Cerpen : Geger Karang Gegger Karya Yudik Wergiyanto
Oleh
: Yudik Wergiyanto
Mayat laki-laki itu tergeletak mengenaskan di atas
pematang dengan leher dan selangkangan yang bersimbah darah. Ia telah mati
dengan cara digorok dan kemaluannya dipotong. Warga kampung Karang Gegger
seketika menjadi geger. Hampir seluruh warga memenuhi sekitar tempat kejadian.
Banyak warga yang ingin tahu, tetapi polisi sudah memasang garis di sekitar
area agar tidak ada warga yang mendekat. Polisi langsung menyisir tempat
kejadian untuk mengumpulkan bukti-bukti.
Laki-laki itu adalah Burhan, pemilik gilingan padi yang
cukup besar di kampung itu. Warga pun mulai menduga-duga siapakah yang membunuh
Burhan. Mereka menyangka saingan bisnisnya yang telah melakukannya. Tetapi, agak
sedikit aneh jika cara itu yang di tempuh. Di kampung, biasanya untuk
mengalahkan pesaing digunakanlah sihir-sihir untuk mengirim penyakit bagi si
saingan. Mereka pun menyangka pembunuhan itu barangkali bukan dilakukan oleh
saingan bisnis Burhan.
Saijan
membanting pintu rumahnya. Kemarahannya kepada sang istri, Tini, membuatnya hilang
kendali. Namun, ia masih bisa menahan tangannya agar tak terayun ke wajah
wanita itu. Akhirnya pintu itu yang menjadi tempat ia melampiaskan kemarahan
yang telah memuncak. Ia lantas pergi ke warung kopi dan meninggalkan isterinya
sendirian.
“Jangan
bisanya cuma ngerokok
dan ngopi. Kerja dong!” bentak istri Saijan.
“Aku
sudah usaha cari sana-sini. Memangnya gampang cari kerjaan?!”
“Ya
usaha terus dong.”
“Kamu
harusnya membantu. Jangan cuma ngomel.”
“Mana
janjimu bakal membahagiakanku? Tahi kucing!”
Saijan
mulai menahan amarah. Tangannya mulai menggenggam menahan geram. Istrinya masih
terus saja mengeluarkan umpatan-umpatan. Saijan mencoba untuk tidak terpancing
amarah. Tetapi wanita itu justru seperti tak mau berhenti bahkan kini dengan serapahnya.
“Kalau
saja aku menuruti ibuku, aku tidak mungkin susah seperti ini. Bodoh sekali aku
menuruti cinta. Benar-benar tahi kucing!”
Pernikahan
Saijan dan Tini terjadi tanpa restu orangtua si wanita. Orangtua Tini tak mau anaknya
menikah dengan lelaki yang orangtuanya dibunuh saat terjadi gegeran enam-lima
karena dituduh pe-ka-i.Jelas sekali orangtua sang istri menolaknya dengan
keras. Anak
kuminis dan miskin pula.Tetapi sang istri telah jatuh cinta
pada Saijan. Apa pula yang membuatnya jatuh cinta pada Saijan, tak jelas dan membuat orangtuanya heran.
Hanya dirinyalah yang
tahu. Cinta
hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasakannya.
Orang-orang menuduh Saijan telah melakukan guna-guna pada sang istri. Mana mungkin salah satu anak gadis perawan berparas cantik
di kampung itu mau dengan Saijan?
Namun,
Tini
pernah
bercerita bahwa dirinya dibuat jatuh cinta pada Saijan karena puisi-puisinya.
“Puisi?”
“Iya,
puisi. Dia membuatkanku puisi-puisi yang indah.”
“Kamu
sudah gila ya? Aku saja terakhir baca puisi saat di sekolah dasar dulu.” Kata
salah seorang teman Tini.
Memang selama mereka menjalin hubungan Saijan sering
membuatkan Tini puisi-puisi. Saijan sering tak tidur sepanjang malam hanya
untuk menulis puisi bagi Tini. Hampir tiap hari Saijan membuatkannya. Dan kata-kata
memang sebuah sihir, bukan? Saijan bagai menyihir Tini lewat puisi-puisinya
yang indah. Tini pun juga mulai mencintai puisi. Setiap kali
bertemu, Tini selalu meminta pada Saijan sebuah puisi. Sampai akhirnya ia
menyadari bahwa ia tidak hanya mencintai puisi.
Mereka
pun pada akhirnya tetap
menikah. Tini
dengan
segala kerendahan hatinya menentang keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan Burhan, anak pemilik giling padi di kampung itu.
Sejak itulah
orang tuanya tak lagi mau mengakui Tini sebagai anaknya.
“Kau
bukan anakku lagi. Kau sudah kawin dengan anak setan itu. Anak dari seorang
kuminis.”
Saijan
dan Tini
telah menikah selama
empat
tahun. Namun mereka belum memiliki seorang anak. Kenyataan itu membuat orangtua
Tini
setidaknya sedikit bahagia dan tenang. Anaknya tak
melahirkan buah hati dari lelaki yang bagai seonggok bangkai menjijikkan di hadapan mereka
itu.
Hal
ini juga membuat Tini
bersyukur setelah mengetahui bahwa Saijan tak seperti yang diharapkannya.
“Heh.
Untung saja kita belum punya anak. Kalau tidak, pasti anak kita akan kau bikin
kelaparan dan
terlantar.”
Ucapan
sang istri itulah yang membuat Saijan sampai pada puncak amarahnya. Ia ingin sekali
memberi pelajaran pada sang istri bagaimana menghargai seorang suami.
Namun ia menahan dan hanya bisa geram sendiri dan pintu di rumahnya ia banting lantaspergi keluar menuju warung
kopi.
Saijan ditinggal oleh orangtuanya sejak berumur 3
tahun. Orangtuanya dibunuh bersama beberapa orang di kampung itu lantaran
dituduh sebagai kuminis. Lantas Saijan tinggal bersama Pak Liknya. Setelah
Saijan sudah tumbuh dewasa, Pak Liknya itu meninggal. Tinggalah Saijan seorang
diri. Ia bekerja sebagai apa saja, buruh tani hingga kuli bangunan. Semua ia
lakukan untuk menyambung hidupnya dari ke hari.
Maka tak heran jika orangtua Tini tak merestui cinta
anaknya kepada Saijan. Orangtua Tini lebih menyetuji Tini menikah dengan
Burhan. Sudah kaya, tampan pula. Pewaris gilingan padi milik keluarganya.Tetapi,
Tini menolak perjodohan itu. Cinta gilanya pada Saijan tak bisa dihentikan oleh
siapapun bahkan restu orang tua.
Tetapi, cinta yang gila nyatanya masih bisa luntur
juga. Semakin lama, karena kesulitan hidup, terbetuk jurang pemisah antara
mereka berdua. Kesulitan hidup membuat Saijan sulit mendapat pekerjaan.
Kalaupun ia dapat bekerja, pekerjaan itu tak menjamin penghasilan yang tetap.
Penghasilannya tak menentu. Lebih parah lagi penghasilan yang tak menentu itu,
tidak cukup membiayai kehidupan ia dan dirinya. Pertengkaran demi pertengkaran
terjadi hampir setiap hari. Mereka semakin jauh. Cinta makin tak ditemukan
dalam tatapan keduanya. Yang ada hanyalah perasaan yang barangkali adalah
kebencian satu sama lain. Cinta mereka tidak lagi sepuitis saat berpacaran
dulu.
Setelah pertangkaran di malam itu, Saijan tidak pulang
ke rumah. Istrinya pun juga tak mencari. Tetapi melalui para tetangga, Tini
tahu bahwa Saijan berdiam di hutan bambu. Beberapa warga melihatnya masuk ke
sana. Hutan yang menjadi tempat para korban pembunuhan biadab tahun enam-lima
dikubur. Tempat yang berarti di mana orangtuanya juga dikubur.
Hutan bambu itu berada di sisi terluar kampung Karang
Gegger. Karena tempatnya agak terasing dari kampung, hutan bambu itu menjadi
salah satu tempat yang dianggap angker.
Bambu-bambu di hutan itu tumbuh lebat dan rimbun. Bila berada di
dalamnya, kita nyaris tidak dapat melihat cahaya matahari yang dapat masuk.
Keadaan di sana nyaris gelap. Barangkali karena itulah, tempat tersebut
dijadikan pembuangan dan kuburan mayat. Tak ada yang berani pergi ke hutan
bambu itu bahkan di siang hari. Barangkali hanya tokoh pemuka agama saja yang
berani ke sana. Selain itu tidak ada. Bukankah itu adalah kuburan massal para
pendosa? Tak bisa dibayangkan bagaimana arwah-arwah yang menghuninya.
“Selain Pak Ustad, yang berani pergi ke hutan itu
adalah orang gila.”
Dan mereka memang
menganggap Saijan sudah
gila. Seminggu sudah ia tidak pulang ke rumahnya. Awalnya mereka menganggap
Saijan meninggal. Tetapi beberapa warga melihat Saijan pergi ke sungai. Ia
duduk di tepi sungai cukup lama, sebelum kembali ke hutan bambu. Penampakannya
tak lagi menggambarkan bahwa ia seorang lelaki yang masih memiliki keluarga.
Bajunya sudah sangat kotor. Wajahnya juga tidak terawat. Tampaknya selama
seminggu itu ia tak pernah membersihkan diri.
Jadi, sudah jelas bahwa Saija sudah gila, bukan? Saijan juga tertangkap
oleh warga berbicara sendiri saat duduk-duduk di sungai. Ya, Saijan sudah gila.
Selain terlihat di pinggir sungai, Saijan juga
terkadang terlihat berjalan-jalan di sepanjang pematang. Bahkan tak jarang
orang yang pergi ke sawah terkejut tiba-tiba mendapati Saijan duduk-duduk di
pematang sawah. Biasanya juga Saijan kedapatan tertidur di pondokan di
tengah-tengah persawahan.Melihat kondisi Saijan, para warga hanya bisa meratapi
betapa malangnya nasib laki-laki itu. Tumbuh tanpa orang tua dan kini harus
menjadi gila.
Tini mendengar desas-desus itu. Dia ingin menangis.
Tetapi Tini menguatkan hatinya. Ia tak ingin menangisi laki-laki itu. Kalau pun
ingin menangis, ia hanya akan menangis untuk nasibnya yang malang. Orantuanya
sudah tak mungkin menerimanya lagi. Telah terucap sebuah serapah baginya dulu.
Kini ia hanya bisa menerima takdirnya sebagai wanita yang malang.
***
Sudah bisa ditebak pembunuhnya adalah Saijan. Polisi
akhirnya menemukan bukti-bukti yang mengarah pada Saijan. Ya, Saijan yang sudah
gila itu. Ia telah melakukan pembunuhan itu di tengah malam gulita di pematang
sawah saat melihat korban baru saja keluar dari rumahnya. Saijan mengamatinya
dari jauh sebelum ia ikuti Burhan lantas menggorok lehernya dan mengiris
kemaluannya.
Itu Saijan lakukan sebab setelah pertengkaran dengan istrinya di
suatu malam itu, Saijan beranjak dari warung kopi dan pulang. Namun saat
memasuki rumahnya betapa terkejutnya ia ketika mendapati dari celah gedek, sang
istri tengah bergumul berdua sembari telanjang di atas ranjang dengan seorang
lelaki. Saijan tak bisa menangkap dengan jelas siapa laki-laki itu karena
lampu-lampu di rumahnya yang remang. Mereka berdua saling mendesah dan
mendengus bagai dua anjing yang melepas birahi. Hati Saijan hancur. Dunia di
sekitarnya seperti berputar-putar. Rasanya langit telah runtuh dan menimpanya.Ia
nyaris limbung. Tetapi ia bertahan. Saijan memilih pergi menuju hutan bambu.
Padahal ia ingin sekali mendatangi laki-laki itu dan langsung membunuhnya.
“Tidak malam ini,” katanya.
Tidak ada yang tahu bahwa di malam hari selama
hidup di hutan bamboo
Saijan selalu berjalan
menuju rumahnya; mengintip siapa laki-laki yang keluar dari rumah itu. Ia
bersumpah bahwa siapapun yang keluar dari rumah itu, akan ia habisi. Saijan tidak
peduli lagi. Ia sudah gila.
Biodata Penulis
Yudik
Wergianto lahir di Situbondo, beberapa cerpen pernah dimuat di media cetak. Dan
sangat peduli kepada kawan-kawannya terutama ketika sedang patah hati.
Cerpen : Geger Karang Gegger Karya Yudik Wergiyanto
Reviewed by takanta
on
Januari 13, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar