Cerpen : Kemari, Akan Kubacakan Puisi Karya Robbyan Abel R
Cerpen
Robbyan Abel R
Ini
bukan perkara ketakutan kita yang tidak mampu menebak masa mendatang. Ini soal
bagaimana kebahagiaanku saat diberikan kesempatan bersamamu. Dalam permasalahan
yang intim sekalipun. Meski kelak kita berpisah, biarlah perpisahan tetap
menjadi perpisahan belaka. Setidaknya, riwayat hidupku sudah tercatat sebagai
bagian dari mereka yang berbahagia. Tak seorang pun berhak menghapusmu dari
ingatanku. Tak seorang pun bisa menandingi rasa syukurku sesudah menyentuh pipi
delimamu.
***
Sebelum
tidur, kau mengajakku berjalan-jalan sebentar. Mau menghirup udara segar katamu.
Kita pergi ke taman kota. Di sana ada sebuah lampu yang usianya menyamai kota
ini. Kemudian kita berdiri di bawahnya.
“Kau
ingat saat kali pertama kita berucap janji di hadapan orang banyak?”
“Apakah
maksudmu saat kita menikah?” Aku balik bertanya.
“Benar.
Aku ingat betul hangat matamu saat menatapku. Hingga sekarang hangatnya masih
sama. Seperti lampu ini.”
“Kau
ingat saat kali pertama kita berciuman?” Tanyaku, sambil membenarkan rambut
yang menutupi setengah wajahmu.
“Ingat.
Kenapa?”
Sesaat
aku mencium bibirmu.
“Apa
rasanya masih sama?” tanyaku lanjut.
“Tentu
saja,” kau mengecap-ngecap bibirmu. Lalu berkata lagi, “hanya saja bibirmu sekarang
lebih keriput, lebih hitam, dan lebih jarang tersenyum.”
“Aku
juga menyadari itu. Barangkali karena aku semakin merasa kesepian.”
“Bagaimana
kau bisa berkata begitu di hadapanku?”
“Memangnya
apa yang bisa kau tawarkan?”
Seketika
kita membiarkan hening mengitari tempat ini. Langit tidak cemerlang. Bulan
disembunyikan oleh hal lain di atas sana. Bintang, entah, barangkali jatuh di
matamu. Kita bertatapan. Sedang tanganmu masih erat berada di genggamanku.
Namun wajahmu, nampak sedang berpikir serius.
***
Pagi
ini, sinar matahari mendarat di tubuh kita. Terlihat jelas gigimu dan gigiku
sama-sama menyisakan cokelat dari bekas kencan semalam. Sisa-sisa cokelat itu
tak menghalangi kita untuk saling mengungkapkan cinta setelahnya. Ungkapan
cinta yang lahir lebih awal dibandingkan pasangan manapun di kota ini.
Kau
pergi ke kamar mandi, mau mencuci muka katamu. Dan aku juga mendengar suaramu
menyikat gigi. Sikat gigi di rumah ini masih berjumlah dua, belum tiga, empat,
atau seterusnya. Jumlah itu akan bertambah jika kau sudah siap memiliki anak.
Beberapa
saat kemudian, ibumu menelepon. Menanyakan kabar kandunganmu. Padahal kau tidak
pernah hamil. Dan kau berbohong dengan mengatakan telah mengalami keguguran.
Ibumu menangis. Kau tidak menangis.
“Apakah
memiliki anak benar-benar perlu?” Tanyamu.
“Tentu.”
“Apa
yang terjadi jika aku menolak?”
“Maka
orangtuamu akan meminta supaya kau mencari lelaki lain.” Jawabku.
“Memang
seperti itu kah yang akan terjadi?”
“Kukira
memang akan begitu.”
Sebulan
kemudian kita mulai rutin bercinta. Terkadang kita melakukannya bukan karena
benar-benar ingin. Kita butuh melakukannya. Laiknya orang yang butuh bekerja
supaya lekas mendapat uang. Kita juga sudah jarang makan roti dengan selai
cokelat. Kita lebih sering memakan sayur-sayuran macam kecambah.
Ibumu
pun semakin sering menelepon:
“Apa
kau sedang sibuk, Nak?” tanya ibumu dari dalam telepon.
“Begitulah,
Bu. Kenapa Ibu menelepon?”
“Apa
kau sudah mengandung lagi?”
“Belum,
Bu. Kenapa ibu bertanya begitu?”
“Ayahmu,
Nak. Ayahmu mulai sakit-sakitan.” Untuk hal-hal seperti ini, ibumu selalu
terlambat memberitahu kita. Atau seringkali sengaja menyembunyikannya.
Kau
menutup telepon. Kemudiankau menghampiriku, dan mencoba membuka satu persatu
kancing bajuku.
“Sebentar.
Aku lelah.” Kataku.
“Mau
menonton film dulu, atau bagaimana?”
“Tidak
perlu.” Kataku, “kemari, akan kubacakan puisi.”Kugeser badanku sedikit. Kusediakan
tempat di sampingku untuk kau berbaring.
“Jujurlah,
setelah aku tertidur semalam,kau sempat terjaga untuk membuat puisi, bukan?”
Matamu menipis, bagai memaksa agar aku membenarkan pertanyaannmu.
“Ya.
Seperti yang kau pikirkan.”
“Baik.
Bacakan puisi itu untukku.”
“Ada bintang jatuh di matamu
Lalu Aku berdoa kepadanya”
“Sudah?”
Kau menanyakannya setelah melihatku terdiam untuk sekian lama.
“Sudah.”
“Hanya
itu?”
“Iya.”
“Tadi
kau memejamkan matamu. Apa kau sungguh-sungguh berdoa?” Sepertinya kau tidak
begitu puas mendengar jawabanku.
“Itu
menjadi bagian dari puisiku.”
“Lantas,
apa bunyi doanya?”
Aku
meraih dagumu. Mencium bibirmu. Dan tubuhku meringkus tubuhmu. Tiba-tiba saja
aku hanya ingin menjawabnya dengan itu.
***
Setiap
bercinta, jarak di antara kita kian menipis. Bahkan nafasmu dan nafasku
mengepul serupa asap yang dimuntahkan dari corong yang sama. Kita tidak peduli
apakah di luar pagi atau malam. Pintu dan jendela kita tutup rapat-rapat.
Serapat bibir yang saling menikam. Televisi kita biarkan menyala, dan suaranya
kita kencangkan. Lebih kencang dari suara kasur yang berderit-derit.
Hingga
tiba saatnya, kau sering mengalami pusing, beberapa kali kau seperti ingin
memuntahkan sesuatutetapi tidak keluar apa-apa. Kau juga mengeluh tubuhmu lebih
berat dari biasanya. Emosimu tidak karuan. Dan terkadang kau banyak meminta
sesuatu yang aneh secara mendadak. Pernah ketika itu masih pagi sekali, kau
kepengin makan kentang goreng. Dan pernah juga ketika itu malam sekali, kau
kepengin memelihara kura-kura.
Aku
pergi membelikanmu sebentuk alat untuk membuktikan benar atau tidaknya kau
sedang hamil. Namun kau tidak mau buru-buru melihat hasilnya katamu. Meski
gejala-gejala yang kau alami telah berlangsung selama dua minggu.
“Apa
aku akan hamil?”
“Kemungkinan
besar.”
“Tadi
pagi Ibuku menelepon lagi.”
“Apa
katanya?”
“Ia
mau berkunjung kemari.”
“Kapan?”
“Besok
pagi, kalau bus yang ditumpanginya tidak menemui macet.”
“Perlukah
aku menjemputnya di terminal?”
“Ia
mau datang sendiri.”
***
Keesokan
harinya kau membuka jendela dan korden. Semacam acara simbolis untuk menyambut
tamu yang segera tiba. Dari tempat tidurku, aku melihat sinar matahari menimpa
wajahmu. Pipi delima itu membuat kau terlihat kian cantik. Kau menghampiriku
setelah menyadari aku sudah terbangun. Kemudian kau berkata, “aku mencintaimu.”
Ungkapan cinta yang lahir lebih awal dibandingkan pasangan manapun di kota ini.
Aku
melihatmu pergi ke kamar mandi. Aku mendengar suaramu sedang menyikat gigi.
Sebelumnya, aku juga melihatmu membawa masuk sebentuk alat untuk mengecek kehamilan
itu.
Beberapa
saat kemudian. Seseorang dari luar mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kau
berteriak dari dalam kamar mandi supaya aku segera membukanya. Aku berjalan ke
arah pintu dengan langkah yang berat. Lalu aku membukanya:
“Ibu!”
kataku dan meraih tangannya untukku cium.
“Mana
istrimu?”
“Masih
di kamar mandi. Tunggulah sebentar. Aku akan menyiapkan sarapan untukmu.”
Aku
duduk di meja makan menemani Ibumu. Menunggu kau keluar dari kamar mandi. Suara
siraman air, suara pintu berderit, suara langkah kakimu yang tenang. “Ibu!”
katamu dan meraih tangannya untuk kau cium. Dan kita sekarang duduk bersama di
meja makan. Kita menghabiskan sarapan tanpa membicarakan banyak hal. Ibumu
tidak terlihat antusias. Bahkan ceritanya menuju kemari terlalu singkat untuk
disebut perjalanan panjang. Setelah beberapa lama kemudian, Ibumu berkata:
“Ayahmu
sudah meninggal dunia, Nak.”
Kau
menatapku. Dan wajahmu nampak sedang berpikir serius.***
Biodata Penulis:
Robbyan Abel R, Lahir di
Mataram, 5 Januari 1998. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politk Universitas Airlangga, Surabaya. Juga turut bergiat di
Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Tulisan-tulisannya berupa
cerpen telah dimuat sejumlah media, antara lain, Media Indonesia, Suara NTB,
Denpasar Pos, Bangka Pos, Malang Pos, dsb. Ia juga kerap diundang sebagai
pembicara seputar isu sosial-politik serta filsafat.
Cerpen : Kemari, Akan Kubacakan Puisi Karya Robbyan Abel R
Reviewed by Redaksi
on
November 18, 2018
Rating: 5
Tidak ada komentar