Cerpen : Euforia Seorang Pelancong Karya Banang Merah
Gadis
itu seperti kunang-kunang. Ia menyukai lampu dan muncul setiap temaram, di tempat yang
dialiri air. Kali ini ia singgah diperahuku, sebuah bidak terbuat dari kayu mahoni yang kulabuhkan di tepi telaga
yang penuh dengan manusia rimba. Lalu ia perlahan datang ditemani sepekat
rembang yang kantuk dikakinya. Aku akan tenggelam malam ini di lautan
cahaya dan pudar sampai fajar tiba, katanya. Maka aku membiarkan ia hinggap
diperahu mahoni itu, memperhatikannya menikmati lampu-lampu.
Sudah
menjadi kebiasaanku untuk mengembara, mengikuti naluri untuk pergi ketempat
yang tak pernah kusinggahi sebelumnya, darinya aku dapatkan banyak hal, asmara,
kawan, kenangan, dan tak pernah luput juga kudapatkan luka. Pagi ini aku
lanjutkan kembaraku, dari balkon sebuah rumah singgah aku mengamati sebuah kota
yang terlelap, mentari masih lingsir dibawah selimutnya, ayam-ayam belum bangun
dari kantuknya. Pagi yang amat sepi, aku mengepak barang-barangku kedalam
ransel, mengecup seorang gadis yang masih tertidur di bawah selimut,
memberinya sebuah surat dan lenggang menembus kabut pagi. Aku pergi ke utara, dengan menumpang
sebuah truk kadang juga kendaraan petani, namun lebih sering berjalan kaki.
Semalam aku melihat gugusan bintang tujuh yang bersinar amat terang, sedang
sinarnya membuat mendung terlihat kehijauan, sangat jarang aku dapat melihat
bintang dikawasan perkotaan. Aku percaya alam selalu menunjukkan tanda-tanda
yang harus kita tangkap maksudnya, maka pergilah aku ke utara, mengikuti jalan
raya, melewati jalan setapak, tak jarang memutari jalan yang sama untuk
beberapa kali, kadang melewati hutan, kadangkala juga terjebak hujan.
Perjalanan
dua hari ini mengantarkan aku pada sebuah ngarai yang lerengnya kehijauan, di bawahnya mengalir
sungai, airnya kebiruan, memantulkan
langit yang seolah kakak kembarnya. Aku duduk di pinggiran sungai, ngarai
itu selaksa dua tembok yang memagari segala yang hidup di bawahnya dari
dunia luar. Berjalan
kaki membuat peluh telah membasahi dahi, punggung, dan goresan cadas memberi
bekas cakaran di tumit sampai ke betis, setelah menghabiskan perbekalan rebah
juga aku dalam persinggahanku yang lain.
Entah
sudah berapa tempat yang kusinggahi dalam kembaraku, bukankah terlalu sia-sia
untuk menetap terlalu lama di suatu tempat di bumi luas ini, maka
entah sampai kapan aku memutuskan untuk berlabuh dalam pengembaraan ini. Aku
raba ransel biruku, disana tergantung cendera mata dari tempat-tempat
yang pernah aku singgahi sebelumnya.
Ada sebuah bola mata yang tergantung di salah satu resletingnya, benda pertama
yang kudapatkan ketika pertama kali memulai pengembaraan ini. Kebiasaan ini
bermula ketika aku sudah muak dengan kertas-kertas tugas dan segala caci maki guru yang
jengkel sebab
aku tak pernah mengerjakan PR, suatu kali ia memukulku dengan keras tepat di wajah dan
mengatakan bahwa kebodohanku tak ketulungan, ia melakukannya di hadapan semua anak
di kelas, dihadapan seorang gadis yang diam-diam aku sering menyelipkan surat
tanpa nama di laci mejannya. Setelah kejadian itu kuputuskan untuk tak pernah
datang ke tempat terkutuk itu, dimana segala yang tertulis di papan tulis itu
benar dan segala omongan orang yang menulis dipapan tulis itu yang harus dituruti.
Sebagai seorang yang tak ber-ibu dan ber-ayah aku pergi dari tempat itu tanpa
sebuah larangan.
Pengembaraanku
yang pertama adalah sebuah arak-arakan manusia yang kuikuti karena penasaran,
mereka membawa berbagai macam bendera dan pengeras suara, orang-orang mulai
meneriakkan nama-nama benda yang aku tak paham artinya kala itu. Arak-arakan
itu kemudian menjelma lautan manusia yang pikuk, aku tenggelam, larut, dan
akhirnya terpelanting kesebuah pesisir yang dipadati oleh pemukiman kumuh,
disana aku bertemu dengan sipemilik bola mata. Kala itu ia
mengenakan gaun abu-abu, mengulurkan tangannya kepadaku, ia adalah orang yang
ramah ketika tersenyum kedua alis tebalnya tertaut, ia menyebut dirinya Hampa, sebuah nama yang
berkebalikan dengan dunia yang ia tinggali, ditempat itu bahkan malam-pun sinar
matahari kalah teriknya jika dibandingkan dengan lampu-lampu kotanya, dan
jalanan terlalu penuh untuk bisa dilewati para pejalan kaki. Ketika aku hendak
pergi dari tempat sesak itu,ia menitipkan sesuatu padakau, “Bawalah mataku ini
jika kau tak bisa mengajakku untuk ikut bersamamu, dan aku bisa melihat
tempat-tempat yang kau kunjungi”. Aku bawa bola mata itu, sebuah cendera mata pertama. Pupil itu selalu
membesar setiap kali datang ke tempat baru, pupil dari seorang gadis bernama Hampa
yang memakai rok abu-abu dan alis tebal yang saling tertaut ketika ia
tersenyum.
Selain
bola mata, ada pula sebuah anak panah sepanjang telapak tangan, aku lupa kapan
aku mendapatkannya, benda itu kuperoleh dari sebuah perjalananku
yang lain, dimana
panah itu pernah menancap di dadaku, butuh waktu lama untuk
mencabutnya, samar-samar ingatan mulai membentuk wajah siempunya anak panah, seorang dengan
lesung dikedua pipinya. Selama berhari-hari aku berjalan dengan jantung yang
terpasak, panah
telah mengingatkan bahwa seorang wanita tak kan pernah rela ditinggalkan begitu
saja. Setelah bola mata dan anak panah, masih ada benda-benda lainnya, sebuah
surat,dan sehelai rambutyang tertinggal di kemejaku, dari seorang gadis yang
kucium keningnya dua hari lalu.
Aliran
sungai membuyarkan lamunan, sungai itu tak biru lagi, airnya berubah
jingga seolah memantulkan langit yang seolah kakan
kembarnya. Mega kian menyala, penghuni hutan bermunculan, lampu-lampu mulai
dinyalakan oleh tupai-tupai disetiap pohon yang mereka tinggali, sekejap hutan
semarak dengan lindap cahaya jingga kekuningan. Katak, kijang, belalang,
jangkrik, kelelawar, dan lagi-lagi seorang gadis mulai menampakkan dirinya dari
balik semak dan perdu, untuk minum ataupun saling bercengkrama dalam cahaya
yang di bawa di hutan.
Ia berjalan dengan riang dipinggir kali dan seolah tak mempedulikan diriku yang
rebah tak jauh darinya. Ia melangkah seperti menari
menjijit di atas
rerumputan hijau dan pakis pakis yang mulai menua lalu berdiam memandangi lampu
lapu yang dinyalakan oleh tupai tupai dengan kepala menengadah. Semua orang
atau hanya aku yang berpikir
bahwa semua gadis selalu tampak rupawan tatkala sedang melamun. Maka aku
mengalihkan seluruh indraku dari suara jangkrik dan tarian setiap kelelawar dan
berganti memandangnya dari seberang sungai yang kini jingga bukan sebab langit
namun karena semarak lampu-lampu. Lalu aku melabuhkan sebuah perahu yang tertambat
disebuah dermaga bambu yang tak jauh dari tempatku merebah. Sudah malam, maka
seudah saatnya untukku pulang bukan sebuah tempat yang kau sebut rumah tapi
pulang kedalam sebuah perjalanan lain. Maka dengan perahu mahoni itu aku mulai
berlayar menyusuri sebuah sungai yang berarus tenang dan entah membawa untuk
menepi kemana. Perjalanan terlalu sulit untuk dilewatkan memang bagai perahu
yang tak pernah berlabuh maka aku bawa perahu mahoni ini untuk mengembara lagi,
ranselku sudah penuh oleh kacang kacangan dan beberapa botol air. Dingin telah
dikerahkan kabut gunung lembah telah lenyap menuju sungai yang lebih luas
salaksa danau dengan air yang tenang itu. Tanpa terpejam aku menyambut pagi
dengan terus saja melaksanakan kegiatanku yakni menghitung perjalanan.
Perahu
itu membawaku ke sebuah kota yang berdiri diatas perahu-perahu dayung dan
dihuni oleh macam-macam mahkluk, disini aku tak bisa membedakan mana lelaki dan
mana perempuan mereka tampak serupa, semua orang bekerja sama mereka membangun
kapal menebang pohon menanamnya lagi dan yang paling mereka sukai adalah
berenang. Maka setiap petang setiap pesta selalu di gelar, didalamnya
orang-orang saling tertawa dan membicarakan bermacam-macam hal, dan tak satupun
dari mereka terusik dengan kehadiranku. Aku menyewa sebuah kabin, pada petang hari
aku menikmati pula pesta mereka, di pertengahan acara mereka beramai-ramai
meneriakkan sebuah jargon dan lantas menjeburkan diri kedalam danau. Aku
kembali melihatnya, sigadis
kunag-kunang, Ia
menyukai lampu dan muncul saat temaram. Kali ini ia singgah diperahuku, sebuah
bidak yang terbuat dari kayu mahoni yang
kulabuhkan ditepi sebuah telaga yang penuh dengan manusia rimba. Lalu ia
perlahan datang ditemani sepekat rembang yang kantuk dikakinya. Aku akan
tenggelam malam ini di lautan cahaya dan pudar sampai fajar tiba, katanya. Aku
membiarkan ia hinggap diperahu mahoni itu dan memperhatikan menikmati
lampu-lampu.
Aku
ikut pulang, katamu.
“Bukankah
sepi saat kau selalu melakukan perjalanan seorang diri, dihutanku kau tak
membawa satupun cenderamata,
maka bawalah aku,untuk mengenang tempat yang pernah kau datangi“
Aku
bungkam.
“Aku
tidak mau kehilangan satu bola mata, atau sehelai rambut, sebagai gantinya kau
bisa membawaku kemanapun, selama ada lampu,” ia menunjuk
dadaku.
Maka
aku membawanya dalam setiap kembaraku, menjadi sebuah suatu kepulangan yang
indah, kepulangan yang bukan tentang tempat semata.
Banang Merah,
jember 2018
Cerpen : Euforia Seorang Pelancong Karya Banang Merah
Reviewed by takanta
on
November 11, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar