Refleksi 73 Tahun Indonesia Merdeka
17
Agustus 2018 umur bangsa Indonesia sudah mencapai 73 tahun. Lima hari
setelahnya umat islam akan merayakan hari raya Idul Adha atau hari raya kurban.
Oleh
Arif Noerfaizal
Semoga
tulisan ini menjadi bahan refleksi bagi kita sebagai warga negara yang
beragama. 350 tahun lamanya negara kita dijajah oleh kolonialisme.
Kedatangannya ke bumi pertiwi tidak hanya mengeruk sumber daya alamnya. Tetapi
juga mengeruk karakter manusianya. Hasil-hasil sumber daya alamnya bukan untuk
rakyat Indonesia, melainkan rakyat penjajah. Selama masa penjajahan, negara
Indonesia yang oleh sebagian orang dikatakan sebagai negara yang mendapatkan
percikan-percikan surga hanya buaian belaka.
Sedangkan
rakyat dipaksa mengeluarkan peluh tanpa dibayar. Tanahnya ditanam sesuai
keinginan penjajah. Dipaksa untuk menunduk dan memberikan penghormatan jika
berhadapan dengan pihak penjajah. Tak jarang rakyat Indonesia diludahi bahkan
ditempeleng. Ungkapan inlander terus menerus digunakan kepada rakyat. Kelaparan
dan kematian tak jarang ditemukan. Ayam mati kelaparan dilumbung padi adalah
ungkapan yang tepat bagi rakyat waktu itu. Pergantian dari Belanda ke Jepang
tidak mampu merubah nasib Indonesia. Yang ada justru kita terbuai dengan
janji-janji yang diberikan pihak Jepang.
Saat
Indonesia mencapai kemerdekaannya, kita hanya bisa mengusir orangnya, tapi
watak karakter penjajah menempel erat dalam diri dari sebagian manusia
Indonesia.
Maka,
di hari kemerdekaan yang ke-73 tahun ini ada dua sikap yang mesti dimiliki
wabil khusus pejabat pemerintah sebagai pelayan rakyat. Kesederhanaan dan
pengorbanan. Kita tidak lagi menyaksikan pejabat negara selayaknya, Bung Hatta.
Nyi Rahmi, istri Bung Hatta berkeinginan untuk membeli mesin jahit. Cukup lama
Nyi Rahmi menabung untuk mendapatkan keinginannya. Sayangnya pada tahun 1950
pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan terhadap pemotongan mata uang
Republik Indonesia dari 100 menjadi 1. Kebijakan ini membuat Nyi Rahmi menggagalkan
keinginan untuk membeli mesin jahit.
Saat
Bung Hatta pulang ke rumahnya, Nyi Rahmi mempertanyakan kebijakan pemotongan tersebut.
Bung Hatta menjawab, "sungguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi
rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit
demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya?"
Sungguh
jawaban yang mungkin tidak akan terjadi lagi pada keluarga pejabat Indonesia
kini. Lain Nyi Rahmi, lain pula Bung Hatta. Orang no 2 Indonesia, Pencetus ekonomi
kerakyatan Indonesia ini pernah berkinginan untuk membeli sepatu Bally. Iklan
sepatu Bally di media cetak digunting dan disimpan. Sayangnya, hingga Bung
Hatta meninggal dunia keinginan untuk memilikinya tak tercapai.
Negara
ini sedang krisis keteladanan. Dan keteladanan-keteladanan para pendiri bangsa
sangat diperlukan pada hari-hari ke depan. Selain itu, negara sedang
membutuhkan "manusia baru" sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh
Che Guevara. Manusia yang bekerja untuk kepentingan bangsanya tanpa harus
memikirkan materi. Memang sulit, tapi kebaikan-kebaikan harus terus disuarakan.
Sedangkan bagi Bung Karno, dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa modal
utama untuk menciptakan manusia baru Indonesia adalah melakukan pembangunan
karakter bangsa (character building).
Baginya, manusia baru Indonesia adalah manusia-manusia tangguh : berpikiran
merdeka, memegang prinsip kemanusiaan dan memiliki imajinasi serta daya cipta
itulah yang kelak mampu membangun peradaban Indonesia yang lebih kuat dan bermartabat.
Idul Adha
Beberapa
belakangan ini bangsa kita disibukkan dengan hal-hal yang berkaitan muslim
radikal. Pemerintah mengambil inisiatif untuk membubarkan ormas-ormas yang
terindikasi melakukan kegiatan-kegiatan yang berujung pada kekerasan dan
terorisme. Hasil kebijakan ini membuat organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
dan Jamaah Anshorut Daulah (JAD) dibubarkan.
Aksi-aksi
kekerasan yang mengatas namakan agama bukanlah barang baru di republik ini.
Pada tahun 1962, tepatnya saat melaksanakan salat Idul Adha di halaman Istana
Merdeka sebuah tragedi pembunuhan terjadi. Target utamanya adalah, Bung Karno.
Peluru tumpah saat jamaah melangsungkan salat Ied. KH. Idham Halid yang waktu
itu menjadi imam tersungkur. KH. Zainul Arifin yang berada di samping Bung
Karno terkena dagunya hingga dibawa ke rumah sakit. Soedarjat dan Soesilo
anggota Datasemen Kawal Pribadi (DKP) presiden Bung Karno terkena peluru
tersangka penembakan. Pelaku penembakan sempat merengsek mendekati Bung Karno.
Tapi lebih dahulu diringkus dengan jamaah Salat Ied.
Usut
diusut, ternyata pelaku adalah anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII). Pengakuannya bahwa ia disuruh S.W. Kertosoewirjo untuk membunuh
Soekarno. Bagi S.W.Kertosoewirjo, "tidak boleh ada matahari kembar."
Usaha-usaha pembunuhan presiden Soekarno berkali-kali dilakukan. Berkali-kali
pula menemukan kegagalannya. Tujuannya hanya satu, mendirikan negara islam.
Di umur
yang 73 tahun ini, sepantasnya nilai-nilai kenegarawanan dan spritualitas
sebagai sebuah penggambaran negara yang beragama mulai diteguhkan.
Kekerasan-kekerasan atas nama agama harus dihilangkan. Prinsipnya, karena
Indonesia adalah negara yang kaya akan suku, budaya dan agama. Toleransi harus
menjadi tonggak demi sebuah kemajuan sebuah bangsa.
Dirgahayu
Republik Indonesia.
Aku
Situbondo dan aku Indonesia.
Refleksi 73 Tahun Indonesia Merdeka
Reviewed by Redaksi
on
Agustus 17, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar