Instagram, Lesbian dan Kebebasan Seksualitas
Era baru telah tampil di tengah-tengah masyarak dunia
dewasa ini, era baru tersebut yaitu era digital atau new media. Era digital ditandai dengan berkembang pesatnya teknologi
informasi dan komunikasi terutama internet berikut media sosialnya—di antaranya
Instagram atau yang populer disebut IG. Pada suatu kesempatan penulis melihat-lihat
akun IG; penulis menemukan berbagai foto terpampang terutama yang di-publish oleh kaum perempuan dan penulis istilahkan sebagai kaum
narsis. Adapun laki-laki yang narsis penulis istilah “laki-laki feminin”.
Oleh: Agus Hiplunudin
Pada kesempatan lain selekas acara diskusi, secara tidak
sengaja penulis melontarkan sebuah tanya; Kenapa perempuan bukan hanya memuja
kaum laki-laki, namun perempuan juga memuja kaumnya sendiri? Pertanyaan
tersebut dijawab meriah—jadi perdebatan baik laki-laki maupun perempuan.
Intinya; kaum perempuan membenarkan bahwa kaumnya memuja sesama jenisnya (dalam
konteks tampilan foto di IG).
Perempuan pada umumnya memiliki kecenderungan femini,
mereka menyukai keelokan, kelembutan, dan kelemah gemulaian. Inilah yang
kemudian menjadikan kaum perempuan memuja kaumnya sendiri. Jika seorang atau
sekelompok perempuan sedang membuka akun IG; akan cenderung terkagum-kagum melihat perempuan
yang tampak di IG tersebut—hanya karena gaunnya yang indah, parasnya yang
cantik, atau kulitnya yang lembut. Dengan perkataan lain perempuan memiliki
potensi bertingkah layaknya lesbian. Penulis seringkali melihat, perempuan
membelai rambut temannya yang juga perempuan, terkadang mereka saling meremas
lembut jari jemari satu dengan yang lainnya, bahkan saling peluk hingga mereka
dapat merasakan kenyalnya payu dara satu sama lain.
Perlu digaris-bawahi lesbian di sini merupakan kecendurungan keintiman antara perempuan
yang satu dengan perempuan yang lainnya didasari oleh hasrat erotis. Artinya
lesbian secara radikal dapat pula dipahami sebagai homo seksual atau hetero seksual. Namun,
ketika sesama perempuan menjalin keintiman tanpa dibarengi hasrat erotis—hal
tersebut tidak dapat disebut lesbian.
Jika Anda membayangkan seorang lesbi dalam benak Anda akan
terlukiskan seorang perempuan berkemeja atau mantel, bertopi, rambut pendek—tomboi,
bertingkah laku menyerupai laki-laki, dan Anda akan berpikir bahwa perempuan
dengan sosok demikian yakni makhluk dengan gangguan mental atau hormon
tertentu. Sebetulnya tampilan tersebut tidak menjamin bahwa ia seorang lesbi,
secara biologis memang ada hormon yang membangun struktur tubuh, apakah
cederung ke maskulin—kelaki-lakian, atau ke feminin—ke perempuan-perempuanan,
hal tersebut dipengaruhi pula dengan aktifitas fisik; contohnya perempuan
olahragawan akan memiliki kecenderungan pertumbuhan fisik seperti laki-laki.
Artinya Anda jangan terlalu curiga pada perempuan dengan tampilan tomboi,
apalagi menuduhnya sebagai lesbi.
Menurut catatan Simon De Beuvoer dalam bukunya The Socnd Sex akibat dari tumbuhnya
hormon kelaki-lakian (pada perempuan) yang disebut “viriloid” akan menunjukkan ciri sekunder dari maskulinitas seperti
tumbuhnya rambut dari wajah—pula dengan perempuan bertipikal kekanak-kanakan
dimana perkembangannya bisa tidak terselesaikan. Perempuan dengan tampilan
agresif, anti kepasifan, ia berkecenderungan menutupi kekurangannya dengan
menampilkan kualitas-kualitas kejantanan, hal ini jika terjadi secara terus
menerus dan hasrat erotisnya (seksualitasnya) tidak tumbuh akan cenderung tidak
tertarik pada belaian laki-laki—kerenanya ia berpotensi menjadi lesbi. Namun,
jika hasrat erotisnya tidak terganggu artinya ia tertarik dengan dengan belaian
laki-laki maka ia menjadi sosok yang normal sebagaimana perempuan
adanya—kendati berpenampilan tomboi.
Lebih lanjut mengenai lesbi, hal ini juga berhubungan
dengan pengalaman seksual atau belaian dari lawan jenis. Jika seorang laki-laki
merengkuh kekasihnya cenderung terburu-buru, penuh hasrat, bergejolak—bahkan
tidak terkendali, hal ini menyisakan teroumatis pada perempuan—jika hal itu
terjadi maka perempuan tersebut cenderung menjatuhkan dirinya pada pelukan
sesama jenisnya. Sebagaimana sudah penulis singgung—perempuan pada dasarnya
menyukai kelembutan, karenanya kekasaran seksualitas akan membuat perempuan
kian ketakutan.
Faktor pengalaman seksual cukup berpengaruh pada
perkembangan psikologis perempuan. Sebut saja pengalaman malam pertama; si
laki-laki melakukan penetrasi (memerawani) pada perempuan, jika proses
penetrasi tersebut bernada kekerasan dan menyisakan trauma pada diri perempuan maka perempuan tersebut terancam rigid—ketakutan melakukan hubungan
seksual dengan lawan jenis. Jika rigid tidak menemui jalan keluar lesbian dapat
menjadi salah satu alternatif.
Perempuan memiliki rahim karenanya ia hamil, proses
kehamilan sangat menyiksa perempuan dan ketika melahirkan pertaruhannya adalah
nyawa. Hal tersebut dapat menjadi faktor penyebab trauma pada diri perempuan. Kemudian ia berpikir kenapa ia
hamil, dan ia sadar kehamilannya disebabkan oleh hubungan seksual—lalu ia
menjadi rigid—dan bisa jadi mengambil langkah lesbian.
Berikutnya fanorama mental atau penulis istilahkan
“perempuan penganut kesetaraan gender”. Para penganut kesetaraan gender secara
ektrim dan radikal menganggap dominasi laki-laki adalah lawan. Perempuan model
ini melakukan perlawanan-perlawanan dominasi patriarki. Mereka menikmati
pergaulan sesama jenis dalam kesetaraan dan akan menunjukkan perlawanan jika
berinteraksi dengan kaum lelaki. Mereka menemukan ketenangan dalam pelukan
sesama jenisnya, pergaulan yang bebas membahagiakan tanpa perasaan saling
mendominasi—dan jika dibarengi rasa erotis—maka lesbian menjadi suatu
keniscayaan.
Solusi pencegahan lesbianisme dapat dipecahkan dengan
beberapa cara, salah satunya melalui interaksi penuh kasih sayang antara
laki-laki dan perempuan. Menciptakan harmonisasi baik secara budaya maupun
psikologis, sehingga satu sama lain mendapatkan kenyamanan dalam pergaulan dan
keintiman. Kendati pada akhirnya lesbianisme ditentukan oleh hasrat erotis. Penulis
menarik benang merah bahwa lesbian memiliki dua tipe; tipe pertama lesbian berpenampilan maskulin (tomboi), dan tipe kedua lesbian berpenampilan feminin—anggun dan lemah gemulai.
Pembicaraan mengenai lesbian belum lengkap rasanya jika
belum menyinggung perihal kebebasan seksualitas. Lesbian bisa berbentuk homo
seksual artinya ia hanya tertarik sesama jenisnya, namun dapat pula biseksual
atau heteroseksual artinya bukan hanya tertarik pada sesama jenis—tertarik pula
pada lawan jenis. Lesbian dalam bentuk heteroseksual penyebabnya seputar
ketertarikan erotis. Dalam hal ini struktur budaya Indonesia tidak menghendaki
perkembangan lesbian, tetapi di sisi lain hidup pula faktor penyebab kehadiran
lesbian—adapun faktor penyebab yang dimaksud di antaranya; peristiwa trauma seksual, pertumbuhan hormon kelaki-lakian pada
perempuan, struktur budaya patriarki yang kental, dan adanya potensi erotis
pada perempuan yang mengarah pada lesbian.
Pada kesempatan ini penulis mengutip perkataan seorang
perempuan bernama Alice tokoh utama dalam film Alice in Wondeland; “coba kau bayangkan jika laki-laki di seluruh
dunia memakai gaun perempuan!”
Apa yang dikemukakan Alice merupakan salah satu bentuk
penyesalan kenapa kaum perempuan dikonstrusi oleh pakakain sehingga perempuan
diidentikkan dengan feminin dan laki-laki diidentikkan dengan maskulinitas.
Sedangkan secara psikologis sifat feminin tidak mutlak milik perempuan dan
sifat maskulin tidak mutlak pula milik laki-laki. Namun, feminin dan maskulin
secara kodrati milik laki-laki dan perempuan, tinggal mana yang paling mendominasi.
Banten, 19 Juni – 25 Agustus 2018
Tentang Penulis
Agus Hiplunudin
1986 lahir di
Lebak-Banten, adalah lulusan
Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan,
pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini
bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi
Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan Kebangsaan dan
Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya penulis yang
telah diterbitkan yakni:
Buku yang Telah Dipublikasikan
Politik Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Identitas di Indonesia
dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi
2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Era Digital 2017, Calpulis: Yogyakarta
Kebijakan Birokras
dan Pelayanan Publik
Suatu Tinjauan Kritis
Ilmu Administrasi Negara 2017, Calpulis: Yogyakarta
Filsafat Eksistensialisme 2017, Graha Ilmu: Yogyakarta
Filsafat Politik Plato dan Ariestoteles 2017, Graha Ilmu
Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional yang Telah diikuti
Jurnal: “Partisipasi Pemuda
dalam Pelestarian Seni Budaya Tradisional Debus Banten, di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa-Banten
Jurnal: Pelestarian Seni Budaya
Tradisional Debus Banten dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Budaya Daerah, di
STISIP Setia Budhi-Rangkasbitung-Banten
Jurnal: Hegemoni Budaya Politik
Suku Jawa pada Pilkada 2019
Pemateri Seminar Nasional
Pemateri: Pemanfaatan Internet
dan Ketahanan Nasional bersama Kominfo RI di Ciamis-Jawa Barat
Pemateri: Pemanfaatan Internet
oleh Masyarakat, bersama Roy Suryo anggota DPRRI di Yogyakarta
Keilmuan yang sekarang ditekuni, yakni; Ilmu Politik,
Filsafat, Pelayanan Publik, Ilmu Budaya, Kebijakan Publik dan Kewarganegaraan.
Alamat Sekarang:
Kp Parakan Mesjid, RT 04/04, Kec. Rangkasbitung,
Lebak-Banten.
Email : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp : 081-774-220-4
Facebook : @Agus
Hiplunudin
Instagram, Lesbian dan Kebebasan Seksualitas
Reviewed by takanta
on
Agustus 31, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar