Resensi Buku : Ruang Kelas Berjalan Karya M. Faizi
Judul : Ruang Kelas Berjalan
Penulis : M. Faizi
Tebal Buku : 292 halaman
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, Juli 2018
ISBN :
978-602-5783-11-1
Banyak
orang yang senang bepergian atau jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat
mengesankan. Traveling ke destinasi favorit
atau kota-kota impian. Tapi hanya sedikit di antara mereka yang menuliskan pengalaman
perjalanannya sehingga aktivitas yang menyenangkan hanya bisa dinikmati sendiri.
Pengalaman-pengalaman berharga dan terdapat pelajaran selama perjalanan itu
tidak dibagi-bagikan kepada orang lain.
Jalan-jalan,
mengunjungi tempat-tempat tertentu, bagi sebagian besar orang, apalagi di zaman
ini, dengan berfoto ria atau ber-selfie
sebanyak mungkin, lalu diunggah ke akun media sosial, itu sudah cukup. Sangat
cukup. Selain sebagai bukti otentik dari perjalanannya, tentu sebagai ajang
pamer. Namun apa yang bisa dipelajari dari sebuah foto bagi orang lain? Tak
ada. Kalaupun bisa dinikmati, tentu hanya sekilas lalu saja.
Dan
M. Faizi termasuk bagian di antara sedikit orang yang suka atau sering
menuliskan pengalamannya selama aktivitas bepergian. Lebih spesifik lagi adalah
bepergian dengan menaiki bus umum. Istimewanya, dia menuliskan pengalaman dan peristiwa
selama dalam perjalanan. Bukan pengalaman di tempat tujuan atau tempat-tempat
tertentu yang sedang dia kunjungi yang barangkali memukaukan mata karena keindahannya
seperti halnya catatan perjalanan pada umumnya.
Seperti
pengakuannya dalam pengantar buku ini: “Yang saya catat di dalamnya bukanlah sekadar
perjalanan naik bus ini atau naik bus itu ke tempat ini dan itu. Ada nilai-nilai
kehidupan yang harus disampaikan kepada orang lain, semacam pelajaran dalam menerima
dan menjalani kenyataan yang menyerupai pelajaran yang diberlangsungkan di ruang-ruang
kelas, di madrasah.”
Mengapa
harus di dalam bus, bukan kereta api atau pesawat terbang atau mobil pribadi?
Jawaban M. Faizi sederhana. Selain karena hobi naik bus, dia berkeyakinan bahwa
naik bus lebih dramatis ketimbang naik angkutan massal lainnya. Di dalam bus
atau selama perjalanan dengan bus ada kehidupan manusia yang sangat beragam. Mulai
persoalan pungli, calo, pencopet, bus yang ugal-ugalan, hingga persoalan-persoalan
kemanusiaan. Entah yang sangat krusial maupun yang tampak sederhana, tetapi seringkali
kita abaikan.
Dan
tentu menjadi sangat menarik karena dia menuliskan perjalanannya dalam wilayah
lalu lintas Indonesia. Lalu lintas yang penuh persoalan dan berbagai
kemungkinan, mulai keadaannya yang masih sedemikian semrawut, pengguna lalu
lintas yang hanya mau tertib saat ada petugas, maupun tabiat sebagian besar
orang Indonesia yang masih sulit diatur dan tak mengindahkan aturan publik yang
tujuannya demi kebaikan bersama. Andaikan M. Faizi menulis catatan
perjalanannya dalam lalu lintas atau angkutan umum di luar negeri, katakanlah
di Eropa yang sudah sedemikian tertib, tentu catatannya menjadi datar-datar
saja. Tak ada daya petualangan yang memesona atau penuh pelajaran yang bisa
dipetik.
M.
Faizi menceritakan pengalaman perjalanannya dengan gaya prosa yang sederhana dan
menarik. Kadang menegangkan. Tapi seringkali diselingi humor-humor segar dan jenaka.
Selain itu, dia tak luput menceritakan detail. Entah yang berhubungan dengan mesin
bus yang sedang ditumpanginya, kecepatan bus, karakteristik bus dari PO
(perusahaan otobus) tertentu, tabiat sopir dalam ‘menjoki’ bus, rentang waktu dalam
perjalanan, jarak tempuh, maupun informasi-informasi lain yang cukup penting tapi
seringkali diabaikan oleh sebagian besar pengguna jasa bus.
Sebagai
orang yang menjadi bagian dari Bismania (komunitas penggemar bus), dia banyak tahu
soal bus dan mengenal para awak bus. Mulai sopir, kernet, hingga kondektur bus
di Jawa, khususnya bus-bus yang beroperasi di area Jawa Timur. M. Faizi banyak menyebut
nama-nama orang yang punya kedudukan tadi dan mengutip perbincangan-perbincangan
dengan mereka selama di perjalanan, yang kadang menjadi bagian menjemukan dari catatan
perjalanan dalam buku ini. Namun intinya tetap sama dan bermuara pada kemanusiaan
serta mengandung pesan-pesan universal.
Karena
sebagai catatan perjalanan, tentu nuansanya sangat intim dan dipotret dengan perspektif
subjektif. Maka dalam catatan perjalanan di buku ini sesekali juga kita bakal menemukan
perasaan mengharubiru penulisnya, baik dalam suasana nostalgia atau kenangan ketika
bus melewati dan sedang menuju tempat tertentu, ataupun rasa khawatir penulis atas
pelayanan angkutan umum kita maupun keadaan lalu lintas yang seringkali tak
dapat diprediksi untuk tepat waktu. Dengan gaya humornya yang khas penulis
menggambarkan: “Selain jodoh, rezeki, dan mati, yang tak dapat ditebak adalah
Pantura.”
Buku
yang merangkum tiga puluh catatan perjalanan dan ditulis dalam rentang waktu
2011–2016 ini, selain penting karena mungkin mengisi kekosongan literatur kita
tentang tetek bengek transportasi dan lalu lintas di Indonesia, juga menjadi
potret sosial manusia Indonesia ketika berada di jalan raya dan angkutan umum—yang
luput diamati oleh pengamat sosial. Dan tentu saja itu juga penting bagi kita,
khususnya yang menggunakan transportasi bus, dan umumnya bagi pengguna jalan
raya karena di dalamnya penuh pelajaran layaknya di ruang kelas.[]
BIODATA PENULIS
Kim
Al Ghozali AM lahir di Probolinggo, 12 Desember 1991. Menulis puisi dan prosa.
Buku puisinya: Api Kata (basabasi, 2017).
Resensi Buku : Ruang Kelas Berjalan Karya M. Faizi
Reviewed by Takanta ID
on
Januari 12, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar