagai pemimpi dan otomatis memiliki
daerah kekuasaan sepanjang ia berhasil menaklukan kelompok-kelompok lainnya. Namun,
pengatur alam tetap menjadi urusan perempuan—yang diidentikkan dengan dewi
kesuburan.
Era selanjutnya yaitu zaman bercocok tanam, manusia hidup
menetap dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bertani. Pada zaman inilah
ditemukan alat-alat pertanian seperti cangkul dan parang terbuat dari bahan
logam. Areal pertanianpun semakin diperluas. Tetapi, panen seringkali gagal
karena fenomena alam. Pada zaman ini perempuan mendapatkan puncak kejayaan,
mereka dipuja sebagai dewi kesuburan dan pembawa sumber rezeki.
Para perempuan di era bercocok tanam diberi ruang untuk
berpikir, sehingga kaum perempuanlah yang menentukan hari baik dan buruk untuk
bercocok tanam, menentukan biji-bijian yang hendak ditanam—dan bumi
diidentikkan dengan kesuburan seorang perempuan, dewa-dewa berjenis kelamin
perempuan dipuja-puji oleh manusia. Pada era ini manusia dengan alam masih
menyatu dan perempuanlah yang menjadi landasan environmentalisme. Pada era
bercocok tanam perempuan dengan kapasitas berpikirnya membuat manik-manik
perhiasan, menenun pakaian, dan menciptakan simbol-simbol tertentu berkaitan
dengan alam yang dikemudian hari akan membebaskan manusia dari kebodohan pra
sejarah menuju peradaban sejarah—dimana manusia mengenal tulisan.
Dengan ditemukannya alat-alat mengolah tanah—sehingga
perluasan lahan pertanian meningkat, dikenalnya hak milik, struktur masyarakat
feodalis pun terbentuk. Semenjak itulah perempuan menjadi milik laki-laki dan
alam dibentuk berdasarkan selera laki-laki. Untuk mengurangi konflik masyarakat
feodal membuat aturan atau kontrak sosial; hukum pun mulai diberlakukan,
tentunya hukum dibuat berdasarkan selera laki-laki, dan patriarki menjadi
patokan kebenaran.
Laki-laki dengan kekuatan tenaga dan akalnya terus
menerus mengeksploitasi alam. Bahan bakar dari tumbuhan (bio gas)—yang semula diramu
oleh kaum perempuan pada era pra sejarah dirasakan tidak efektif lagi.
Selanjutnya ditemukan bahan bakar minyak—yang bersumber dari perut bumi. Dengan
bahan bakar minyak manusia lebih efektif, efisien, dan mendapatkan hasil
maksimal dari pengolahan produksi.
Dengan ditemukannya bahan bakar minyak perlahan struktur
masyarakat feodalis berubah menjadi kapitalis. Namun, corak eksploitasi alam
era kapitalis tidak jauh beda dengan era feodalis—dimana hukum dibuat
berdasarkan selera laki-laki dan alam dibentuk berdasarkan hasrat laki-laki. Kapitalisme
modern telah memperlakukan alam sedemikian rupa; eksploitasi bahan bakar minyak
telah merobek sebagaian besar perut bumi, industerialisasi membuat kerusakan di
darat, laut, dan udara. Dengan kekuatan kapitalisme berikut industerialisasinya
menjadikan alam kian hari kian rusak, dan environmentalisme menjadi kian samar
bahkan hilang.
Perlu penulis garis bawahi pada pase nomaden, meramu
makanan, dan bercocok tanam dimana alam dibentuk berdasarkan selera perempuan,
dan hasilnya manusia bersahabat dengan lingkungan—artinya pada era-era itulah
environmentalisme menjadi mahjab pembangunan. Pase selanjutnya yaitu fase
feodalis dan kapitalis dimana hukum dibuat berdasarkan selera laki-laki dan
alam dibentuk menurut hasrat laki-laki—hasilnya alam semakin rusak dan ini
artinya mahjab environmentalisme telah ditinggalkan.
Dewasa ini masalah lingkungan telah menjadi tema utama
dalam pembangunan internasional terutama di negara negara maju yang
sosialisasinya hingga ke negara berkembang atau negara dunia ketiga termasuk
Indonesia.
Jika analisis Marxis menyatakan bahwasanya kapitalisme
sedang menggali kuburannya sendiri—dimana kaum proletariat akan melakukan
perlawanan terhadap kaum kapitalis (borjuasi). Selanjutnya kaum proletariat merebut
alat-alat produksi, lantas mereka membentuk masyarakat tatanan baru yang
disebut “masyarakat komunal modern” bercirikan struktur masyarakat tanpa kelas
dan karenanya tak lagi membutuhkan institusi negara. Para teoritis menyangsikan
kebenaran teori ini, dan menganggap sebagai mimpi belaka, utopi. Hal ini dapat
dimaklumi sebab masyarakat komunal modern yang digagas oleh Marxis akan
mengembalikan tatanan masyarakat ke era pra sejarah.
Era pra sejarah yang bercorak feminis dirasakan lebih
cocok dalam konteks lingkungan, sedangkan era feodalis dan kapitalis yang
bercorak maskulin dirasakan memberikan sumbangsih terbesar terhadap kerusakan
lingkungan dewasa ini. Atas karenanya environmentalisme menjadi alternatif
dalam pembangunan. Environmentalisme merupakan suatu sikap atau idiologi
gerakan politik bertujuan untuk melestarikan lingkungan, dan ruhnya adalah
kebijakan berbasis feminis.
Feminis environmentalisme merupakan kesadaran kolektif
untuk menjaga alam secara bersama-sama dan dalam hal ini adalah masyarakat
dunia. Alternatifnya mengembalikan lingkungan pada sifat dasarnya yaitu feminis
(sifat yang cenderung pada perempuan). Hiduplah dekat dengan alam, penuh
kesederhanaan, penuh kasih sayang, dan lemah lembut—sifat-sifat itulah yang
menyebabkan penyatuan lingkungan dengan manusia. Inilah eksistensi kaum feminis
yang difahami sebagai sifat dasar alam, tentunya dalam pengertian ini berbeda
dengan kaum feminisme yang bereksistensi sebagai gerakan politik dan budaya
kaum perempuan.
Alam berikut kelestariannya sepenuhnya menjadi tanggung
jawab manusia. Manusialah yang bereksitensi di alam. Eksistensi paling tidak
memiliki tiga dimensi; pertama
kehendak, kedua kebebasan, dan ketiga tanggung jawab. Maka eksistensi
feminis dalam konteks sebagai manusia pelestari lingkunggan (environmentalisme)
perlu dilakukan secara nyata dan konsisten.
Banten, 15 Agustus 2018
Tentang Penulis
Agus Hiplunudin
1986 lahir di
Lebak-Banten, adalah lulusan
Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan,
pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini
bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi
Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan Kebangsaan
dan Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya penulis yang
telah diterbitkan yakni:
Buku yang Telah Dipublikasikan
Politik Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Identitas di Indonesia
dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi
2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Era Digital 2017, Calpulis: Yogyakarta
Kebijakan Birokras
dan Pelayanan Publik
Suatu Tinjauan
Kritis Ilmu Administrasi Negara 2017, Calpulis: Yogyakarta
Filsafat Eksistensialisme 2017, Graha Ilmu: Yogyakarta
Filsafat Politik Plato dan Ariestoteles 2017, Graha Ilmu
Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional yang Telah diikuti
Jurnal: “Partisipasi Pemuda
dalam Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten, di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa-Banten
Jurnal: Pelestarian Seni Budaya
Tradisional Debus Banten dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Budaya Daerah, di
STISIP Setia Budhi-Rangkasbitung-Banten
Jurnal: Hegemoni Budaya Politik
Suku Jawa pada Pilkada 2019
Pemateri Seminar Nasional
Pemateri: Pemanfaatan Internet
dan Ketahanan Nasional bersama Kominfo RI di Ciamis-Jawa Barat
Pemateri: Pemanfaatan Internet
oleh Masyarakat, bersama Roy Suryo anggota DPRRI di Yogyakarta
Keilmuan yang sekarang ditekuni, yakni; Ilmu Politik,
Filsafat, Pelayanan Publik, Ilmu Budaya, Kebijakan Publik dan Kewarganegaraan.
Alamat Sekarang:
Kp Parakan Mesjid, RT 04/04, Kec. Rangkasbitung,
Lebak-Banten.
Email : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp : 081-774-220-4
Facebook : @Agus
Hiplunudin
Environmentalisme dan Eksistensi Kaum Feminis
Reviewed by takanta
on
Agustus 18, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar