Cerpen : Sejarah Gumam
Oleh:
Yuditeha
“Arah
tuju kota Z. Naik. Jalan. Percepat. Pelankan. Percepat. Pelankan. Percepat.
Percepat lagi. Pelankan. Pelankan lagi. Belok kanan. Belok kiri. Turun. Buka
pintu. Tutup pintu. Kunci pintu.” Begitu aku keluar, kendaraan yang kupakai mencari
sendiri tempat parkir. Banyak kendaraan lalu-lalang, terbang rendah, menuruti maunya
si pengendara.
Kabarnya, kota Z banyak menyimpan kisah sejarah. Kata Monde dan Pipie, salah satu sejarah itu ada
pada bangunan bekas stasiun. Dari tempatku berdiri, mataku memandang ke arah
barat, terlihat bangunan itu. Aku pernah membaca ulasannya, bekas stasiun kereta
api itu sempat mengalami beberapa
kali perpindahan tempat karena alasan kepraktisan jalur kendaraan untuk menuju kota. Awalnya berada
di sebelah timur rel dan berganti di barat rel, menghadap ke kota. Sayangnya
stasiun itu tak pernah benar-benar terpakai, sampai waktunya rel-relnya tiada.
Aku ingin menemui dua teman yang suka konyol, Monde
dan Pipie. Aku pernah mengalami hari yang hancur. Ceritanya dulu kami bertiga
janji bertemu di taman logam. Sebelum mereka datang, semua biasa saja. Maksudku semua peristiwa tidak ada yang
aneh. Begitu ada mereka, kesialan demi kesialan
menimpaku. Berarti bisa
disimpulkan mereka membuat hariku itu
berantakan.
Ketika
masuk gang, aku melihat pak tua sedang duduk di emper toko barang teknologi.
Wajahnya mirip pak tua yang tinggal di dekat rumahku. Dalam sehari, setidaknya
empat kali aku melihat pak tua itu. Posisinya selalu sama, duduk di bangku
alumunium yang letaknya di pinggir taman plastik. Setiapkali aku melewati jalan
paling ujung, aku bisa melihatnya dari jarak dekat. Pertemuan pertama dan
kedua, di pagi hari saat aku mengantar anak-anak sekolah, sedangkan yang ketiga
dan keempat saat aku menjemput mereka pulang sekolah. Sewaktu kami bersitatap
mata, raut wajahnya selalu sama. Biasanya kami hanya saling pandang tanpa
ekspresi. Aku tidak mengenalnya, selain aku pendatang baru di tempat itu, juga
karena daerah taman itu termasuk distrik yang berbeda dengan tempat tinggalku.
Itu pun jika tempat tinggalnya memang berada di dekat taman itu. Ketika aku
sadar dari lamunan, lelaki itu telah lenyap, tampaknya menghilang di ujung gang.
Semoga
Monde dan Pipie ada di rumah. Ya, mereka tinggal serumah. Mereka memang pasangan
sejenis. Aku membayangkan mereka sedang melampiaskan hasrat seksualnya. Mungkin
semacam ungkapan buah jeruk ketemu buah jeruk. Mereka memang pasangan yang lucu
dan mesra. Saking dekatnya jalinan Monde dan Pipie, sebuah tantangan terlontar.
Entah bagaimana mulanya hingga mereka sepakat membuat tantangan harus
menyebutkan satu kisah rahasia yang selama ini mereka simpan. Mereka juga
setuju, bahwa tantangan itu diadakan untuk membuktikan rekatnya jalinan itu.
Mereka
bersuit, siapa yang kalah, dialah yang harus pertama menyebutkan rahasianya. Satu,
dua, tiga. Monde memperlihatkan pantatnya, sedangkan Pipie memperlihatkan
vaginanya. Sontak Pipie bersorak, yeah. Urutannya begini, pantat lebih menang
dari payudara, payudara lebih menang dari vagina, sedangkan vagina lebih menang
dari pantat.
Akhirnya
Monde-lah yang pertama mengatakan rahasianya. Rahasia yang dibeberkan Monde
adalah peristiwa saat dirinya bercinta dengan lelaki–suami dari temannya. Kata
Monde, percumbuan itu dilakukan atas dasar suka rela. Hubungan itu hanya sekali
dilakukan. Meski hanya sekali, bagi Monde peristiwa sangat berkesan dan
sensasinya sulit hilang. Pengakuan Pipie pun sama. Dia melakukan persetubuhan
dengan suami temannya. Benar-benar kisah yang mendebarkan.
Banyak orang bilang, hidup ini akan indah bila berada di keluarga yang harmonis. Sepertinya memang begitu adanya, karena aku telah merasakan sendiri. Tak henti-henti aku selalu bersyukur karena telah diperkenankan hidup di dalam keluarga yang sayang padaku. Tapi sebelum aku meyakini keluarga baruku ini benar-benar keluarga yang baik, aku sempat mencurigai mereka hendak mencampakkan aku. Hal ini karena ada kejadian yang tak pernah kulupa. Pada suatu kesempatan aku akan menceritakan kepada kalian peristiwa itu. Peristiwa yang
membuatku salah paham kepada keluarga ini.
Dulu aku hidup bersama dengan teman-teman yang senasib di sebuah penampungan akbar, begitulah aku menamai
tempat itu. Hampir setiap hari ada orang yang datang ke tempat itu, memilih salah satu di antara kami untuk dinikahi dan tinggal di sebuah rumah. Pada suatu pagi yang
cerah datanglah seorang lelaki bersama dua bocah, yang kuduga adalah anaknya. Lelaki itu berbincang dengan orang yang menampungku hingga mereka memutuskan untuk memilihku ikut tinggal
bersama mereka.
Sampai di rumah mereka, aku diberi sebuah kamar tersendiri. Sambutan mereka
begitu hangat. Nampaknya mereka menyayangiku dengan sepenuh hati. Lelaki itu juga menerimaku dengan suka cita. Pada
saat itulah aku mulai merasakan kebahagiaannya. Dari hari ke hari
perlakuan mereka semakin sayang padaku. Baik lelaki itu maupun kedua anaknya. Mereka memerhatikan aku, secara bergantian menyediakan
waktu untuk bersama denganku, bahkan
terkadang kami berkumpul bersenda gurau. Mereka selalu memberi semua yang kubutuhkan. Mereka juga sering mengajakku ikut
dalam setiap acara berlibur yang mereka agendakan.
Agenda rutin yang baru kami lakukan adalah menikmati indahnya matahari pagi. Hangatnya matahari membuatku seperti
mendapatkan suntikan energi.
Suatu
malam aku bermimpi melihat ada rombongan yang berjumlah tigabelas. Mereka terus bergerak, bukan dengan mengacu pada tanda terang, tapi justru warna paling pekatlah yang jadi pilihan arah ke mana mereka akan berjalan. Gulita itu menjadi penunjuk yang diyakini akan mengantar sampai tujuan: kota Tengkorak, kota yang dapat menguji kejujuran bagi setiap pengunjungnya. Tak lama kemudian mereka benar-benar memasuki pintu gerbang kota Tengkorak. Perjalanan mereka menyusuri lorong kota itu pun
masih dengan pedoman yang sama, yaitu memilih paling gelap. Tak ada bulan dan bintang. Satu-satunya panutan langkah-langkah mereka hanya pada orang yang berjalan di depannya.
"Karena akulah terang itu sendiri," jawab orang yang berjalan paling depan saat salah satu dari mereka bertanya, alasan mereka harus mengikuti. Mungkin dia ketua rombongan itu.
Mereka sampai di sebuah gedung besar. Salah satu dari mereka menanyakan tentang gedung itu kepada orang yang sedang berjaga di pintu masuknya.
"Gedung pengadilan," jawab orang itu.
"Ada peristiwa apa di dalam?"
"Kami akan menggelar pengadilan terbesar sepanjang zaman."
"Siapa yang akan diadili?"
"Dia dikenal sebagai seorang penguasa
tertinggi."
Mimpi
itu hampir mirip dengan kisah di sebuah
film. Kami sempat nomton bareng. Ceritanya di setiap menjelang malam di bawah pohon listrik, puisi-puisi cinta selalu berserakan menyerupai bunga mawar merah yang telah lepas dari kelopaknya dan tertabur begitu saja. Bunga-bunga itu semuanya terbuat dari bahan
sintetis. Baunya seperti
plastik saat dibakar. Bau itu menyelubungi searea di bawah lingkaran rimbun daun pohon listrik itu. Di sana, tiap menjelang malam terjadi perpaduan kasih laki dan perempuan. Si lelaki suka melontarkan kata-kata manis, bahkan curahan kata manis itu sampai melimpah, dapat diibaratkan tumpah ruah sampai memenuhi pelataran bawah pohon listrik itu.
Janji sehidup semati dari lelaki telah dicanangkan, dan si perempuan menerima dangan suka cita. Rengkuhan kegembiraan mereka sejenak melambungkan jiwa sampai ke awang-awang hingga selayaknya mereka dapat melihat bumi seperti bisa digenggam. Lantas mempermainkannya. Melemparkannya dari tangan satu ke tangan yang lain, seolah-olah hanya mereka berdua yang berhak memiliki.
Namun, keadaan menjelang malam di bawah pohon listrik malam itu rupanya tidak ramah seperti biasanya. Sajak-sajak yang terkungkung di sana berubah menggumpal kecil-kecil menyerupai darah kotor yang tercecer. Bau amis dan anyir membelenggu udara di sekitar pohon. Tempat itu jadi menyerupai bekas arena pertarungan yang sarat dengan dendam.
"Perjalanan cinta tak segampang dengan apa yang kau angankan. Banyak kerikil yang membuat jalinan kasih itu tak bisa mulus. Kubilang kecil karena sesungguhnya tak pernah ada masalah besar. Karena masalah besar hanya akumulasi dari persoalan-persoalan kecil," kata teman si lelaki.
"Masalah itu terasa berat dan aku tak mampu menyelesaikannya. Dan celakanya masalah itu terus menghantuiku," kata lelaki itu.
"Sesungguhnya kamu telah dimakan oleh bayanganmu sendiri. Masalah
itu tidak ada. Masalah
itu hanya ilusi yang sulit ditangkap hingga kau merasa tak mampu mengatasinya,"
Sebelum
aku memencet bel rumah Monde dan Pipie, sebuah suara rekaman telah berbunyi.
Monde dan Pipie sedang tidak di rumah, datanglah lagi di lain waktu.
“Sial!.” Aku
langsung balik kanan, meninggalkan rumah yang tampak angkuh itu. Ketika hendak
keluar dari halaman rumah itu, aku dihampiri oleh seorang perempuan. Dia minta
sesuatu. Oh, masih ada pengemis di kota Z.
“Ambil
dompet, buka, sepuluh ribu, tutup, kunci.” Uang sepuluh ribu aku berikan kepada
perempuan paruh baya itu. Setelah perempuan itu berlalu aku jadi teringat, aku
pernah diajak teman ke sebuah kota kecil. Ada perayaan kelahiran bayi kembar.
Di peristiwa itu aku sempat mendengar perbincangan penting. Waktu itu aku
hendak pipis. Pada saat melintasi ruang itu aku sempat berhenti dan melihat
mereka melalui ventilasi otomatis.
“Dia harus
dibawa ke luar dari kota ini!” Seorang
berperawakan tanggung yang seluruh
helai rambutnya telah memutih itu memulai perbincangan.
“Masalahnya,
saya tidak punya saudara yang tinggal di kota lain, Ki,” jawab orang yang sedang duduk di
depannya, bersebelahan dengan seorang ibu yang sedari tadi tidak bisa berhenti
menitikkan air mata.
“Bagaimana
dengan Ibu? Apakah ibu punya saudara yang tinggal di kota lain?”
tanyanya kemudian kepada ibu itu.
“Aku juga
tidak punya, Pak. Lantas, bagaimana nasib anak kami, Pak?” kata ibu itu.
“Tenang dulu
Bu, yang sabar ya. Ini sedang diusahakan bagaimana langkah baiknya.”
“Bagaimana
kalau dititipkan pada orang lain saja di kota?” simbok-simbok
yang duduk di sampingnya
menyela.
“Wah
jangan, bisa kebacut nanti. Sebab
penitipan ini tidak untuk satu atau dua hari saja. Tapi untuk jangka waktu lama, bahkan bisa
selamanya,” jawab ibu
yang sedang menangis itu.
“Cara itu
sebenarnya baik juga karena pada intinya tujuan dari jalan ini adalah agar anak
kalian selamat,” kata
bapak-bapak yang duduk di sebelah simbok tadi.
“Kalau bisa
tidak diasuh orang lain. Ini anak
pertama dan kami ingin dia tetap menjadi milik kami,” jawab bapak
itu.
Ada orang membuka pintu ruangan itu.
Aku bergegas pergi. Usai pipis segera mengajak temanku pulang. Di perjalanan
kami menyaksikan berita di televisi. Televisi ada di mana-mana. Semuanya
berukuran raksasa. Televisi sedang memberitakan hal lucu tengah terjadi di
acara Partai terbesar di negara ini. Musyawarah Nasional
(Munas) Partai Tikus sudah berlangsung sejak dua hari yang lalu, dan hari ini
adalah hari terakhir. Dari sejak hari pertama, orang-orang partai itu sangat
antusias mengikuti serangkaian acara Munas. Mereka pikir acara itu wujud
eksistensi dan kapasitas mereka. Kasak-kusuk semakin mendengung di gedung
musyawarah itu. Selama dua hari anggota Partai Tikus sudah ribut membicarakan
tokoh-tokoh yang sekiranya pantas untuk dicalonkan menjadi Ketua Umum Partai. Tokoh
yang bernama K berharap menduduki
jabatan itu. Dia akan berusaha mengambil kesempatan itu akan jatuh pada
dirinya. K berpikir, saat ini adalah saatnya dia untuk unjuk gigi. K ingin terpilih
menjadi Ketua Umum Partai.
Pada
saat aku menyaksikan berita itu ada kabar dari temanku yang menjadi sopir
pribadi K. Pagi ini ketika K bangun dari tidurnya, dia merasa matanya sulit
untuk dibuka, dan saat berhasil terbuka, dia merasakan perih. K merasa di kelopak
matanya ada sesuatu yang mengganjal. Dia tidak nyaman dengan keadaan matanya
itu, terlebih saat katub mata itu dikedipkan. K meringis kesakitan. Ketika K
beranjak mendekati sebuah cermin. K terkejut, saat itu dia melihat kedua katub
bawah matanya terdapat benjolan daging tumbuh dan di bagian mata yang
seharusnya berwarna putih itu tidak putih lagi, berubah menjadi berwarna merah.
K bingung bagaimana dia harus tampil di muka orang banyak di Musyawarah nanti.
K
sibuk mempertimbangkan, tetap nekat datang ke Munas atau tidak. Jika datang,
tentu saja dia pasti akan merasa risih sendiri dengan keadaan kedua matanya
itu, tetapi jika dia tidak datang, dia akan menyia-nyiakan kesempatannya untuk
dipilih menjadi Ketua Umum Partai. Jangankan untuk sampai terpilih menjadi
Ketua Umum, baru dalam taraf pencalonan saja mungkin tak akan sampai, karena
penentuan siapa saja yang akan dicalonkan dalam pemilihan itu dilakukan pagi
ini.
Daging
tumbuh di kelopak mata K semakin membesar. Kedua bintil itu terlihat merah
ranum. Di sekitar bintil bengkak. Hal itu membuat wajah K terlihat lucu.
Keadaan itu sepertinya memengaruhi kepercayaan dirinya. Bukti dari itu, K berkali-kali menuju ke depan cermin lalu
memerhatikan kedua bintil itu. Pada saat dia berkaca, di dalam hatinya tebersit
sebuah harapan agar bintil itu lenyap.
Saat
ini K telah berada di jalan depan gedung di mana Munas dilakukan. K masih duduk
di dalam mobilnya. Dari dalam mobil itu K melihat ke arah gedung itu. Matanya
yang menyipit melihat nanap tak berkedip. K merasa heran, dia melihat, semua
orang yang sudah hadir di gedung itu semuanya memakai kaca mata hitam, seperti
dirinya saat ini. Ya, untuk menutupi kedua bintilnya, K memakai kaca mata
hitam.
Aku
bisa menyaksikan berita itu dengan mudah karena segalanya telah ditangani
teknologi. Cara pengoperasian alat penghubung dan komunikasinya dengan signal
suara. Hasilnya segala jenis berita dapat cepat tersiar. Suara-suara itu terus
ada seiring gumaman orang-orang hingga jika cermat memerhatikan, samar-samar
suara-suara itu terdengar seperti bersahut-sahutan. Gumam-guman itu terus terdengar
menyerupai dengung lebah. Dan menurutku gumam terhebat dari segala guman adalah
milik orang yang suka berkeliaran di jalan sembari membawa seperangkat barang
elektronik yang dipenuli kabel. Tetapi aku heran, mengapa tampilan orang itu
tidak mengenakkan. Badannya bau dan bajunya compang-camping. ***
Yuditeha
Dua novelnya akan terbit di Penerbit
Buku Kompas, dan Penerbit Basabasi.
Aktif di Sastra Alit
Surakarta dan Pendiri Kamar Kata Karanganyar.
Cerpen : Sejarah Gumam
Reviewed by takanta
on
September 23, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar