Situbondo : City of Sellow
Oleh
: Ahmad Maghroby Rahman*
City
of Sellow, itulah term yang saya
sematkan untuk kota saya tercinta, yang luar biasa saya syukuri penemuannya,
yang setelah saya temukan, saya senyum-senyum sendiri sambil mengendarai sepeda
motor sehabis mengantar adik bersekolah.
Bagaimana
saya tak bersyukur? Term itu sudah
sejak lama saya ingin temui, setelah sekian lama juga saya merasakan pengalaman
indrawi dan ruhawi tentang kota ini, yang rasanya sangat sulit terperikan oleh
kata.
Bagaimanapun,
proses menemukan term ini lebih susah
daripada proses kreatif penemuan diksi untuk puisi-puisi saya.
Sebenarnya,
ada beberapa term yang sebelumnya
saya coba pasangkan dengan pengalaman saya itu, diantaranya term; Situbondo Kota Mati. Tapi, saya
sangat tidak setuju dengan term
tersebut. Benar-benar tidak setuju. Karena, bagaimanapun Situbondo bukan Kota
Mati, setidaknya melalui tiga indikator kemajuan kota yang diterbitkan di
Ghuringan Pak So (timur terminal/ timur Masjid Nurul Anshar), oleh teman sa
pakopian saya yaitu : macet, mall/swalayan dan pabrik. Dan Situbondo masih
punya semua itu.
Tentang
kemacetan, misalkan, setidaknya masih ada kemacetan di Jl. PB. Sudirman di
depan SD Patokan 3, saat jam pulang sekolah sebelum jumatan. Ya, walaupun
memang kemacetannya cuman gara-gara penjual pentol dan tanglur serta beberapa
pengendara luar kota yang tidak melihat tulisan kiri, jalan terus di tiang
lampu merah.
Tentang
swalayan atau mall, konon akan dibangun mall baru di sekitar Pasar Buah.
Kalaupun itu hanya mitos, ya tidak masalah. Karena, saya sebagai mahasiswa
Antropologi dapat menambah kan mitos itu dalam arsip khasanah folklor Situbondo
yang saya tulis. Di samping itu, juga masih ada KDS dan Kartini yang orang
Situbondo bisa sebut sebagai mall atau department
store setidaknya.
Masalah
pabrik, Situbondo masih punya. Di belakang rumah saya, di Cappore contohnya,
ada pabrik tahu. Di jalan Irian Jaya, tepat di gang sebelah toko Sin-Sin, juga
ada pabrik kecap. Belum lagi pabrik salem di timur yang pegawainya di-buwek bis itu atau Pabrik gula, yang
walaupun beberapa sudah gulung tikar.
Ngomong-ngomong
tentang macet, jika benar itu indikatornya, saya jadi pingin menebang semua
pohon yang ada di pinggir jalan, sehingga semua jalanan di Situbondo macet.
Lalu, dengan begitu kita jadi kota maju.
Tapi,
sayang penentu maju atau tidaknya sebuah kabupaten bukan teman sa pakopian saya
tadi. Bukan mereka juga yang menentukan indikator kemajuan dan tergolong atau
tidaknya sebuah kabupaten dalam kategori 3 T.
Jadi,
walaupun telah memenuhi tiga indikator tadi, Situbondo tergolong tidak maju.
Ingat tidak maju!
City
of sellow, entah mengapa, sangat mewakili suasana di pagi hari,saat pemuda-pemuda
berangkat sekolah, para PNS berangkat ke kantor, pak polisi mengatur lalu
lintas, beberapa orang berolah raga di alun-alun. Di Pasar Senggol, orang-orang
menenteng belanjaan, sebagian ada yang membeli sarapan tajhin palappa, lontong
balap atau nasih pecel.
Bagi
saya yang kuliah di luar kota, pemandangan seperti itu memberikan kesan ruhawi
yang sederhana namun selalu dirindukan, tenang, harmoni dan bersahaja. Memang
tidak logis hubungan antara pemandangan tadi dengan pengalaman ruhawi yang saya
tangkap. Namun, itu lah manusia, selalu memberi makna dan kesan atas apa-apa
yang ada di sekitarnya.
Kata
sellow sendiri jika diterjemah dalam bahasa Indonesia berarti pelan. Tapi,
tidak, bukan itu yang saya maksut. Situbondo bukan kota pelan. Situbondo kota
yang mandek. Bukan itu yang ingin saya sampaikan.
Sebagaiamana
sunnah-nya,kata akan selalu mengalami
perubahan dan penyesuaian makna sesuai dengan konteks waktu, tempat dan ruang
di mana kata itu digunakan. Kata sellow sendiri hari ini bisa memiliki makna santai.
Tapi makna santai bisa multi tafsir. Makna santai yang saya maksutbukan tentang
malas-malasan, tapi lebih mengacu kepada keguna’annya sebagai perlawanan atas
keseriusan yang berlebihan dan marah-marah. Seperti penggunaan dalam ungkapan:
sellow aja kenapa sih, ga usah marah-marah. Atau dia orang nya memang ga pernah
sellow.
Nah,
dalam konteks seperti itulah, yang saya maksud city of sellow itu bagi Situbondo.
Lihatlah, misalkan, adakah pertengkaran ojol dan opang di Situbondo? adakah
kita harus berangkat jam 5 pagi intuk pergi ke kantor atau sekolah untuk
menghindari macet? atau coba hitung frekuensi klakson yang berbunyi di
Situbondo dan coba bandingkan dengan kota lain? atau cari lah tempat yang
tempat yang dengan uang tiga ribu, kamu dapat makan nasi pecel seperti di Pak
Sey? Adakah selain di Situbondo?
Atau
Apa bisa di kota besar, kita mandi dan itat atau a iat di sungai seperti saat
kita kecil dulu? Apakah ada waterboom yang lebih menantang dari rit-jiritan DAM?
Adakah yang lebih syahdu dari Tayaqqadu masjid Al-Abror saat subuh menjelang?
Adakah?
Ya
itu lah,
Itu
lah sisi sellow Situbondo yang dari dulu tak pernah berubah.
Kalo
ada yang bilang dengan city of sellow, kita akan mandek dan gak akan maju, saya
ingin ngopi dengan orang itu dan bertanya beberapa hal. Pertama, apa yang anda
tahu tentang maju? Bagaimana paradigma anda tentang kemajuan sebuah kota?
Dan
yang terakhir yang paling penting apa indikator anda menentukan kemajuan sama
dengan indikator teman-teman saya tadi? Jika indikatornya sama, ya mungkin
orang itu lah yang membikin kota ini tidak maju. []
Situbondo : City of Sellow
Reviewed by Redaksi
on
Januari 26, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar