Hak Politik Para Koruptor pada Pemilu 2019
Oleh
: Agus Hiplunudin
Hak
politik merupakan suatu hal yang asasi. Sebab, esensinya manusia merupakan
makhluk yang berpolitik dalam konteks kekuasaan bertujuan menciptakan kondisi
yang stabil demi penyatuan kepentingan dan kebaikan bersama dalam hal berbangsa
dan bernegara. Secara umum hak politik dalam pemilihan umum (Pemilu) terdapat
dua katagori; (1) hak memilih dan (2) hak dipilih. Hak memilih berarti hak
warga negara untuk menentukan pemimpinnya baik di ranah eksekutif maupun
legislatif, hak dipilih merupakan hak warga negara untuk menjadikan dirinya
sebagai pemimpin baik dalam konteks eksekutif maupun legislatif. Bukan sesuatu
hal yang baru jika kita mendapatkan informasi di media cetak maupun
elektronik—mengenai penguasa—mereka; membobol, dan menggondol uang negara.
Berkorupsi baik secara individu maupun berjemaah, korupsi bersama.
Pada
17 April 2019 mendatang Indonesia kembali menyelenggarakan Pemilu pemilihan
presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg). Lantas bagaimanakah hak
politik para koruptor di Pemilu tersebut?
Sebenarnya
menyangkut koruptor dalam ranah politik terutama di Pileg 2019 telah diatur
dalam PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum); Nomor 20 tahun 2018 yang mengatur
larangan mantan terpidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg) pada Pemilu.
Adapu salah satu latar belakang pelarangan mantan koruptor menjadi caleg yakni
terbongkarnya kasus korupsi pada calon kepala daerah yang berkompetisi pada
Pilkada serentak 2018.
Namun,
hal tersebut memacu perdebatan, sebab Pasal 240 ayat (1) huruf (g) UU Nomor 7
tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini menegaskan, seorang mantan
narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh
mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai
narapidana kepada publik.
Selanjutnya,
Mahkamah Agung (MA) mencabut Pasal 4 ayat 3 PKPU Nomor 20 tahun 2018. Putusan
perkara uji materi itu pada akhirnya membatalkan pasal yang melarang eks
terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak menjadi
calon legislatif (Caleg). Selain dari itu MA juga mencabut Pasal 60 huruf j
PKPU Nomor 26 tahun 2018—secara gamlang para mantan napi untuk tiga kejahatan
tersebut, bisamaju menjadi Caleg DPR/DPRD dan DPD di Pemilu 2019. Pada akhirnya
terjadi konflik peran antara KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan
Pengawas Pemilu) artinya KPU tetap pendiriannya pada PKPU No 20 tahun 2018
sedangkan Bawaslu berpegang teguh pada Pasal 240 ayat (1) huruf (g) UU Nomor 7
tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan putusan MA yang mencabut Pasal 4 ayat 3
PKPU Nomor 20 tahun 2018 tersebut—sehingga banyak sudah Bakal Calon Legislatif
(Bacaleg) yang tidak diloloskan KPU untuk melanggang pada Pemilu 2019 namun di
loloskan oleh Bawaslu.
Sebetulnya
pelarangan koruptor untuk maju ke gelanggang politik merupakan langkah nyata
untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Namun, kehidupan bernegara
diatur oleh undang-undang yang ada—sehingga polemik ini kian serius—apa lagi
polemik dibidang politik yang memang melibatkan para politisi sebagai aktor
utama dalam percaturan perpolitikan di negeri ini.Pemilu menjadi salah satu parameter atau ukuran bagi Negara yang menjalankan demokrasi dalam sistem pemerintahannya yang manamemiliki asas utama adalah terlaksananya pemerintahan yang didasarkan pemilihan umum dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu.
Dengan adanya Pemilu maka salah satu nilai
demokrasi dapat terwujud, artinya terjadi perpindahan kekuasaan negara dari
pemegang yang lama kepada pemegang yang baru secara damai dan konstitusional.
Hal yang terpenting dari pelaksanaan Pemilu, yakni; terjaminnya hak-hak rakyat
untuk menentukan nasibnya dalam sistem demokrasi, sebab sejatinya demokrasi
dimana rakyat merupakan penguasa yang sesungguhnya. Pemilu merupakan
suatu sarana proses dimana rakyat
untuk memilih orang-orang yang pantas dan kompeten untuk mengisi jabatan-jabatan politik baik
eksekutif maupun legislatif.
Mengenai para koruptor apakah mereka kompeten dan
pantas untuk menduduki kursi parleman atau eksekutif? Tentunya hal ini dapatlah
diperdebatkan, para koruptor merupakan warga negara yang memiliki kompetensi
dalam politik hal itu dibuktikan dari keterpilihannya sebagai wakil rakyat baik
di ranah eksekutif maupun legislatif. Namun, jika bicara kepantasan atau
kepatutan kiranya para koruptor tidaklah pantas untuk menduduki jabatan-jabatan
politik sebab sejatinya mereka merupakan para penghianat rakyat—mereka tidak
tuntas menjalankan visinya sebagai wakil rakyat.
PKPU yang melalarang para koruptor untuk tidak
melanggang ke ranah politik merupakan peraturan yang masuk akal dan tentunya
akan bersesuaian dengan hati nurani rakyat—sebab sudah barang tentu rakyat
tidak akan mau jika diwakili oleh pencuri uang negara atau koruptor.
PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang melarang para
koruptor untuk melanggang ke Pemilu 2019 merupakan langkah konkrit agar
pemerintahan yang baik dan bersih tercipta; bukan hanya dalam pemerintahan
namun di dalam Parpol itu sendiri. Paling tidak pelarangan para koruptor untuk
melanggang ke Pemilu akan mengubah paradigma politik dan kebijakan Parpol dalam
rekrutmen politik serta pendidikan politik. (1) paradigma politik selama ini
diidentikkan dengan korupsi namun dengan adanya pelarangan para koruptor untuk
pensiun dalam politik lambat laun paradigma tersebut akan bergeser. (2)
rekrutmen politik dengan pelarangan para koruptor masuk gelanggang Pemilu
tentunya ini akan mempengaruhi Parpol untuk merekrut orang-orang yang bersih
dari tindakan korupsi, dan (3) menyoal pendidikan politik; dengan adanya
pelarangan para koruptor melaju dalam Pemilu hal ini akan mendidik para
politisi untuk tidak berkorupsi serta Parpol membuat kebijakan-kebijakan yang
tegas secara internal untuk menindak dan memberikan hukuman pada kader-kadernya
yang terbukti telah melakukan tindakan pidana korupsi.
Parpol memiliki ciri diantaranya: pertama organisasi jangka panjang, tentunya dengan pemberlakuan pelarangan koruptor melanggang ke Pemilu
membuat Parpol selektif untuk memilih para kader agar roda organisasi terus
berjalan dalam jangka panjang. Kedua, Struktur organisasi partai politik hanya akan dapat menjalankan fungsi politiknya apabila didukung oleh struktur orgnisasi, mulai dari tingkat local sampai nasional, artinya struktur organisasi akan berjalan efektif dan efisien jika para
petinggi partai bukan para koruptor. Ketiga, Tujuan berkuasa partai politik didirikan untuk mendapatkan dan mempertahanakan kekuasaan, suatu
Parpol akan mendapatkan simpatik dari masyarakat jika terbukti para petinggi
dan kadernya bukanlah para koruptor—dengan demikian Parpol tersebut akan
mendapat dukungan dari rakyat, dan menjadi pemenang Pemilu atas kehendak
rakyat.
Rangkasbitung, 18 September 2018
Tentang Penulis
Agus Hiplunudin
1986
lahir di Lebak-Banten,
adalah lulusan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus
dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M.
Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP
Stiabudhi Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan
Kebangsaan dan Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya
penulis yang telah diterbitkan yakni:
Politik
Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik
Identitas di Indonesia dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik
Era Digital 2017, Calpulis: Yogyakarta
Filsafat Politik Plato dan
Ariestoteles 2017, Graha Ilmu Yogyakarta.
Hak Politik Para Koruptor pada Pemilu 2019
Reviewed by Redaksi
on
Oktober 08, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar