Home
/
Apacapa
/
Hat Pujiati
/
Ulas Buku
/
Sejarah, Tubuh, Dosa dan Diri dalam Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa
Sejarah, Tubuh, Dosa dan Diri dalam Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa
Oleh Hat Pujiati*
Merupa Tanah di Ujung Timur (Antologi Penyair 7
Kota) berisi puisi-puisi yang ditulis oleh penyair yang telah punya rekam
jejak kepenulisan di dunia sastra. Seperti yang
dinyatakan kurator dalam pengantarnya, antologi ini hendak merayakan pengalaman
psikologis yang sekaligus hendak menegaskan identitas melalui lokalitasnya.
Berangkat
dari judul antologi ini, maka saya menyoroti ‘tanah yang dibawakan
puisi-puisi di dalamnya. Berawal dari judul puisi yang menjadi judul antologi,
tanah yang dilihat sebagai teritori dipahami sebagai tempat tumbuh dan ruang
bagi setiap peristiwa hidup. Tanah menampung luka, nestapa, resah, dan harap
yang memiliki sejarah. Tanah juga dipandang sebagai yang tumbuh selain tempat
bertumbuh, maka tanah yang sebagai teritori dinyatakan retak; segunpalan
rindu pada tanah yang retak/ di bait akhir dinyatakan rekah
merupa tanah
di ujung timur
jawa
merupa tanah
sebagai lembah
raung
yang selalu rekah
Wacana tanah yang tadinya sebagai wadah, yang mati,
dibangkitkan dalam hidup. Sebagai yang mati, tanah
menjadi milik sehingga penghuninya (tubuh, semang dan anak cucu)
merasa berhak mengatur sejarahnya demi kepercayaan diri sebagai pemilik karena
sejarah yang ada telah menanam sunyi yang nestapa (karena gagal dimiliki ketika
sejarah tak dicatat sendiri).
menamatkan segala
yang sepi
sebagai sejarah
yang ingin kami catat sendiri
di sini, di dada
ini
tempat segala
tubuh kami dijajar dan dihamparkan
oleh sekalungan
doa
Dihidupkan
dalam tanah yang selalu rekah, tanah dipahami sebagai tanaman yang tumbuh
oleh doa penghuninya. Akhirnya kuasa Tuhan lah yang mampu menata semua, manusia
berupaya hendaknya tak lengah dalam doa. Tanah di ujung timur Jawa dalam puisi ini merujuk
pada tapal kuda Jawa Timur, tepatnya lembah raung, mengacu pada
Banyuwangi, Bondowoso dan Jember (Situbondo?).
Sejarah dalam puisi-puisi dalam antologi ini banyak
menceritakan nestapa, dalam puisi Armaya misalnya dalam ‘Suara Itu di Sana’
melihat sejarah sebagai pengingat ikat yang lepas, ikat pada identitas karena
retakan sejarah yang tak dikenali sehingga menjadikan diri teralienasi /benar
kita kehilagan kelahiran kita sendiri/benar mereka menjadi asing dengan dirinya
sendiri/dan suara itu di sana/masih seperti dulu dalam perubahan wujud/wajah
sejarah yang berulang kita pelajari/ Lupa pada sejarah hanya membuat
kerapuhan pada diri, namun Armaya masih percaya pada cinta dalam “Lapangan”
sehingga ketakpastian hidup esok pagi yang dijawab sepi masih ada
harapan, setidaknya Tuhan masih tetapi ada sebagai sang penyelamat dari segala
gundah.
Sementara
puisi-puisi lain yang bicara tanah di Timur banyak yang mengacu pada
Banyuwangi. Latar budaya yang terkonstruksi cukup kuat dan kerab dibicarakan
tertanam pada Banyuwangi membuat penyair-penyair luar Banyuwangi pun asyik
berbicara kota tersebut. Gandrung, santet, using selalu menarik dihadirkan
saat bicara Banyuwangi. Sungging Raga, yang tinggal di Situbondo membawa Terowongan
Mrawan dalam bingkai kisah cinta. Terowongan tersebut tercatat sebagai
lintasan kereta yang menghubungkan narator dengan cinta. Sementara puisinya yang berjudul Banyuwangi, Sungging membawa kota tersebut dalam puisinya
dari perspektif seorang pengamat. Melihatnya sebagai penghubung dengan Bali
yang riuh, dan Banyuwangi sebagai tempat istirahat bagi yang lelah, sementara
lautnya tak pernah diam diarungi kapal-kapal yang terus berjuang.
Ariya
Ermiles yang menulis puisi-puisinya di Banyuwangi fokus pada perasaan, berkisah
cinta, namun dalam Kerinduan Memaksa, lamat-lamat emosi dilabuhkan dalam
lokalitas Banyuwangi, Santet. Di bait terakhir dia menyatakan:
Tidak tahu sampai
kapan
Gelombang cinta
mempermainkan
Sementara bila
kutenggelam dalam rasa
Makin dalam
kerinduan memaksa
Berlabuh di hatimu
Ada
batas toleransi yang dia baca dari permainan rasa, dan bila tak lagi mampu
bertahan rasional maka nada ancaman itu muncul, memaksa berlabuh berarti
akan ada cara-cara paksaan. Bila bicara paksaan cinta ala Banyuwangi maka itu bisa saja bisa ancaman
Santet.
S.A.W.
Notodiharjo lebih gamblang melukiskan santet Banyuwangi yang tersohor tersebut
dalam puisinya Suwuk. Suwuk digambarkan bisa dibeli, suwuk melintasi alam
sadar manusia menuju alam tak sadar melalui doa, kemenyan dan bunga setaman
sebagai properti pengantar suwuk. Kau lupa tak mengunci rapat pintu
rumahmu/ kau terlalu lelap untuk kugerayangi bersama roh nenek moyang/ aku akan
masuk menjejaki tubuhmu/mengenyampingkan sadarmu/Ku lempar saja kepadamu suwuk
yang telah kubeli/ ku cipta mendung untuk menidurkanmu/ tak usah bingung jika
kau mencariku. Hong / Tidur digambarkan dunia antara yang rawan, bila
gegabah berangkat tidur maka kehendak orang lain bisa mengendalikan pikiran dan
tubuh seseorang. Jadi doa dalam lokalitas Banyuwangi terbagi dalam dua arah,
Tuhan sang pencipta sang penyelamat, dan roh nenek moyang sang penolong. Doa
juga sebagai sebuah komoditas, santet dapat dibeli. Artinya orang Banyuwangi
pandai memberi nilai pada apa yang dimiliki, tak harus kasat mata, tak kasat
pun mereka mampu jual. Saya menafsir bahwa kecerdasann ekonomis yang ada pada
mereka juga ada kaitannya dengan posisinya yang pernah jaya sebagai pusat
perdagangan seperti yang dikisahkan Anthony Reid akan karakteristik orang-orang
di daearah pesisir yang menjadi pusat transaksi di masa silam.
Perubahan
zaman, perkembangan peradaban terutama modernitas kerab dituding sebagai
penyebab kerusakan alam dalam antologi ini, baik itu Banyuwangi atau pun
Jember. Orientasi masnusia pada marteri mengesahkan segala cara,
teknologi menjadi cara menghancurkan situs sejarah, memisahkan alam dari
manusia, memutus pesona dunia dari pandangan manusia. Lare Using oleh
Iqbal Baraas, Larung Saji dan Gandrung oleh
Notodiharjo, Memoar Tanah Pendalungan oleh Alif Firdaus, Epitaph
Ranahmu oleh jeni Indri, Oosothoek oleh Moh. Imron, semua
melihat kerusakan yang mencipta jarak antara manusia dan alam, namun masih ada
Tuhan yang setia mendengar doa. Sementara Rumah Kayu oleh Rica
Susilowati, menanam kenangan pada masa lalu, masa rumah kayu yang tak terganti
malah dikatakan /pondasinya kuat, sayang, ia menancapmu dari-ubun-ubun. Berakar di jantungmu./ kamu takkan berpaling./ larik
tersebut menguatkan pandangan bahwa yang dekat dengan alam lebih indah, lebih
berharga, ada keselarasan dengan ide Plato pada perspektif puisi ini.
Puisi-puisi
Isnadi runtut dan sistematis dalam menata kata dan membangun wacana, sehingga
mengundang pembaca ke dalam puisi tersebut dan menyuguhi segenap hidangan yang
dipunya dalam wacana bangunannya hingga tuntas dan bisa keluar dari puisinya
dengan perut kenyang. Kekacauan sosial yang dimulai dari kepul kopi dari
gelas bermotif bunga dalam Kucing Pagi, mengangkat permasalah orang kecil
ke dalam/lihat truk bergambar gelas dan cangkir birahi/ hingga soal gaduh tikus
dan meja kerja, kemudian dikembalikan pada kopi dan waktu yang ambruk.
Sementara puisi Halo menyoroti kerusakan lingkungan karena ketamakan
manusia, tanah-tanah jadi gersang, dan manusia terjebak dalam dunia maya, waktu
lewat begitu saja, manusia gagal memahami alam maka petaka itu terjadi dan
disadari namun sekaligus tak disadari pelaku-pelakunya. Perayaan-perayaan semu,
waktu yang terlipat dalam h.a.l.o menjadi rutinitas, jerih payah menanam tak
lagi mampu dibaca manusia, alam larut dalam maya android. Halo melihat
keterputusan manusia dari penanda dengan petanda-petandanya. Perihal
masyarakat psichoprenia ini juga dibawakan Pranoto dalam Orang-Orang. Orang-orang
lalang dengan lubang di kepala/Angin yang melewatinya membuat desis /seperti
tuning radio tak temukan kanal gelombang/.
Sebagai penutup,
paduan budaya yang mencirikan area tapal kuda yang kerap dianggap sebagai
bentuk hibrid ini dibaca sebagai sebuah kegagapan terhadap kebaruan, peradaban,
atau kegagalan pemaknaan pada sejarah. Kemudian lokalitas sebagai anugerah yang
kuasa juga mewarnai kumpulan puisi ini. Yang tak dapat diabaikan juga (tanpa
mengabaikan kekuatan-kekuatan puisi yang ada dalam antologi tersebut)
puisi-puisi Ibnu Wicaksono dalam bicara tubuh, kenangan dan dosa dalam
menggambarkan lokalitas dari seblang hingga legenda Bedadung merangkum serakan
wacana-wacana keseluruhan antologi ini perihal sejarah, tubuh, dan tuhan dalam
mengkonstruk diri.
*) Salah satu pembedah dalam Seminar Umum dan Bedah Buku "Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa di UNARS Situbondo pada tanggal 4 Juni 2016
Sejarah, Tubuh, Dosa dan Diri dalam Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa
Reviewed by Redaksi
on
Januari 25, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar