Sore,
Sebelum saya lebih jauh mencatat hasil diskusi tentang Gusdur, izinkan saya
tertawa terlebih dahulu, hahaha.
Hampir
setiap pekan, Komunitas Gerakan Situbondo Membaca (GSM) seperti biasa melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan dunia literasi, tema dalam kegiatan diskusi
bulan Agustus ini mengambil tema “Gusdur dan Buku”. Sebelum Acara dibuka hanya
beberapa peserta yang baru hadir, ada salah satu teman yang memulai diskusi
duluan sekelumit tentang “Gusdur” tentang kelucuannya. Sebelum diskusi dimulai
peserta sudah mulai tertawa, Gusdur yang terkenal pribadi humoris dengan joke-joke yang membawa
nuansa berbeda dalam diskusi kali ini. Tak seperti biasa muka tegang diantara
kita hampir tak ada. Tawa, menghiasi diskusi kami, ada yang berbeda memang dari diskusi-diskusi kami sebelumnya.
Ini Keanehan Gusdur yang pertama.
Pembawa
acara ketika membuka acara sedikit serius menyampaikan pengantar diskusi
tentang Gusdur, dia menyampaikan bahwa ketika pertama kali Gusdur menulis satu opini
pada tahun 1960-an, Gusdur membutuhkan 30 Buku yang dibaca untuk dijadikan
referensi dalam menulis satu opini. Hadirin pun tercengang ketika pembawa acara
menyampaikan itu. Gimana tidak tercengang, satu opini saja butuh 30-an buku,
kalau ditimbang mungkin berat bukunya di atas 10 Kg, hehehehe. Gusdur memang
beda dengan kita, yaaaa, bedanya di situ bro.
Pemantik
kali ini adalah Pak Ahmad Nur. Beliau adalah Ketua LAKSPESDAM NU Kab. Situbondo.
Selain aktif di NU beliau menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi yang ada
di Kabupaten Situbondo. Kenapa kita mengundang Pak Ahmad Nur sebagai pemantik?
Jawabanya; karena Pak Ahmad Nur ada kesamaan dengan Gusdur “Sama-sama oreng NU”, hehehe. Tapi tidak asal orang
NU yang kami pilih, karena kenyataannya tidak semua orang NU itu ngerti Gusdur.
Iya nggak?Hihihihihi. Selanjutnya pembawa acara mempersilahkan kepada pemantik
untuk menyampaikan materinya.
Banyak
dimensi ketika berbicara Gusdur, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari
sosok Gusdur, namun saya pada kesempatan kali ini hanya mau membatasi diskusi
pada aspek epistemologinya saja, itu yang disampaikan Pak Ahmad Nur pada pembukaan
diskusi. Pertama; Kedekatan Gusdur dengan Ilmu Pengetahuan (buku) dimulai dari
lingkungan keluarga, kita tahu KH.Wahid Hasyim adalah sosok yang di rumahnya
memiliki perpustakaan pribadi yang banyak mengoleksi buku, dari sana kegemaran Gusdur membaca dimulai. Kedua;
KH. Wahid Hasyim merupakan tokoh bangsa dimana rumahnya selalu kedatangan tamu
para pemikir-pemikir bangsa pada zamannya, jadi Gusdur sudah terbiasa dekat
dengan pemikiran-pemikiran kebangsaan pada saat itu. Ketiga; dalam satu
keterangan Gusdur terinspirasi dengan ucapan Imam Syafi’i “Dan siapa yang tidak
belajar di waktu mudanya, bertakbirlah empat kali (sebagai salat jenazah) atas
kematiannya”.
Pengetahuan
bagi Gusdur sebagai media kritik, artinya ketika Gusdur melakukan kritik
terhadap sesuatu, Gusdur sangat memahami terhadap sesuatu yang dia mau kritik,
misalnya; Gusdur mengkritik sistem kapitalaisme, karena Gusdur pernah membaca
buku “Das Kapital-nya Karl Mark”, ketika dia mengkritik Karl Mark Gusdur sudah
membaca buku karangannya Antonio Gramsci, ketika Gusdur belajar tentang teologi
pembebasan dia mengkritik Antonio Gramsci, Gusdur bukanlah sosok yang mudah
mengkultuskan sesuatu artinya tidak mudah puas dengan pengetahuan yang dia
miliki, sosok pembelajar, pribadi yang selalu
mengembangkan pengetahuannya dengan terus membaca.
Ketika
kita telisik lebih mendalam terhadap karya tulisnya Gusdur dalam bukunya “Islam
Aku, Islam Anda, Islam Kita”, Islam “Akunya”tidak terlalu ditampakkan oleh
Gusdur, dia lebih menampakkan islam sosialnya sehingga Gusdur mampu
menenggelamkan “ke-akuan-nya”.
Peserta
lain menambahkan, dalam literatur lain dalam buku karangan Mohammad Sobary
“Jejak Guru Bangsa Mewarisi Kearifan Gusdur” halaman 22-23; ketika beliau
masih SMP, memiliki kesempatan meminjam buku kepada salah satu gurunya,
buku-buku pinjamannya itu berupa novel-novel kaliber dunia, dan buku-buku besar
nonfiksi seperti buku Das Kapital, Comunist Manifesto, dan The German Ideology karya gabungan Mark
dan Lenin. Novel-novel Tolstoy;War and Peace, Drama-drama Pushkin dan
Gogol, Cerpen-cerpen Chekhov, serta “Pemberontakan” Dostoevsky, karya Hemingway, termasuk A Farrewel to Arsm dan For
Whom the Bell Tills, yang filmnya juga ditonton oleh Gusdur, dan The old man and the sea, yang secara
khusus Gusdur menyukai novel yang temanya mengandung kesederhanaan, unik dan
kreatif seperti buku Travel wits Charley
dari koleksi karya-karya besar Steinbeck. Ya, begitulah sosok Gusdur anak
seorang kyai kalangan pesantren yang memiliki kebisaan lain dari santri pada
umumnya saat itu. kecintaan Gusdur terhadap buku juga ketika beliau mondok
di pesantren Kyai Chudlori beliau lebih banyak membaca buku putih dari
pada buku kuning (kitab Kuning).
Dokumentasi Gerakan Situbondo Membaca | Sabtu, 4 Agustus 2018 |
Peserta
lainnya menambahkan lagi, hehehehe banyak tambahan ya.....!! Menjelaskan Gusdur dari sisi sufistik,
menjelaskan pribadi yang ketika di Bagdad salah satu kesukaan nya pergi ke
makam para wali, mulai kebiasaannya yang gemar keperpustaan, kedai kopi dan
bioskop. Gusdur seperti salah satu pengajaran
dalam kitab Al-hikam “Tenggelamkan dirimu pada lumpur kehinaan ketika belum
ditenggelamkan maka tumbuhnya tidak akan sempurna”, kembali pada penjelasan di
awal bahwa Gusdur merupakan sosok yang mampu menenggelamkan ke-akuan-nya,
peniadaan dirinya. Makanya Gusdur itu bukan sosok yang senang dipuji dan t’layu
ketika dihina, seperti yang pernah beliau sampaikan, orang ketika masih gila
pada pujian dan sumpek ketika dikritik, itu orang amatiran.
“Hahahahaha,”
peserta pecah lagi dalam suasana kelucuan oleh kata amatiran.
Gusdur
merupakan sosok yang sulit dimengerti meminjam istilah kang Sobary, Gusdur
seperti kitab kuning sulit dibaca karena tanpa tanda baca, tapi ada kata password untuk memasuki duninya yaitu
kata; “Menolong, Nirpamrih, tulus, kemanusiaan dan ummat”. “Intinya Gusdur itu
sulit dipahami dan ruwet ya ....!” Begitu kata salah satu perserta diskusi,
ahirnya acara ditutup dengan tertawa. Hahaha! []
Biodata Penulis
Sainur
Rasyid, tinggal di Situbondo, aktivis HMI dan literasi.
Gusdur dan Buku
Reviewed by Redaksi
on
Agustus 06, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar