Cerpen : Akibat Dari Salon Kecantikan
Oleh: Nisa Ayumida
Perempuan itu tentu saja sudah lupa waktu, keduanya
saling sambung cerita lewat sebuah tatap- pandang. Saling memperlihatkan
deretan gigi yang berjejer rapi. Bintik-bintik hitam yang bertabur di daratan
mukanya seolah sebuah ejekan baginya. Cepat-cepat perempuan itu mengoleskan krim
wajah ke permukaan kulitnya, melalui jari telunjuknya yang tak manis lagi.
Padahal ia tidak sibuk apa, kecuali mempertahankan kecantikannya setiap waktu.
Sesekali keduanya tertawa getir. Jauh di kedalaman mata yang ia pandangi, ia
mulai menemukan masa-masa getir yang dilaluinya. Bagaimana ia belajar cara
meletakkan bulu mata, bagaimana cara mengoleskan lipstik, maskara yang hitam
pekat ke tempat-tempat yang semestinya menerimannya. Padahal ia pun tahu,
kecantikan adalah anugerah yang sekejap. Namun dengan tetap mempertahankan
kecantikannya setiap hari, ia merasakan sensasi bahagia yang luar biasa. Sebab
bahagia padanya telah berubah makna dari kebanyakan orang lain.
***
***
Sang bapak yang usianya berkisar tujuh puluh tahun
meninggal. Ditambah keadaan Ibu yang jatuh bangun dengan sesak
dadanya. Di tengah himpitan ekonomi membuatnya tak dapat berpikir damai lagi
hingga tawaran untuk bekerja di tengah remang-remang lampu bar, sebagai
pelantun lagu, ia terima, meski penuh himpitan ragu di dada. Ia pun tahu segala
konsekuensinya. Maka saban hari berangkatlah ia menjelang senja lelap dan baru
pulang paruh malam. Bergulir waktu, ajakan demi ajakan dari lelaki hidung
belang sama sekali tak ia gubris satu orang pun. Di tempat yang ramai itu, ia
tak menemukan suatu kebahagiaan apapun kecuali uang yang ia dapat dari bosnya. Meski
satu dua kali ia dibuat cemas sebab polisi tiba-tiba menggerebek tempat itu,
namun ia selalu saja lolos. Rupanya Tuhan masih mengampuninya. Namun ia tidak
pernah jera dengan pekerjaan itu. Ia tidak bersaudara, hanya berdua saja dengan
ibunya yang tengah ia rawat.
“Kamu bekerja apa, Ta?” Suatu ketika sambil melipat baju
si ibu menyodorkan pertanyaan.
“Aku bekerja di kedai kopi milik pak RT kampung sebelah,
Bu,” Jawabnya demi mendamaikan hati ibunya ditengah hujan deras pertanyaan
tetangga.
***
***
Perempuan dalam cermin tetap bertahan dengan senyum yang
ia usahan tetap menawan. Padahal, jauh dibalik lampu-lampu yang menggantung di
kamarnya, segerombolan cicak menertawakannya cekikikan. Namun ia tak pernah
sadar dan tetap menyisir rambutnya yang kian kasar. Di rambut itulah ia juga
menemukan kebahagiaan malam itu. Sambil tersenyum ia lalu teringat. Tuhan
menjatuhkannya pada lubang manis.
Begini ceritanya, sirene lampu mobil polisi melengking
kian merapat ke telinga masing-masing para pengunjung bar malam itu. Gemerlap
lampu dan alunan musik semakin mencekam malam itu. Perempuan itu tergagap di
atas panggung, meninggalkan alunan musik. Ia merasa tak akan menemukan jalan
pulang malam itu. Semua orang berdesakan, berhamburan. Tiba-tiba tangan lelaki
yang tak ia kenal menariknya, menuruni tangga, memasuki gang sempit dalam bar,
kamar-kamar yang gelap, setengah terseret kakinya ia berpikir bahwa laki-laki
itu seolah tahu banyak rute pintu rahasia yang ada dalam bar itu. Bahkan ia
sendiri tidak tahu bila ada kamar-kamar gelap dalam bar itu. Penyanyi dangdut
itu menarik napas lega. Kemudian perkenalan singkat terjadi di dalam
mobil. Pada laki-laki itu ia minta diturunkan jauh dari gang jalan menuju
rumahnya. Diam-diam ia takut ibu dan tetangga melihat.
Demikianlah hari-hari berikutnya berlanjut. Laki-laki
bernama Pardi itu tak pernah absen mengantarnya manggung. Ia bahkan
sempat bertanya.
“Kenapa kau tidak bekerja di tempat lain saja, Ta?” Saat
itu Tata terkesiap, menatap uang di pangkuannya yang ia hitung sejak tadi.
“Kamu bisa kerja di kantorku kok!” Perempuan itu ragu
pada dirinya sendiri. Ia tidak pernah punya pengetahuan lebih.
“Aku tak punya bakat di tempatmu. Kamu pun tak punya
bakat di tempatku!” Jawabnya. Dan laki-laki itu hanya terdiam sambil
membelokkan arah mobil ke sebuah kedai makan yang dahulu pemiliknya bernama Pak
Shai keturunan Tionghoa. Padahal malam telah larut.
***
Perempuan itu hanya tersenyum lantas mengoleskan kembali
lipstik merah ke bagian bibirnya yang tak ranum lagi. Sedang tokek tak sengaja
bernyanyi di balik atap. Ia bersungut, menganggap tokek itu sedang mengejeknya.
Namun sekejap sabit kembali melengkung dalam cermin. Teringat olehnya, bahwa
seseorang telah menyuruhnya untuk memberi senyum tulus pada kekasihnya di luar.
Sambil membilas rambutnya, perempuan itu menanyakan banyak hal pada si pelayan.
Mulai dari merawat diri sampai merawat keluarga. Begitulah cerita singkatnya.
Perempuan itu tak lagi berdesakan di tengah pengap rokok dan bau minuman keras.
Selepas kepergian ibunya ia diperistri pengusaha muda bernama Pardi. Nyonya
baru itu kemudian boyong ikut suaminya ke Surabaya.
Maka selanjutnya, tak ada lagi cucian yang menumpuk sebab
ia sibuk manggung. Tak ada lagi keringat yang mengucur deras. Ia tak
diperkenankan bekerja. Hanya menjaga rumah dan bersolek. Dari semenjak itu ia
semakin rajin bersolek dan pergi ke salon kecantikan. Kadang satu minggu satu
kali, atau bahkan setiap tiga hari sekali. Bahkan Pardi, suami yang super sibuk
itu harus bisa mengantarnya ke salon kecantikan, ia pernah menunggui istrinya
seharian sambil memainkakn gadgetnya. Kalau jenuh, tak jarang ia pun
turut nyemplung merasakan bau sabun dan minyak perawatan. Pulangnya, si sulung
pasti sudah lelap di kamarnya. Dan garasi mobil selalu penuh dengan
barang-barang baru. Ternyata ia termasuk laki-laki yang tak pernah
memperdebatkan soal shopping.
Di usia pernikahan yang ke enam ia melahirkan anak kedua,
laki-laki berlesung pipit dan hidung mancung. Pardi yang semakin nanjak
usianya masih bugar saja bekerja di gedung tinggi itu. Naik eskalator tiap hari
dengan tumpukan kertas di atas meja. Bahkan tak jarang ia lembur dan meeting
ke luar kota.
***
Perempuan dalam cermin itu mengerjap. Panas kelopak
matanya ia rasa menandingi debur hatinya yang penuh gejolak. Masa-masa itu,
masa-masa halaman basah dengan penuh rintik hujan. Daun-daun gugur dan tumpah
berserakan di sudut-sudut halaman. Dan rumah itu gigil untuk hari-hari
selanjutnya. Tak ada lagi salon kecantikan yang ia tunggui seharian. Tidak ada
lagi shopping lama dengan suami bermesraan. Namun seluruh harta yang
ditinggal suaminya tak membuatnya dililit masalah dalam memanjakan perut dan
gaya hidup.
Hari-hari berikutnya, tukang koran yang biasa lewat dan
melemparkan koran hanya melongo ketika tumpukan koran tetap meringkuk
kedinginan di atas lantai. Baginya rumah itu begitu misterius.
Di balik pandangan matanya, cermin yang lurus menghadap
ke ambang pintu memberitahu, sebuah bocah dengan baju tidur motif beruang
sedang melihatnya lewat celah pintu yang tidak mengatup rapat. Ketika ia
menoleh pintu berderak dan terkatup rapat.
Seolah terburu-buru derap kaki melangkah kecil-kecil di luar.
Kemudian ia pandangi
lagi perempuan kurus dalam cermin. Ia sisir kembali rambut yang tidak
pernah “dikeramas” di salon lagi. Ia tahu, di malam yang nyaris tunai itu,
beberapa menit kemudian pasti seseorang akan melihat nyenyak lelapnya di kamar
itu. Namun masa bodoh, perempuan itu terus menyusuri jalan setapak menuju masa
lalu sampai akhirnya ia kembali terperangkap di cakrawala dan tak tahu jalan
pulang kecuali menangis di pojok ruang masa lalu. Debur rindu masih hangat
mengaliri dadanya, dan amarah tumpah bersama air mata. Bagaimana tidak,
malam-malam panjang yang ia lewati sendirian dan sepi yang menyergap akhirnya
benar berakhir dalam lubang kesunyian. Ia sebenarnya tidak mau terus-terusan
terperangkap dalam kegentingannya. Namun sekali ia menghadap cermin, dan segala
kosmetik di depannya maka ia serasa melayang dan memeluk kebahagiaannya lagi
meski kemudian getir pahit beriringan menjebak.
Pagi itu mentari turun begitu awal dari ranjang lelapnya.
Anak perempuan yang masih duduk di bangku SD itu melahap sepotong roti dengan
margarin warna hijau berikut segelas susu pucat yang ia tenggak secara sopan.
Si mbok di dapur bermain dengan panci. Sedang ia, sambil menimang anak
bungsunya yang berumur tiga bulan membuka-buka halaman koran yang penuh dengan
masalah politik. Tiba-tiba telepon yang dingin dari tadi berdering, dan
diletakkanlah koran itu di atas meja. Padahal ia hendak membaca kasus
pembunuhan.
“Halo, dengan siapa?” Ia bertanya.
“Ibu Talita di Yogyakarta?” Seseorang bertanya.
“Iya. Ini siapa?”
“Polisi Dinas”
Keadaan lalu hening. Ia mengingat mimpi apa yang telah
menemaninya semalaman. Dan lewat sambungan telepon itu ia tahu bahwa keadaan di
ujung telepon sana sedang riuh.
“Suami Ibu kami temukan tewas dalam mobilnya”.
Telepon kemudian terputus. Mendung tiba-tiba turun di
pekarangan rumah. Limau yang berdiri di atas meja terlihat gigil dan begitu
pucat warnanya. Perempuan itu meraung disusul anak bungsu dalam gendongannya
yang menjerit. Sedang anak sulungnya bertanya dengan mulut masih penuh sobekan
roti.
“Bunda kenapa?”
“Ibu Kenapa?” Si Mbok muncul dari dapur, tergesa.
Perempuan itu terkulai lemas di lantai.
Ia terkekeh. Serasa di atas kebahagiaan yang tanpa
seorang pun memintanya berbagi. Tiba-tiba kelopak matanya yang sudah senja itu
melirik. Lewat cermin yang lurus dengan pintu kamar ia kembali tahu, bocah
ingusan itu kembali mengintipnya di ambang pintu. Namun ia tahu, sekali ia
beranjak maka ia berarti menuruni ambang kebahagiaan yang dari tadi membuatnya
melayang. Semakin gila ia mengobrak abrik wajahnya, semakin bebas ia melayang
melintasi cakrawala.
***
Tak lama kemudian ia tahu, berkat bantuan polisi dan
kawan-kawan kantor suaminya. Bahwa kolega kantornya telah membunuh suaminya yang
sedang jalan dengan sang istri di dalam mobil. Dan lewat seonggok Handphone
yang ditinggalkan suaminya di saku celananya ia tahu, betapa separuh dari usia
pernikahannya ia hidup dengan seorang pembohong. Hanya ada derai air mata yang
terus menunggui lapuk usianya hingga kini.
Kehidupan rumah telah ia serahkan pada si Mbok. Begitupun dengan kedua
anaknya. Ia menjalani hari dengan cekung mata yang penuh kelelahan. Hanya menunggui
kamar dan bayangannya di balik cermin. Perlahan sejak itulah ia punya titik
kebahagiaan yang berbeda. Semakin gila ia mengobrak-abrik wajahnya maka semakin
melayang kebahagiaan yang ditempuh hatinya. Ia bahkan sering teringat, saat
bolak-balik ke rumah kecantikan , seharian menunggui antrean, hanya demi
merawat tubuh dan agar suami tak mampir di warung-warung malam yang berjejer
sepanjang jalanan kota. Sejak itu dokter memvonisnya depresi berat. Hidupnya semakin
limbung, semakin menyalahkan dirinya yang terlalu percaya. Padahal ia pikir,
kebutuhan lahir batin suaminya telah ia tunaikan sebagai seorang istri.
Di bawah petromaks yang kemilau perempuan dalam cermin
menunduk. Rambut yang tak hitam lagi ditiup angin. Ia kadang was-was. Bagaimana
kalau perempuan dalam cermin bosan menjadi bayangannya. Bagaiamana kalau
perempuan dalam cermin tak kunjung menutup mata. Bagaimana kalau ingatan yang
berada di balik batok kepalanya semakin merayap dan membunuhnya
perlahan. Lewat pantulan cermin yang lurus dengan pintu kamar ia tahu, bocah
ingusan itu dibujuk Ibunya sebab tak mau beranjak dari ambang pintu.
“Nenek itu pakek liptik walna melah kayak punya mama” Cicak
di balik petromaks yang menggantung itu semakin cekikikan rasanya. Lalu masuk si Mbok yang telah puluhan tahun
mengabdi pada keluarganya. Ia menutup jendela dan menarik tirainya. Tibalah
waktunya tidur. []
Roydatun
Nisa’, Santri PP. Annuqayah Lubangsa Putri, sedang bergiat di Lembaga
Kepenulisan dan tercatat sebagai mahasiswi Instika Guluk-guuk Sumenep Jawa
Timur.
Cerpen : Akibat Dari Salon Kecantikan
Reviewed by Redaksi
on
April 28, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar