Home
/
Agus Hiplunudin
/
Apacapa
/
Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Parpol Diuji pada Pemilu 2019
Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Parpol Diuji pada Pemilu 2019
Oleh : Agus Hiplunudin
Pada Pemilu sebelumnya Pilpres
(pemilihan presiden) dan Pileg (pemilihan legislatif) dilaksanakan tidak
bersamaan. Namun, akan terjadi nuansa politik baru pada 17 April 2019 mendatang
dimana Pileg dan Pilpres dilaksanakan bersamaan serentak di seluruh penjuru
Indonesia. Dalam
rangkaian Pemilu 2019 pada 17 Februari
2018 semua peserta Pemilu dilarang melakukan kegiatan kampanye sampai pada 23 September 2018. Jadwal kampanye calon anggota DPR RI, DPD, dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota berikut pasangan calon presiden (Capres) dan wakil presiden (Wapres) baru dimulai pada 23 September 2018 hingga 13 April
2019. Setelah masa tenang pada 14 hingga 16 April 2019, selanjutnya pada 8 hingga 17 April 2019 merupakan tahapan pemungutan dan penghitungan suara.
Hal yang cukup menarik untuk
disoroti mengenai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik
(Parpol) di Pemilu 2019 tersebut. Hal ini tentunya akan dibuktikan secara
kuantitatif dari perolehan suara masing-masing Parpol yang kompetisi baik
pengusung Capres dan Cawapres maupun Celeg
(calon legislatif). Tingkat keterpilihan (elektabilitas) Parpol akan bergantung
pada tingkat partisipasi masyarakat. Dalam hal ini tinggi rendahnya partisipasi
masyarakat akan bergantung pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Adapun rumusan umum mengenai tingkat partisipasi politik masyarakat
sebaigai berikut; “jika kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tinggi maka
partisipasi politik cenderung tinggi. Namun, jika kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah rendah maka partisipasi politik akan cenderung rendah.”
Intinya ada hubungan yang erat dari tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah bagi partisipasi politik di Pemilu 2019 mendatang.
Hal yang cukup mengkhawatirkan jika
tingkat kepercayaan terhadap pemerintah rendah dan tingkat partisipasi politik
tinggi tentunya akan mengakibatkan anarkis. Namun, jika tingkat kepercayaan
terhadap pemerintah rendah dan tingkat partisipasi politik rendah akan
melahirkan apatis.
Untuk Indonesia pemerintah dalam
arti sempit yakni eksekutif atau presiden, sedangkan dalam arti yang lebih luas
pemerintah terdiri dari eksekutif, legislatif, dan badan peradilan. Eksekutif
(presiden) diusung oleh Parpol begitu pula legislatif diusung oleh Parpol.
Sedangkan lembaga peradilan (yudikatif) merupakan lembaga independen namun
paraktiknya secara taktis dibentuk oleh eksekutif bersama-sama legislatif.
Artinya dalam negara demokrasi Parpol merupakan cikal-bakal dari pemerintah itu
sendiri. Karenanya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat
disejajarkan dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Parpol itu sendiri.
Singkat kata; “tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Parpol berbanding lurus
dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah”.
Intinya pada Pemilu 2019 mendatang
jika golput (golongan putih) rendah berarti tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap Parpol tinggi. Namun, jika golput tinggi tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap Parpol rendah.
Adapun Parpol peserta Pemilu 2019; PKB, Gerindra, PDIP, Golkar, NasDem, Partai Garuda, Partai
Berkarya, PKS, Perindo, PPP, PSI, PAN, Hanura, Partai Demokrat, Partai Aceh, Partai Sira
(Aceh), Partai Daerah Aceh, Partai Nanggroe Aceh, Partai Bulan
Bintang (PBB), dan
yang terakhir Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dalam hal ini Partai nasional terdiri dari 11 partai lama peserta Pemilu dan empat partai baru; PSI, Perindo, Berkarya, dan Partai Garuda. Sedangkan empat partai lokal yakni Partai Aceh, Partai Sira (Aceh), Partai Daerah Aceh, dan
Partai Nanggroe Aceh.
Pertarungan Pemilu 2019 boleh
dibilang merupakan pertarungan Capres Cawapres dalam hal ini adalah Prabowo
Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno serta Joko Widodo yang
berpasangan dengan Ma’Ruf Amin. Hal yang paling menonjol adalah Prabowo sebagai
representatif dari Partai Gerindra dan Joko Widodo representati dari PDIP.
Kedua partai tersebut tentunya sangat diuntungkan sebab mereka memiliki pemeran
utama aktor politik.
Joko Widodo sebagai incumbent disamping representatif dari
PDIP, sekaligus representatif dari pemerintah. Karenanya perlu digaris bawahi
dimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat ini relatif
rendah; hal tersebut didorong oleh politik identitas yang mengatas namakan
agama tertentu—pemerintah telah membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) tentunya ini akan berkaitan dengan isue mengenai
perkembangan Islam di Indonesia, belum lagi isue mengenai maraknya tenaga kerja
asing, dan belakangan ini mengenai melemahnya nilai mata uang Rupiah terhadap
Dolar serta berita-berita mengenai tindakan-tindakan korupsi yang telah
dilakukan oleh baik eksekutif, legislatif, maupun peradilan—artinya
fenomena-fenomena tersebut dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah; dan adanya kecenderungan melemahnya kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah yang akan mempengaruhi tingkat partisipasi politik pada
pemilu 2019 mendatang.
Bermunculan juga nada-nada
pesimistis; “kendati Prabowo jadi presiden keadaan belum tentu berubah”. Hal
ini merupakan potret buruk masyarakat terhadap pemerintah yang akan berimbas
pada partisipasi politik pada Pemilu 2019, artinya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap Parpol akan cenderung menukik—menurun derastis.
Ada asumsi—partai yang cukup
diuntungkan di Pemilu 2019 yakni PDIP dan Gerindra mengingat kedua partai
tersebut terbantu oleh elektabilitas Joko Widodo Capres dari PDIP dan Prabowo
Capres dari Gerindra. Kendati demikian setiap Parpol tentunya mempunyai Caleg;
dan para Caleg itulah yang diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap Parpol. Sehingga dapat ditarik suatu benang merah tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap Parpol akan berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas
Capres Cawapres dan Caleg. Kendati yang cukup dikhawatirkan yakni rendahnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang akan berdampak pada
Pemilu 2019.
17 April 2019 mendatang merupakan
suatu hari dimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Perpol diuji; dan hal
tersebut akan berbanding lurus dengan tiga komponen; (1) tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah, (2) tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
Capres Cawapres, dan (3) tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Caleg. Jika
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap ketiga komponen tersebut tinggi maka
kepercayaan masyarakat terhadap Parpol tinggi pula. Namun, jika sebaliknya maka
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Parpol akan rendah, yang tentunya akan
berdampak langsung pada tingkat partisipasi politik pada Pemilu 2019.
TENTANG PENULIS
Agus Hiplunudin
1986 lahir di
Lebak-Banten, adalah lulusan
Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan,
pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini
bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi
Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan Kebangsaan
dan Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya penulis yang
telah diterbitkan yakni:
Buku yang Telah Dipublikasikan
Politik Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Identitas di Indonesia
dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi
2017, Calpulis: Yogyakarta
Politik Era Digital 2017, Calpulis: Yogyakarta
Filsafat Politik Plato dan Ariestoteles 2017, Graha Ilmu
Yogyakarta.
Bermukim
di Desa Nemeng Kp Parakan Mesjid, Rangkasbitung, Lebak-Banten.
Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Parpol Diuji pada Pemilu 2019
Reviewed by Redaksi
on
Oktober 15, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar