Cerpen : Ganti Bapak Karya Nanda Insadani
Oleh : Nanda
Insadani
Setelah
penuh pertimbangan dan berpikir dari berbagai sudut pandang yang berbeda, maka
saya tak perlu lagi ragu untuk mencanangkan aksi unjuk rasa saya esok hari di
pelataran rumah dengan judul: "Waktunya Ganti Bapak."
Bukan
tanpa alasan, justru sudah terlalu banyak alasan darinya untuk tetap menjadi
seorang bapak bagi kami. Saya muak. Tidak ada kemuakan yang lebih memuakkan
ketimbang muak saya melihat wajah tak berdosa Bapak. Bagaimana bisa seseorang
tampil seolah ia tak memiliki dosa, sedangkan manusia itu sendiri konon ialah
ladang dosa? Selain merasa tak memiliki ladang dosa, Bapak juga merasa tak
memiliki ladang hutang.
Ya
ampun! Hutangnya itu bertebaran di mana-mana! Jika bisa diibaratkan, hutangnya
itu persis Alfamart, yang gemar sekali membuka cabang di sembarang tempat.
Apakah perlu kata Alfamart itu saya sensor? Jadi, Bapak berhasil membuat angka
keuangan keluarga kami menjadi minus. Masih mending jika hutangnya itu
menampakkan hasil yang nyata. Ini berasa fiksi! Ayolah, siapa yang memerlukan
serambi rumah yang begitu luas? Bahkan sampai dikeramik! Bayangkan saja, dapur
yang hanya berlantai tanah dan isi rumah yang beralas semen murah, memiliki
serambi berlapis keramik 4x4 dengan motif kubisme ala Pablo Picasso!
Itu
masih serambi. Belum kolam renang yang begitu jernih dan penuh kemilau di
belakang rumah. Saya dan empat saudara saya yang lain dulu sempat termangu
cukup lama sewaktu melihatnya tengah bekerja sendiri membuat kolam renang
tersebut.
”Untuk
apa sih, Pak?”
“Bapak
tidak mau kalian menerima kehilangan orang terkasih dengan cara membiarkannya
mati sambil berteriak tolong-tolong di daerah perairan. Belajarlah berenang!”
Sejenak
kami saling pandang, lalu saudara nomor tiga menyahut, “Syukur di laut atau
sungai. Bagaimana kalau di sumur, Pak?” Bapak berhenti mencangkul.
“Jangan
menikah dengan perempuan bodoh!”
Kolam
renang dan serambi berkeramik sudah cukup tak masuk akal. Tapi itu belum usai.
Asus ROG. Asus ROG! Ya Tuhan. Dia membelikan Asus ROG untuk masing-masing dari
kami. Tiba di bagian laptop level dewa petir puncak langit ini, keempat saudara
saya satu suara.
“Kami
bersumpah tiada seorang bapak yang lebih baik lagi mulia, kecuali Bapak!”
Saat
mendengar sumpah bergaya Gajahmada mereka, saya hanya bisa menekuk wajah. Saya
bukan tidak suka Asus ROG, hanya saja saya merasa ini belum waktunya. Saya dan
tiga saudara di bawah saya masih perlu banyak dana untuk keperluan sekolah:
SPP, uang kas kelas, uang perpustakaan, uang denda bagi yang sering terlambat
seperti saya, uang WC yang tetap saja berpenampilan menjijikkan, dan uang-uang
yang tak memiliki dampak berarti bagi pembayarnya itu sendiri. Sekolah asem!
Dan seorang bapak yang asem, juga kecut!
Saya
heran. Mengapa uang hasil hutang itu tak dipergunakan untuk modal usaha saja
seperti membuka warung dan semacamnya? Mengapa ia tak mempergunakan uang itu
untuk investasi saja agar kelak hidupnya tak perlu diisi dengan pekerjaan yang
merendahkan dan menyusahkan?
“Sebagai
seorang kepala rumah tangga, Bapak hanya bisa kerja, kerja, dan terus bekerja.
Hidup tanpa kerja, bagai negara tak berpemimpin.”
Begitulah
jawaban Bapak saat saya usulkan untuk berinvestasi atau ikut bisnis tertentu.
Memang tadi itu merupakan analogi yang agak berat. Tapi saya yakin ia tengah
berusaha menampakkan kualitas terbaiknya sebagai seorang bapak.
***
Terlepas
dari persoalan hutang piutang, Bapak masih memiliki segudang persoalan lain
yang membuatnya harus sesegera mungkin meletakkan tampuk kekuasaannya sebagai
seorang bapak.
Ialah
Ibu. Ya, Ibu juga memiliki masalah khusus terhadap Bapak. Meski usia pernikahan mereka sudah sama
seperti empat periode kepemimpinan seorang presiden, tapi hal itu tidak membuat
semuanya menjadi baik-baik saja. Bagi Ibu, Bapak tak ubahnya dengan mata kaki
pada kaki: tak berguna (benarkah?). Alih-alih bekerja sama meningkatkan
kemakmuran kerajaan keluarga kami, Bapak justru, menurut Ibu, malah memperkeruh
keadaan. Sistem hutangnya yang berskema tutup lubang gali lubang, membuat kami
tak bisa memiliki tabungan keluarga. Ditambah lagi, Bapak juga senang membayar
siapa saja demi mengurus pekarangan rumah yang tak seberapa. Bahkan ia pernah
memerintahkan salah seorang kerabatnya yang sangat ahli dalam ilmu robotik,
untuk memproduksi sebuah robot yang berpenampilan sama persis dengan dirinya
demi mengawasi kami di rumah sewaktu ia harus bepergian jauh.
“Kalau
kau tak bisa melakukannya seorang diri, ya sudah. Tak perlu memaksakan semuanya
agar tampak lebih oke,” ujar Ibu suatu hari.
“Semua
itu harus tampil menawan dan terlihat memukau. Siapa sih yang tidak ingin
semuanya baik-baik saja?” jawab Bapak.
Ibu
juga kerap gemar menggerutu sembari meremas beberapa buah cabai. Bagaimana
tidak? Jatah uang belanja Ibu sangat rendah, sehingga segala macam kebutuhan
pokok dan sembako menjadi terasa lebih mahal. Padahal harga-harga tidak begitu
melonjak tinggi, hanya saja modal yang dimiliki tak mampu menekan segalanya.
“Tidak
perlu yang mahal-mahal, yang penting mencukupi kebutuhan gizi kita dan
anak-anak,” begitu kata Bapak berdasarkan penuturan Ibu.
“Sehat
itu mahal, Pak! Itulah kenapa orang-orang kaya di luar sana tampak lebih
berseri-seri dan bugar.”
“Dan
Jumlah orang miskin lebih banyak ketimbang jumlah orang kaya. Kenapa? Orang
kaya lebih cepat mati. Apalah arti penampilan...”
Itulah
kenapa Ibu berniat mencari bapak baru bagi kami. Tapi entah mengapa saya lebih
melihatnya sebagai "mencari suami baru". Bukan apa-apa, sebab Ibu
yang selalu berpenampilan menor saat keluar rumah, bukan kami.
Satu
lagi sifat Bapak yang sangat mengganggu bagi Ibu, juga kami, yakni blusukan.
Blusukan Bapak di sini tidak seperti blusukan seorang presiden yang pergi ke
daerah-daerah yang kurang perhatian pemerintah, tapi lebih ke semak belukar
atau hutan kelapa sawit di sekitaran belakang rumah. Untuk apa? Saya juga
sempat menggelengkan kepala melihat aksi Bapak yang seperti itu. Namun, pernah
suatu hari, kami mendapati ia membawa dua buah cincin emas dua puluh empat
karat sepulang dari blusukannya.
“Bagaimana
bisa, Pak?” tanya kami.
“Sebenarnya
Bapak sering bertemu dengan peristiwa seperti tadi. Hanya saja, pada waktu
sebelum-sebelumnya, hanya ada tikar dan beberapa lembar pakaian dalam saja.”
Yang
terakhir ini adalah sifat yang paling menjengkelkan Bapak bagi kami semua:
pikun. Memang, banyak helai rambutnya yang sudah mulai kehilangan zat melanin.
Tapi kami yakin dia belum benar-benar pantas untuk menjadi pikun. Saudara di
atas saya, yakni si sulung, baru saja berumur sembilan belas tahun. Ia baru
saja menamatkan sekolahnya setahun yang lalu. Itu berarti Bapak tidaklah
tua-tua amat.
Biasanya,
orang pikun senantiasa melupakan segala hal. Entah itu wajah, nama, letak
benda, dan cara berkomunikasi yang baik. Tapi tidak dengan Bapak. Ia hanya
pikun terhadap apa-apa yang dikatakannya. Contohnya begini, bila dua tahun lalu
Bapak pernah berjanji bahwa akan mengajak kami berlibur ke Raja Ampat, maka
bila saat itu telah tiba, Bapak akan berlaku seperti seolah-olah tak pernah
berjanji. Sekalipun sudah kami tagih, ia tetap merasa tak pernah mengatakannya.
***
Sebentar
lagi fajar menyingsing, tapi Bapak tidak ada di rumah. Kami yang dari tadi
malam tidak tidur sedikit pun demi acara besar nanti, merasa gusar. Ke mana
Bapak di saat ia harus berada di hadapan kami? Mengapa ia tiba-tiba menghilang?
Saudara
saya yang nomor empat tidak sabar. Rasa penasaran kian berkecamuk dalam
dadanya. Maka, ia pun mendatangi Ibu di kamarnya.
“Bu,
Bapak ke mana?”
“Ibu
juga tidak tahu. Katanya sih, mau pergi menjenguk temannya di luar kota yang
sedang dilanda musibah gempa. Tapi, kalian yakin soal semua ini?” tanya Ibu.
“Mau
sampai kapan lagi kita menunggu, Bu? Yang penting kan, Ibu sudah punya
penggantinya!”
“Ih,
kau jangan sok tahu! Ibu bahkan belum apa-apa.”
“Tenang,
Bu! Kami semua sudah punya rekomendasi! Intinya, Bapak harus mencopot gelar
kepala keluarganya secepat mungkin!”
Saya
dan tiga saudara lainnya menguping percakapan mereka melalui dinding. Benar apa
yang dikatakan saudara nomor empat. Kami telah memiliki satu kandidat yang
pantas untuk menjadi kepala keluarga kami.
Ialah
Jenderal Abri. Ia merupakan salah satu sosok yang paling disegani di desa ini.
Ia merupakan satu-satunya manusia di desa ini yang merupakan personel TNI.
Terlebih, ia masih bujang. Tentulah Ibu pasti akan terbang mengitari atap rumah
penuh sukacita bila kami sebut nama yang akan menggantikan Bapak.
Maka,
beberapa waktu kemudian, tepat saat sinar surya mulai benderang, terdengar
derap langkah mendekati rumah kami. Itu pasti Bapak, batin saya. Lantas, saya
memberi aba-aba kepada empat saudara saya. Mereka mengangguk penuh kesiapan.
Satu persatu dari kami mulai mengendap-endap melangkah keluar melalui pintu
belakang. Di sana sudah ada Ibu yang juga bersiap untuk berunjuk rasa. Tak
terasa, singgasana Bapak di keluarga ini sedang di ujung tanduk.
Mumpung
Bapak masih sibuk mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, kami merapikan
barisan dan berdoa sepenuh hati di sisi kanan rumah, agar segala apa yang kami
harapkan segera terwujud. Setelah saya memberi isyarat, kami pun langsung
melantangkan kalimat penuh harapan: “Waktunya ganti bapak! Waktunya ganti
bapak! Tak ada lagi waktu untuk Bapak!”
Alangkah
malunya kami, ternyata itu bukan Bapak. Suara kami perlahan memudar dan mata
tengah bergambar tanda tanya. Siapa mereka? Siapa lelaki tegap berjas dan
kacamata hitam dengan janggut palsu di wajahnya itu? Kenapa ia bertumpu pada
sebuah tongkat? Lalu, siapa wanita cantik bertopi putih dengan rambut kuncir
kuda yang tengah berdiri penuh pesona di sampingnya? Dan, apa isi koper yang
dijinjing oleh lelaki satunya yang tubuhnya seperti atlet binaraga? Hei,
mengapa ada seorang polisi berwajah penakut ikut bersama mereka? Kenapa ada
seorang kameramen juga? Siapa mereka sebenarnya?
“Hei,
jangan bodoh! Mereka dari acara tivi!” bisik saudara nomor satu.
“Yang
benar saja! Maksudmu acara yang bertajuk Uang Terkejut itu?” Saudara nomor
empat seakan tak menyangka.
“Apakah
itu artinya kita akan diberi uang yang tersimpan di dalam koper itu?” pupil Ibu
bergetar.
Tak
lama kemudian, mereka menyadari keberadaan kami yang sedari tadi terpaku
menatap mereka. Dengan sigap mereka menghampiri kami.
“Apakah
benar ini kediaman keluarga Bapak Tit?”
“Ya,
benar! Benar sekali, Paman!” jawab kami serempak.
“Jadi,
di mana Pak Tit sekarang?”
“Ng...
Dia... Anu...” Saya menampar saudara saya yang kebingungan dan mencoba memperbaiki,
“Percayakan saja pada kami, Pak! Kami anak-anaknya! Beliau adalah ayah
kesayangan kami! Mohon maaf bila beliau tak dapat hadir, sebab ia sedang
bekerja. Ia sangat sibuk bekerja!”
“Waw!
Baiklah, ini ada uang seratus juta,” sesaat setelah lelaki berjanggut palsu itu
mengucapkan nominalnya, air liur kami menetes. “Jadi, nanti tolong
sampaikan...”
“Tidak!”
Ya
ampun! Bapak datang!
“Jangan
terima uang itu.”
Kami
melongo heran. Lelaki itu menanyakan maksud Bapak yang menolak pemberian itu.
“Ada
yang lebih membutuhkan ketimbang kami, Pak. Contohnya si Udin Botol yang
tinggal di ujung jalan. Ia tengah mengidap penyakit parah. Mungkin uang dari
Anda bisa membantu dalam pengobatannya.” Mereka mengangguk.
Melihat
seringai Bapak yang seakan benar-benar lugu dan berlagak sebagai malaikat, kami
ingin menelannya hidup-hidup. Bapak memang orang baik, tapi tetap saja,
seseorang harus menggantikan posisinya.
Sejurus
kemudian, tibalah sekelompok manusia, turun dari mobil. Mereka terdiri dari
lima orang yang tampak seumuran dengan kami dan seorang wanita yang tampak
seusia Ibu. Wajah mereka berseri-seri. Kami dipenuhi tanda tanya.
“Pak,
siapa mereka?” tanya kami.
“Waktunya
ganti keluarga,” ujar Bapak sembari mencabut semacam alat penyadap kecil dari
atas kepala kami. (*)
Natai
Kerbau, Agustus 2018.
Tentang Penulis:
Nanda
Insadani adalah orang Indonesia yang cinta damai dan kebaikan. Karya-karyanya
termaktub dalam beberapa antologi bersama. Kumcer-nya bersama Ulfah M. Khoi,
IN-LOVE-NIA, telah terbit. Dapat ditemui di FB dengan nama asli.
Cerpen : Ganti Bapak Karya Nanda Insadani
Reviewed by Redaksi
on
Oktober 07, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar