Cerpen : Tentang Kota dalam Pikiran
Oleh
: Alif Febriyantoro
“Jadi,
beginikah perasaan seseorang sebelum mengalami perpisahan?” tanya wanita itu
kepada kekasihnya, di sebuah bangku taman yang melingkar, di bawah sinar bulan
yang keperak-perakan, bersama angin, bersama dingin. Angin meminta mereka untuk
saling menggenggam tangan. Dan dingin meminta mereka untuk jangan sampai saling
melepaskan.
“Tenang
saja, pada setiap malam akan selalu kukirimkan mimpi untukmu.”
“Bagaimana
caranya?”
“Tunggu
sampai kita saling meninggalkan, dan kita akan tahu bagaimana mimpi-mimpi itu bekerja.”
Sementara
sinar bulan perlahan mulai memudar, seakan-akan memberi kesaksian bahwa ia
sudah bosan karena terlampau sering melihat sepasang kekasih yang akan
mengalami diorama perpisahan. Sungguh bulan yang sentimentil.
“Sebentar
lagi.”
“Masih
kurang dua menit.”
Dua
menit. Setelah kebersamaan yang mereka alami dari bulan ke bulan, dari tahun ke
tahun, kini hanya tersisa dua menit saja? Apa yang bisa dilakukan dalam waktu
sesempit itu?
“Sepertinya
aku ingin menghentikan waktu.”
“Aku
pun begitu.”
Tapi
waktu masih bergerak. Detik-detiknya masih terus berdetak.Dan sepertinya, dalam
hati mereka hanya tersisa suara denyut-denyut kegelisahan, sehingga yang hanya bisa
mereka lakukan dalam satu setengah menit terakhir adalah saling menatap satu
sama lain.
Dan...perpisahan
pun terjadi. Wanita itu yang lebih dulu pergi meninggalkan tanpa mengucapkan
selamat tinggal. Karena wanita itu tahu, ketika ucapan itu keluar dari
mulutnya, maka akan membuat air matanya semakin deras mengalir. Sedangkan
laki-laki itu hanya bisa melihat punggung kekasihnya yang pelan-pelan mengecil,
menjauh bersama angin, bersama dingin, kemudian benar-benar hilang dan menyatu
bersama gelap malam.Laki-laki memang tidak menangis, tapi hatinya pasti
teriris. Tapi mereka bukanlah pasangan pertama yang berpisah dalam keadaan
masih saling mencintai. Maka tak ada yang spesial. Hanya sebuah perpisahan pada
umumnya yang memaksa manusia kembali menggunakan kesedihannya.
Kita
tahu, waktu memang tidak bisa berhenti. Tapi waktu bisa diputar kembali.
“Kita
bisa pergi dari kota ini, bersama-sama, dan memulai hidup yang baru,” ucap laki-laki
itu kepada kekasihnya, beberapa jam yang lalu. Mereka duduk pada sebuah bangku
taman, di bawah sinar bulan yang keperak-perakan.
“Ke
mana?”
“Ke
sebuah tempat di mana bulan tak akan pernah pudar, di mana waktu akan berhenti
pada malam hari, dan tak akan pernah menjumpai pagi, hanya untuk kita berdua.
Dan kau bisa melakukan apa saja yang ingin kau lakukan.”
“Kau
berlebihan dalam berkhayal, mana ada yang seperti itu!”
“Ada.”
“Di
mana?”
“Di
dalam pikiranku, di dalam kepalaku.”
“Ah,
ada-ada saja. Kau terlalu banyak membaca cerita surealis.”
“Loh,
aku serius.”
“Coba
buktikan! Aku ingin melihatnya sendiri.”
“Pertama,
kau harus menutup matamu.”
Maka
wanita itu pun mengikuti apa yang dikatakan kekasihnya. Memejamkan matanya
dengan perlahan. Menarik ujung bibirnya sehingga dengan alami membentuk lesung
di pipinya. Ada subuah perasaan yang sungguh sulit diutarakan oleh seorang
laki-laki yang saat itu sibuk memandang sebentuk wajah manis milik kekasihnya.
Sungguh begitu dekat sehingga laki-laki itu lupa dengan janjinya sendiri.
“Mana?”
“Eh,
iya. Tunggu, sebentar lagi.”
“Ah,
lama.”
Sebenarnya
laki-laki itu bingung harus berbuat apa. Tentang kota yang katanya ada
dipikirannya itu hanyalah bentuk dari sebuah pengalihan untuk menghibur
kekasihnya yang baru saja bertengkar dengan suaminya. Ya. Wanita itu sudah
bersuami. Dan laki-laki yang saat ini sedang duduk di sampingnya adalah
selingkuhannya. Tapi tunggu dulu, cerita ini belum selesai.
“Kedua,
bayangkan, kini kau sudah berada di depan pintu masuk. Pintu itu berwarna
merah. Sekarang kau bisa langsung membukanya,” ucap laki-laki itu sambil
membelai rambut kekasihnya.
Wanita
itu masih tersenyum. Masih dengan lesung pipi yang membuat seseorang di
hadapannya semakin terpesona.
“Aku
sudah masuk. Kau di mana? Sejauh mata memandang, aku hanya melihat hamparan
bunga.”
“Itu
bukan bunga, Sayang. Tapi itu air mata. Air mata itu berkumpul sehingga
terlihat seperti hamparan bunga.”
“Ah,
kan sama saja.”
“Ayo
cepat cari aku.”
“Bagiamana
caranya?”
“Kau
hanya perlu berlari menyusuri jembatan besar di depanmu itu. Kemudian lewatilah
hamparan bunga itu. Setelah itu kau akan menemukan sebuah rumah kecil di sudut
kanan pandanganmu. Rumah itu berwarna kuning. Kau harus cepat, karena kabut
sedang bergerak dari arah berlawanan. Jika kabut itu sudah memenuhi kota ini,
kau akan tersesat.”
Begitulah
mereka, sepasang kekasih yang hubungannya rumit, yang tak diterima oleh
kenyataan. Tapi wanita itu lebih beruntung karena telah membangun rumah tangga
dan telah mengalami bagaimana rasanya malam pertama, walau rumah tangga yang
terpaksa dibangun itu telah menimbulkan berbagai macam kesedihan yang terus
dialami wanita itu. Namun setabah apakah laki-laki yang menjadi kekasih
bayangannya itu?
Percayalah,
selama bulan masih bergerak, seorang laki-laki memang diciptakan untuk
membahagiakan wanita. Maka laki-laki itu, secara kemanusiaan, sama sekali tidak
bersalah ketika dengan sepenuh hati mencintai seorang wanita yang telah
bersuami, yang suaminya selalu kasar kepada istrinya, yang setiap malam selalu
mabuk dengan wanita lain, dan masih banyak lagi kisah-kisah lain, yang ujungnya
selalu negatif.
“Kenapa
kau tidak minta cerai saja?” tanya laki-laki itu di waktu yang lain.
Tapi
wanita itu hanya diam. Kemudian menangis. Seakan-akan ada sesuatu yang tak bisa
ia ceritakan. Sikap diam itu seperti menjelaskan bahwa ia tak bisa berbuat
apa-apa lagi. Dan untuk kesekian kalinya, laki-laki itu pun mencari pemahaman
sendiri atas apa yang tak bisa wanita itu ceritakan.
“Sepertinya
aku benar-benar tersesat. Aku tidak bisa menukan rumah itu. Sepertinya kita
tidak akan pernah hidup bersama.” Wanita itu membuka mata. Kemudian pelan-pelan
muncul air mata. Mengalir ke pipi. Jatuh satu demi satu sebelum akhirnya dibasuh
oleh tangan kekasihnya. Ah, kenapa wanita selalu putus asa?
“Suamiku
sudah mengetahui keberadaanmu,” lanjut wanita itu, “aku tak mau terjadi apa-apa
denganmu.”
Kini
laki-laki itu yang diam. Oh, apakah khayalan mampu menyelamatkan kenyataan?
“Aku
bisa bunuh suamimu!”
Entahlah,
kalimat yang mengandung keputusasaan ternyata juga bisa keluar dari mulut
laki-laki ketika ia merasa hatinya seperti tertusuk-tusuk duri tajam. Tapi
kemudian laki-laki itu sadar diri.
“Maaf.
Aku terlalu mendramatisir sesuatu. Jadi keputusan terbaik adalah berbisah?”
“Kau
tahu, itu bukan keputusan terbaik.”
“Jadi?”
“Entahlah.”
Percakapan
mereka tampak seperti sedang menawar sebuah barang. Tapi apakah cinta bisa
ditawar?
Dan
malam semakin malam. Tak ada percakapan lagi. Mereka hanya saling menatap mata.
Seperti ada sesuatu yang sulit untuk diutarakan. Seperti ada sebuah bom di
tenggorokan. Ah, cinta memang mengerikan.
***
Waktu
kembali seperti semula. Di mana sepasang kekasih itu benar-benar berpisah. Wanita
itu sudah sampai di rumahnya. Sedangkan laki-laki itu masih duduk di bangku
taman. Ia menatap langit. Menyalakan rokok. Asapnya berhamburan ke mana-mana.
Pikirannya melayang jauh, ke sebuah kota di dalam kepalanya sendiri.
Di
kota di dalam pikirannya itu, ia duduk di beranda rumah yang ia bangun sendiri
dengan air mata. Ia memandang langit yang sama, yang hitam dengan cahaya bulan
keperak-perakan. Asap rokoknya masih sajaberhamburan di udara. Membentuk
bayangan kekasihnya yang sudah meninggalkannya. Senyum kekasihnya
melayang-layang di kelopak matanya. Begitu dekat. Sisa parfum kekasihnya masih
melekat di ujung hidungnya. Laki-laki itu semakin menikmati kehadiran bayangan
kekasihnya. Semakin lama ia berkhayal, ia merasa ada kebahagiaan yang ia
ciptakan sendiri dalam kepalanya. Dan semakin ia merasa berbahagia dalam
khayalan, semakin tak ingin ia untuk sejenak keluar dari kota di dalam
kepalanya sendiri.
Apakah
memang benar, khayalan mampu menyelamatkan kenyataan? (*)
Alif
Febriyantoro, lahir di Situbondo dan belum mempunyai istri.
Cerpen : Tentang Kota dalam Pikiran
Reviewed by Redaksi
on
Januari 20, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar